Selasa, 31 Januari 2012

TARA BODDHISATTVA



Oleh : Hendrick

Kita sering mendengar tentang berbagai Bodhisattva yang tampil dalam wujud pria dan bahkan ada anggapan bahwa hanya prialah yang dapat menjadi Samyaksambuddha. Lantas di manakah posisi perempuan dalam khazanah Buddhis? Apakah mereka hanya dapat menjadi seorang Shravaka Arhat, namun tidak sebagai Samyaksambuddha? Semua pertanyaan ini dapat kita jawab hanya dengan meresapi makna dari tindakan welas asih dari sang bakal Samyaksambuddha, yang dikenal dengan nama Bodhisattva Arya-Tara.

Arti nama Tara

Arti nama “Tara” adalah “Gadis Bintang” atau “Ia Yang Menyeberangkan”. Ia adalah penuntun semua makhluk agar dapat mencapai Pantai Seberang (Nirvana), maka dari itu disebut sebagai
jagattarini (juru selamat dunia). Para guru Buddhis seperti Sarvajnamitra, Dalai Lama ke-1 dan Lozang Tenpai Jetsun mengajarkan pentingnya untuk mendevosikan, menyerahkan dan menyandarkan diri kita pada Bodhisattva Tara, yang sanggup menolong kita dari berbagai bahaya dan menuntun kita agar mencapai Pencerahan.
“Tara” adalah nama yang populer bagi wanita di Tibet. Guru Candragomin di India pernah berkata:
“Jika kepada seorang perempuan bernama Tara,seseorang membangkitkan respek dan memberikan penghormatan, kebajikannya ini akan membawanya pada KeBuddhaan.”

Tara, Penolong Semua Makhluk

Tara dalam tradisi Vajrayana dikenal sebagai pemegang aktivitas welas asih para Buddha serta Ibu dari para Buddha. Bodhisattva Tara secara historis muncul dalam agama Buddha sejak abad ke-5 M.
Tara adalah prajna dari Buddha Amogasiddhi (salah satu Buddha Dhyani) dan memegang elemen udara.
Berasal dari keluarga Karma. Mampu mengubah kecemburuan dan iri hati menjadi kebijaksanaan yang tertinggi. Dalam Adhvayavajrasamgraha, Ia disebutkan berasal dari simbol Sansekerta ‘Tam’ yang berwarna hijau keemasan. Wujudnya bermacam, ada
yang dua tangan, enam ataupun delapan. Ia mampu memberikan berbagai berkah abhijna.
Banyak keajaiban yang berkenaan dengan rupang dan lukisan Tara. Konon di Kashmir terdapat rupang Tara yang mempu menyembuhkan lepra, rupang Tara yang lain secara ajaib memunculkan harta yang
dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan para anggota Sangha, dan di Pharping, Nepal, terdapat gambar Tara yang muncul dengan sendirinya dan bahkan dapat menjadi hidup memberikan bantuan
pada seorang pengemis sebagai biaya pernikahan untuk anak perempuannya. Banyak sekali rupang Tara yang dengan ajaib seolah-olah “hidup” memberikan bantuan pada para umat.
Sebagai Ibu dari para Buddha (sarva-buddhamata), Tara juga memanifestasikan sifat welas asih seorang ibu. Ia mengasihi semua makhluk seperti seorang ibu mengasihi anaknya yang tunggal.
Tara juga dikenal sebagai pembebas dari delapan ketakutan (Astamahabhaya Tara). Delapan ketakutan tersebut adalah singa (kesombongan), gajah (delusi), api (amarah), ular (iri hati), tenggelam dalam banjir (kemelekatan), iblis (keraguan), terikat (keserakahan) dan perampok (pandangan salah). Taramulakalpa yang berasal dari abad 7 M mengaitkan Tara sebagai aspek dari Avalokitesvara.


Tara dikelompokkan menjadi 21 Tara, namun secara lebih umum digambarkan ada 2 macam Tara yaitu Tara Hijau (Syamatara/Drolma) dan Tara Putih(Sitatara/Drolkar). Syamatara memiliki warna tubuh
hijau dengan tangan kanannya membentuk mudra kemurahan hati dan tangan kirinya memegang bunga lotus biru yang mekar dari telinga kirinya. Ia memakai mahkota lima Buddha dan memakai semua ornamen bodhisattva, duduk di atas teratai Lalita.
Diceritakan bahwa karena welas asih-Nya yang sangat besar, Bodhisattva Avalokitesvara menangis ketika melihat penderitaan di dunia. Secara ajaib air mataNya berubah menjadi bunga teratai dan
kemudian dari teratai tersebut muncul Tara Hijau (dari air mata kiri) dan Tara Putih (dari air mata kanan).
Wujud Tara Hijau di antaranya adalah Khadiravani Tara, Vasya Tara, Arya Tara, Mahattari Tara, Varada Tara, Durgottarini Tara, Dhanada Tara, Janguli Tara dan Parnasavari Tara. Tara Hijau berada pada Tanah Suci Buddha (buddhaksetra) yang bernama Yulokod (Yuloku) yang terdapat banyak sekali Bodhisattva wanita. Tanah Suci Tara ini digambarkan sebagai hutan hijau dengan pohon-pohon yang berbunga
dan berbuah, binatang bernyanyi dan bermain.
Indah sekali Tanah Suci Tara ini. Praktik Tara Hijau dapat melenyapkan rintangan karma serta berbagai malapetaka. Banyak dari para Yogi dan Guru Buddhis yang mengalami kemujizatan Tara Hijau.
Wujud Tara Putih ada bermacam-macam seperti Astamahabhaya Tara, Mrtyuvancana Tara, Chaturbhuja-Sita Tara, Sadbhuja-Sita-Tara, Visvamata, Kurukulla, Janguli. Tara Putih sering diasosiasikan dengan kebijaksanaan. Digambarkan seputih bulan di musim gugur dalam posisi teratai penuh dan mempunyai tujuh mata, dua mata ditambah dengan mata ketiga di dahi dan empat mata masing-masing di telapak tangan dan kaki yang menunjukkan bahwa Ia melihat dan mengetahui
semua penderitaan di alam semesta. Rambutnya berwarna hitam kebiruan. Di kepalaNya terdapat gambar Amitabha Buddha dan tangan kanannya membentuk varada-mudra. Tangan kirinya berada di posisi hati memegang setangkai bunga teratai yang mekar.
Tara Putih dikatakan memanifestasikan diri menjadi putri dari Tiongkok yang bernama Wencheng yang menikah dengan Raja Tibet Songtsen Gampo, sedangkan Tara Hijau menjelma menjadi Bhrkutidevi, istri Songtsen Gampo yang berasal dari Nepal.
Cintamanichakra Tara adalah wujud Pelindung dari Tara Putih. Tara Putih dikenal sebagai Bodhisattva yang mampu memberikan berkah penyembuhan pada mereka yang sakit. Dalam suatu ritual pelukisan Tara Putih, sang artis (pelukis) hanya boleh memakan makanan yang berwarna putih saja. Di masyarakat Newar, Nepal, terdapat puja Tara yang berkenaan dengan penyembuhan bernama Satva Vidhana Tara Puja.


Adapun perwujudan Tara Hijau yang lain, yaitu sebagai Bhrkuti Tara yang tercantum dalam teks Hevajra Tantra dan Arya Manjushrimulakalpa bersama dengan Arya Tara dan bodhisattva wanita lainnya. Pada saat berwujud biru, Ia mempunyai tiga kepala dan enam tangan. Pada saat berwujud kuning, Ia mempunyai satu wajah dengan tiga mata dengan alis yang tebal dan empat tangan. Keempat tangannya memegang tasbih, trisula, kalasa dan membentuk varada-mudra. Taranatha dari India menceritakan kunjungan seorang upasaka bernama Santivarman dari Pundravardhana ke bukit Potala,
bodhimandala dari Avalokitesvara. Dikisahkan bahwa Santivarman berdoa kepada Bhrkuti Tara agar ia dapat menyeberangi lautan dan seketika itu juga muncul seorang gadis dengan sebuah rakit yang
kemudian membawanya menyeberangi lautan. Saat mendaki bukit Potala, ia memohon bantuan dari Avalokitesvara Bodhisattva untuk dapat mencapai puncaknya dan sesampainya di sana, Santivarman
melihat gambar Bhrkuti Tara yang agung.
Dikenal pula Tara Merah yang dikenal sebagai Kurukulla atau Pithesvari, kemudian Ugra Tara yaitu Ekajati, Svapna Tara yang muncul dalam mimpi,Tara berwarna emas yaitu Rajasri Tara dan Vajra
Tara yang bertubuh kuning. Vasudhara, Bodhisattva penganugerah kekayaan dikenal pula sebagai Tara Kuning. Rupang-rupang Tara di India dapat ditemukan di Bihar. Di Nepal juga ada banyak ikonografi Tara.
Figur-figur tersebut di atas umumnya muncul sebagai seorang gadis muda berumur 16 tahun yang sangat cantik. Ia diberi gelar sebagai penolong yang tercepat karena kesigapan dalam menolong orang-orang yang menderita. Bodhisattva Tara juga dikenal atas ikrarnya yang agung yaitu mencapai tingkatan KeBuddhaan dalam wujud
seorang wanita.

Tara adalah Bodhisattva Buddhis

“Karakter dewi Hindu Tara sepenuhnya adalah Buddhis, maka dari itu sang dewi pastinya berasal dari agama Buddha.” (Benoytosh Bhattacharyya).
Prof. P. C. Jain dan Dr. Daljeet juga mengamini pendapat Benoytosh tersebut. Mr. M.K Dhavalikar menjelaskan bahwa asal mula Tara adalah Buddhis,menurutnya, Tara tidak pernah disebutkan dalam
teks-teks Brahmanikal yang lebih tua. Ada yang mengatakan bahwa sebenarnya Bodhisattva Tara diadopsi agama Buddha dari seorang dewi Hindu bernama Tara. Namun fakta sejarah yang ada membuktikan bahwa hipotesa itu tidak berdasar sama sekali. Sayangnya, hipotesa yang keliru ini sudah menyebar di banyak kalangan, dikarenakan mereka menganggap agama Hindu lebih tua daripada agama Buddha, sehingga mereka menganggap umat Buddha yang mengadopsi Tara.
Rupang atau ikonografi Tara yang tertua justru ditemukan di goa-goa Buddhis di India Barat(Kanheri, Ellora, Nasik, Aurangabad dan Ajanta)
yang berasal dari abad 6-7 M, bukan di tempat-tempat suci Hindu. Kitab tertua yang menyebutkan nama Dewi Tara adalah Guhyasamaja Tantra (abad ke 3 M atau sekitar 200-350 M) dan Arya- Manjusrimulakalpa (abad 2 sampai 4 M) yang menyebutkannya sebagai prajna dari Pancadhyani Buddha. “Tara adalah angin .... Arya Tara, pasangan dari Amoghasiddhi.” (Guhyasamaja Tantra)
Subandhu, seorang penulis yang hidup pada abad ke -5 (400 M) menulis dalam karyanya Vasavadatta: “Gadis Tara dapat terlihat, berdevosi pada bintang-bintang dan berjubah langit merah, sebagai seorang bhiksuni Buddhis.” (bhiksuki ‘vataranuragaraktambaradharini bhagavati samdhya samadrsyata).
Bahkan menurut sejarawan Jestun Taranatha, Tara telah dikenal oleh Arya Hayaghosa (80-150 M),Arya Nagarjuna (150 – 250 M) dan muridnya Aryadeva (abad 3 M). Bukti nyatanya adalah syair pujian
Candrakirti dan Nagarjuna pada Tara yang saat ini beberapa masih ditemukan versi Sansekertanya.
Nama Dewi Tara baru ada di kitab-kitab (Hindu) Purana yang muncul belakangan seperti Brahmanda Purana (400 M) dan Agni Purana dan kitab-kitab Tantra Hindu seperti Tararahasyavrttika (1630 M),
Tarabhaktisudharnava (1680 M), Rudrayamala Tantra (1300 M) dan Brahmayamala Tantra (abad 9 M).
Tara dalam agama Hindu pertama kali muncul pada abad 6 M dengan munculnya pemujaan terhadap sepuluh dewi yang disebut sebagai Mahavidya.
Kitab-kitab Hindu yang berkenaan dengan Tara juga menunjukkan pengaruh agama Buddha seperti: kitab Hindu Tara-tantra (abad 6 – 8 M) yang mengaitkan nama Buddha Aksobhya dengan Tara dan Buddha
sebagai Bhairava agung, kitab Hindu Tantra-sara (1580 M) menyebutkan bahwa rupang Buddha Aksobhya menghiasi mahkota Tara dan dipengaruhi oleh pancamudra yang dibentuk oleh Buddha
Pancadhyani. Mahacinacara-sara Tantra (abad 6 M / 500 M) juga menghubungkan Buddha dengan pemujaan Tara, yang mana sang tokoh dalam kitab Tantra Hindu tersebut mempelajari pemujaan Tara Devi dari Sang Buddha.
Kitab Hindu seperti Mahacinacara-sara Tantra,Tara-tantra, Rudrayamala dan lain-lainnya menyebutkan seorang bernama Vasistha pergi ke Maha-cina (Himalaya, Tibet, Tiongkok) untuk mendapatkan pengetahuan tentang Tara dari Buddha, yang menurut Dewi Tara sendiri merupakan orang yang paling paham akan pemahaman
dan praktik puja terhadap Tara. Pernyataan ini tampaknya menimbulkan hipotesa bahwa pemujaan Tara berasal dari Tibet, namun fakta historis tidak mendukungnya karena tidak adanya bukti-bukti nyata yang ditemukan dan peneliti seperti Rolf A Stein juga turut menolaknya.
Memang unik untuk melihat bahwa naskah-naskah Tara yang Hindu malah menunjukkan banyak kaitan dengan agama Buddha, sehingga dengan mudah dapat disimpulkan bahwa pemujaan Tara ini asalnya adalah Buddhis. Namun dari kesemuanya itu ada perbedaan mencolok antara Tara dalam agama Hindu dan Buddha. Tara dalam paham Hindu berwujud galak dan menyeramkan sedangkan Tara dalam agama Buddha lebih sering digambarkan dengan wujud yang damai, cantik dan penuh dengan welas asih.

Kisah Putri Jnanacandra

Menurut Taranatha, dalam catatannya tentang sejarah kitab Sarva-tathagata-matr-taravisvakarma- bhava Tantra atau singkatnya Tarabhava Tantra, Bodhisattva Tara dikisahkan pernah terlahir sebagai Putri Jnanacandra pada masa Buddha Dundubhishvara. Selama berjuta-juta tahun sang putri memberikan persembahan pada Buddha
tersebut dan para Sangha yang terdiri atas para Shravaka dan para Bodhisattva. Akhirnya, ia berhasil memunculkan Batin Pencerahan Bodhicitta.
Setelah itu, beberapa bhiksu memberitahunya, “Karena akar dari kebajikan ini, jika engkau berdoa dengan tubuhmu saat ini, berharap untuk menjadi seorang laki-laki dan mempertunjukkan banyak tindakan yang sesuai dengan Ajaran, maka tubuhmu akan dapat berubah [menjadi laki-laki]. Itulah yang seharusnya engkau lakukan.” Terkejut mendengar ucapan para bhiksu, lantas sang putri berdiskusi
dengan mereka. Akhirnya, dengan nada yang penuh dengan ketegasan dan semangat, Putri Jnanacandra berkata:
“Di dalam hidup ini tidak ada pemisahan antara laki-laki dan perempuan, tidak ada aku, tidak ada diri dan tidak ada kesadaran. Melekat pada label ‘pria’ atau ‘wanita’ tidaklah ada intinya, melainkan
pikiran duniawi yang jahat dan sesat.” Dan kemudian ia berikrar:
“Banyak yang ingin untuk mencapai Samyaksambodhi dalam tubuh seorang pria, namun tidak ada yang berbuat untuk kesejahteraan semua makhluk dalam tubuh seorang wanita. Maka, hingga samsara kosong, aku akan bertindak demi kesejahteraan semua makhluk dalam tubuh seorang perempuan.”
Kemudian selama berjuta-juta tahun, ia terlahir dan terlahir kembali sebagai putri di lingkungan kerajaan dan akhirnya berhasil mencapai tingkatan Anuttpatika Dharma-kshanti (tingkat Bodhisattva ke-8) merealisasikan meditasi “Menyelamatkan Semua Makhluk Hidup”. Dengan kekuatan dari meditasi ini, setiap pagi sebelum makan pagi, Ia
membebaskan jutaan makhluk hidup dari samsara.
Dari tindakannya inilah, Ia mulai dipanggil dengan sebutan ‘Tara’ seperti yang diramalkan oleh Buddha Dundubishvara: “Selama engkau memanifestasikan Anuttara Samyaksambodhi, engkau hanya akan
dikenal dengan nama Dewi Tara.”
Di kalpa berikutnya yaitu Vibuddha, Tara berikrar di hadapan Buddha Amoghasiddhi untuk melindungi semua makhluk di sepuluh penjuru alam semesta dari bahaya maupun Iblis Mara. Setiap harinya selama 95 kalpa lamanya, ia berkonsentrasi dalam Samadhi “Menaklukkan Semua Mara” dan membimbing beratus-ratus miliar pemimpin makhluk hidup dalam dhyana dan setiap sorenya menaklukkan satu miliar Mara Parinimitavasavartin.
Kemudian pada Kalpa ‘Tak Terhalangi’, seorang bhiksu bernama ‘Cahaya Suci Bersinar’ yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian menerima abhiseka dari para Buddha di sepuluh penjuru dan menjadi Bodhisattva Avalokitesvara. Cahaya dari semua Buddha menyatu menjadi cahaya welas asih dan cahaya kebijaksanaan, yang kemudian
bersatu dan membentuk Tara. Ia muncul dari hati Avalokitesvara, memenuhi kehendak semua Buddha dan kemudian melindungi dan menyelamatkan para makhluk dari delapan sampai sepuluh macam
ketakutan dan mara bahaya.
Pada kalpa Mahabhadra, Tara telah mencapai tingkatan ‘Tak Tergoyahkan’. Tara kemudian terus melatih diri dan pada kalpa Asanka, Ia mendapatkan abhiseka dari para Buddha dari 10 penjuru, yaitu mencapai keBuddhaan Sempurna (Samyaksambuddha). Sejak saat itu Tara menjadi Ibu dari para Buddha (Sarva-buddha-mata). Tara memiliki 32 tanda major dan 60 tanda minor seorang Samyaksambuddha, yang tentu tidak hanya dimiliki oleh seorang Samyaksambuddha pria.
Akhirnya, pada masa Bhadrakalpa ini, Avalokitesvara terlahir di bumi ini di Gunung Potalaka. Avalokitesvara mengajarkan sepuluh juta Tantra dari Bodhisattva Tara. Tantra-tantra tersebut kemudian diajarkan kembali oleh Guru Agung kita Buddha Sakyamuni, seperti yang disebutkan dalam komentara Tara Tantra, Dakiniguhya-
bindu: “Ajaran-ajaran Tantra diajarkan oleh Sakyasimha (Sakyamuni) di puncak Gunung Potala (Putuo Shan).”
Buddha Sakyamuni pergi menuju Gunung Potala memberikan inisiasi Tara dan ajaran Vajrayana pada para makhluk hidup yang jumlahnya tak terbatas.
Tara Tantra kemudian diteruskan pada Bodhisattva Vajrapani. Praktik Tara Tantra dilakukan di Alakavati dan alam para Vidyadhara (salah satu makhluk alam dewa). Di dunia manusia, Vajrapani kemudian beremanasi menjadi Raja Indrabhuti dan menuliskan semua Tara Tantra dalam bentuk kitab-kitab. Setelah itu, praktik Tara tersebar luas di kalangan yogi dan yogini di Jambudvipa (India).
Buddha membabarkan Sarva-tathagata-matrtara-visvakarma-bhava Tantra di Surga Tusita pada para dewa dan Bodhisattva, beliau juga
membabarkan Sutra Aryatara-astaghora-tarani (Sutra Tara yang Menyelamatkan dari 8 Ketakutan) di Gunung Meru.

Guanyin Wanita Berjubah Putih adalah Tara

Di Tiongkok, tampaknya beberapa orang berpikir bahwa Tara adalah satu bentuk Avalokitesvara /Guanyin, salah satu dari beberapa perwujudan(emanasinya). Identifi kasi Tara dengan Avalokitesvara/ Guanyin ini sangat jelas (terlihat) dalam satu perwujudan Guanyin yang paling terkenal, yaitu Guanyin Berjubah Putih (Baiyi Dashi). Nama Tionghoa dari perwujudan Guanyin ini tampaknya adalah terjemahan langsung dari Sansekerta Pandaravasini (ia yang berjubah putih), salah satu sebutan bagi Tara Putih. Wujud wanita Guanyin ini diperkenalkan di Tiongkok kira-kira pada abad ke-8 M dan menjadi sangat populer di abad 10 M. (The Goddesses Mirror oleh David R.Kinsley)
Belakangan ini timbul hipotesa bahwa Guanyin di Tiongkok sebenarnya adalah Dewi Tiongkok kuno yang kemudian diadopsi oleh agama Buddha. Namun ini sesungguhnya tidak benar sama sekali. Penting untuk diketahui bahwa di India dan Nepal, di tanah kelahiran Sang Buddha sendiri, telah dikenal sosok perempuan dari Avalokitesvara. Siapakah sosok perempuan Avalokitesvara itu? Beliau adalah Tara Bodhisattva dan Pandaravasini. Setelah masuk ke Tiongkok, sosok perempuan Avalokitesvara itu mengalami adaptasi dan kemudian
diadopsi oleh berbagai agama di Tiongkok.
Banyak sekali sejarawan ternama yang mengatakan bahwa Pandaravasini dan Tara di India adalah pelopor adanya Baiyi Guanyin
(Guanyin Wanita Berjubah Putih) di Tiongkok, di antaranya adalah
H.Maspero, Kenneth Chen dan Profesor Lokesh Chandra.
Henri Maspero dan Kenneth Chen mengatakan bahwa Baiyi Guanyin
adalah Pandaravasini - 白衣女神 (berjubah putih) dan juga wujud
Tionghoa dari Tara Putih - 白多 (Sitatara), consort dari Avalokitesvara dan merupakan Bodhisattva yang sangat penting dalam tradisi Tibetan.
Ketika Pandaravasini pertama kali diperkenalkan ke Tiongkok pada
masa Dinasti Tang, menurut pandangan ini, Ia berubah menjadi
Dewi Kesuburan karena Pandaravasini termasuk dalam Garbhadhatu
(Mandala Rahim). Kata-kata rahim tersebut membuat Pandaravasini
juga dijadikan sebagai Dewi Pemberi Anak oleh masyarakat Tiongkok,
yang dikenal dengan nama Songzi Guanyin.
Baiyi Guanyin pertama kali diperkenalkan ke Tiongkok melalui
teks Dharani Tantrik yaitu Tuoluoni Zaji (Dharani Lain-lain) yang
diterjemahkan pada abad ke-6 M (masuk dalam daftar terjemahan
Dinasti Liang, tahun 502-557 M). Seperti dalam teks-teks Tantra yang
membutuhkan visualisasi, perwujudan Baiyi Guanyin digambarkan
dengan jelas dalam teks yang berasal dari abad ke-6 M tersebut. Wujud Baiyi Guanyin dalam teks Tuoluoni Zaji tersebut, tanpa menyebutkan gender, adalah memakai jubah putih dan duduk di atas teratai dengan memegang teratai (bukan dahan willow) dan tangan lainnya memegang vas (botol/kundalika). RambutNya disanggul ke atas. Teks Tantrik ini diduga yang menjadi basis dari perwujudan Baiyi Guanyin.
Pandaravasini memiliki arti “Yang Berjubah Putih”. Dalam konsep
Mahayana dan Tantra, Beliau adalah prajna dari Buddha Amitabha,
salah satu dari 5 Prajna dari Buddha Dhyani. Bersama-sama dengan
Amitabha dan Avalokitesvara, mereka adalah Sambhogakaya dari
Buddha Sakyamuni. Lantas bagaimanakah Pandaravasini ini dihubungkan dengan Avalokitesvara dan Tara?
Dalam Mahavairocana Sutra/Tantra disebutkan bahwa Pandaravasini
berada dalam Garbhadhatu Mandala (Mandala Rahim). Beliau duduk
berdekatan dengan Tara Bodhisattva. Yang menarik adalah, bahwa
Pandaravasini dan Tara terletak dalam barisan kelompok Avalokitesvara dalam Mandala tersebut. Pandaravasini adalah Ibu dari keluarga Teratai (salah satu keluarga Buddha) dan pemimpin dari keluarga Teratai tersebut adalah Avalokitesvara. Ia diberi nama “Kediaman Putih” (Baizhu) karena Ia tinggal di teratai yang putih suci. Tara juga mendapat panggilan ‘Avalokitesvara Sang Ibu’. Dengan demikian antara Avalokitesvara, Tara dan Pandaravasini terdapat keterkaitan yang amat erat.
“Dalam Garbhadhatu Mandala, Bodhisattva ‘Kediaman Putih’, ‘Tubuh
Putih’ dan ‘Tubuh Putih Maha Terang’ (Daming Baishen) yang berada di barisan Guanyin, semuanya berjubah putih dan dapat disebut Baiyi. Putih adalah simbol dari pikiran yang tercerahkan, yang ‘melahirkan’ semua Buddha dan Bodhisattva. Oleh karena itu para Bodhisattva perempuan yang berada dalam barisan Guanyin kebanyakan berjubah putih, karena mereka adalah Ibu dari Buddha dan Bodhisattva.”
Dalam Mahavairocana Sutra yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Tionghoa dan Tibet pada abad ke-7-8 M dikatakan bahwa Bodhisattva
Tara adalah emanasi Avalokitesvara (Guanyin) yang juga memakai jubah putih: “Di kananNya (Avalokitesvara) duduklah Sang Dewi, yang dikenal dengan nama Tara agung. Ia sangat berkebajikan dan mampu melenyapkan ketakutan. Warna tubuhnya hijau muda dengan wujud yang beraneka ragam.
Ia mengambil wujud sebagai seorang remaja perempuan. Di tanganNya yang saling menutup, dibawanyalah sebatang teratai biru. Ia dikelilingi oleh cahaya dan memakai jubah putih.”
Buddhaguhya (sekitar 700 M), seorang Bhiksu Vajrayanis yang berdiam di India dan menerima ajaran Mahavairocana dari Lilavajra, memberikan komentarnya mengenai Tara dalam Mahavairocana Sutra: “Memakai jubah putih: Ini menyimbolkan keagunganNya. Seperti tubuh seseorang yang ditutupi dan menjadi tampak sederhana oleh pakaian, maka dari itu keagungan adalah simbol kesederhanaan, karena itu Ia teragungkan. Putih menyimbolkan kesucian dari keagungan. Mengapa Ia teragungkan? Karena keagungan adalah kualitas dari para Bodhisattva.”
Dalam Sutra Mahavairocana tersebut juga disebutkan tentang
Pandaravasini yang berpakaian putih: “Dekat dengan Tara, yang bijak
seharusnya menggambar Pandaravasini. Ia memiliki rambut ikal yang dijalin dan memakai pakaian berwarna putih. Di tanganNya Ia memegang setangkai bunga teratai.”
Buddhaguhya memberikan komentarnya: “Pandaravasini: Namanya
memiliki arti ‘Ia yang berdiam dalam putih’ atau ‘Ia yang memakai jubah putih’ karena Ia berada di kesucian dharmadhatu. Ia digambarkan dekat dengan Tara dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa Dewi Tara tidak hanya
melakukan tindakan penyelamatan bagi semua makhluk hidup, tetapi Ia juga berlindung pada kesucian dharmadhatu.” Dalam kitab Manjushri mulakalpa (abad 2 – 4 M) juga disebutkan berbagai dewi emanasi yang menemani Avalokitesvara, di antaranya Pandaravasini dan Bhrkuti Tara yang kemudian dilanjutkan dengan deskripsi terhadap Tara: “Dewi yang merupakan Welas asih dari Aryavalokitesvara, [yaitu] Arya-Tara, dihiasi oleh berbagai ornamen.”
Seperti kita tahu, Bodhisattva Tara merupakan fi gur perempuan yang
paling terkenal di kalangan Buddhis Vajrayana. Pemujaan-Nya sangat popular baik di India, Nepal, Tibet ataupun di tanah air kita sendiri yaitu Indonesia.
Ia berikrar untuk mencapai Ke-Buddhaan dalam wujud seorang perempuan dan merupakan simbol dari aktivitas semua Buddha. Ia terlahir dari air mata Avalokitesvara.
Tara Putih terlahir dari air mata yang terjatuh dari mata kiri, sedangkan Tara Hijau dari mata kanan Avalokitesvara. Tara sendiri adalah consort dan prajna dari Avalokitesvara, menandakan bahwa pada hakekatnya Tara dan Avalokitesvara adalah sama, demikian juga dengan Pandaravasini.
Sekte Shingon di Jepang mengenal delapan manifestasi Guanyin, dua di antaranya adalah Pandaravasini dan Tara. Ini berasal dari Sutra
Mahavairocana, di mana telah disebutkan di atas bahwa Pandaravasini dan Tara berada dalam barisan kelompok Avalokitesvara.
Bahkan dalam adalah Baiyi Dashi [Guanyin] Wu Yinxin Tuoluoni Jing (Pancamudra Dharani Pandaravasini Mahasattva [Avalokitesvara] Sutra), yang merupakan sebuah Sutra mengenai Guanyin perempuan yang berbaju putih, terdapat mantra dari Bodhisattva Tara yaitu: Om Tare Tuttare Ture Svaha.
Gunung Putuo (Potala) di Tiongkok adalah tempat suci bagi Guanyin,
yang berwujud wanita berpakaian putih dan ini bukanlah tanpa dasar
sama sekali. Sejarawan Taranatha mengisahkan bahwa di India ada
dua yogi bernama Buddhasanti dan Buddhaguhya yang pergi ke gunung Potala. Di sana Arya-Tara Bodhisattva membabarkan Dharma pada para naga dan Bodhisattva Bhrkuti, saudara perempuan Tara mengajar para asura dan yaksa, sedangkan di puncak gunung Bodhisattva Avalokitesvara sedang berdiskusi dengan Vajrapani yang akhirnya menyimpulkan bahwa kebajikan Tara adalah yang paling baik untuk melenyapkan penderitaan para makhluk. Kemudian Avalokitesvara membabarkan 108 nama Tara atau Arya-tarabhattarika-namastottarasataka Stotra, yang menyebutkan bahwa Arya Tara berada di Gunung Potalaka (Putuo Shan).

Tara dan Nyai Rara Kidul

Di pulau Jawa pada zaman dahulu, Bodhisattva Tara dipuja dengan hebat dan agung di Candi Kalasan,Jawa Tengah. Konon dulu Guru Dharmakirti di Svarnadvipa (Sumatra) dapat terus menerus melihat
wajah Dewi Agung Tara. Bodhisattva Tara pertama-tama dikenali sebagai pelindung navigasi dan salah satu aspek dari Aryasthamahabhaya Tara adalah pelindung dari bahaya air. Warna hijau juga sering dikaitkan dengan Tara, yang bermakna “kesegaran
atau aktivitas”. Wujud tersebut dinamakan sebagai Vasya-Tara, yang dulu rupangnya berada di Candi Kalasan. Dari ciri-ciri di atas, kita tahu bahwa Kanjeng Ratu Kidul juga memiliki kedua aspek tersebut yaitu samudra (navigasi/air) dan warna hijau. Secara mengejutkan pula, Ratu Kidul tampak memiliki teratai biru wijayakusuma, mirip seperti
Bodhisattva Tara yang memegang teratai biru (utpala) juga.
Berbagai kemiripan memang dapat kita temukan dalam diri Arya Tara dan Ratu Kidul. Bodhisattva Tara juga dikenal dalam wujud nagini yang bernama Janguli, sedangkan di kalangan masyarakat Jawa, Ratu Kidul dikenal sebagai dewi ular naga (nagini). Kemungkinan Kanjeng Nyai Rara Kidul ini berasal dari dua penggabungan aspek dari Durga dan Dewi Sri. Dan menarik pula, bahwa Tara Bodhisattva memanifestasikan dirinya sebagai Parnashavari yang memiliki aspek mirip Durga sekaligus sebagai Vasudhara yang tak lain adalah Dewi Sri. Maka dari itu Tara dapat dikaitkan dengan aspek damai dan keras
dari Nyai Rara Kidul. Menurut Koentjaraningrat, sebutan “Nyai” sendiri merujuk pada jajaran kedewataan pada masa Hindu-Buddha.
Nyai Rara Kidul diberi sebutan Ratu Kidul karena ia adalah pemimpin para dewa-dewi, peri-peri dan setan-setan. Istananya berada di dasar Samudra tepat di pantai selatan Jawa Tengah. Ia adalah penguasa arah mata angin bagian selatan, sedangkan penguasa bagian utara yang bertahta di hutan Krendawahana adalah dewi Sanghyang Pramoni(Durga). Bodhisattva Tara sendiri dikenal sebagai Bodhisattva yang dapat menaklukkan semua ghana(kurcaci, pengikut Siva), vetala (vampir/mayat hidup) dan yaksha, bahkan iblis Mara (kematian);
pun juga dipuja oleh para gandharva dan makhluk-makhluk di atas.
Simbolisasi Tara menaklukkan iblis Mara ini mungkin kemudian berpengaruh terhadap Nyai Rara Kidul yang terus-menerus menjadi muda kembali.
Rara Kidul dapat menjadi tua ataupun muda,demikian juga Tara dapat bermanifestasi menjadi perempuan tua ataupun muda. Lara atau Rara berarti seorang gadis, sehingga dapat disimpulkan bahwa ikonografi Ratu Kidul seharusnya berperawakan perempuan muda, mengingatkan pada wujud fisik Tara sebagai gadis berumur 16 tahun.

Kesimpulan
Peran wanita dalam perkembangan suatu agama tidak dapat diremehkan. Kemuliaan perbuatan bajik dan pencapaian pencerahan tidak memandang jenis kelamin. Bahkan inti ajaran para Buddha (maître karuna) dilambangkan sebagai cinta kasih seorang ibu pada anaknya yang tunggal yang kemudian diwujudkan dalam diri Bodhisattva Tara yang selalu dengan sigap menolong para makhluk dan memeluk mereka dalam pelukan welas asih dari seorang Ibu.
Welas asih Ibu Tara tak mengenal batas dan terbukti telah banyak para makhluk yang telah ditolongnya di bumi Jambudvipa ini. Dengan
memakai jubah putih yang anggun, Beliau mengayomi serta menjawab doa-doa segenap umat Buddhis Tiongkok dan Timur Jauh selama berabad-abad lamanya. Dengan welas asihnya yang besar, beliau bertindak sebagai seorang Ibu bagi bangsa Tibet. Bertahta di candi yang terletak di Jawadvipa, Beliau melindungi seluruh Nusantara.
Bersemayam di dalam pencerahan agung, Ibu Tara melindungi semua makhluk di manapun mereka berada, bagaikan “bintang” yang memberikan cahaya, menuntun kita untuk keluar dari samudra kegelapan.

Pustaka Utama:
Willson, Martin. In Praise of Tara: Songs to the Saviouress
Bhattacharyya, Benoytosh. An Introduction to Buddhist Esoterism
Praharaj, Gitani. Tara
Bhattacharya, Bikas Kumar. Tara in Hinduism: Study with Textual and Iconographical Documentation
Kinsley, David. Tantric visions of the divine feminine:
the ten Mahāvidyās
Donaldson, Thomas E. Iconography of the Buddhist
Sculpture of Orissa: Text
Regmi, Jagdish Chandra. Goddess Tara: A Short Study
Weidner, Marsha Smith. Latter Days of the Law:
Images of Chinese Buddhism
Teoh Eng Soon. Guan Yin
Chunfang, Yu. Miracle Tales and the Domestication of Kuanyin
Hodge, Stephen. Maha-vairocana-abhisambodhi

Senin, 30 Januari 2012

AKASAGARBHA BODDHISATTVA


 (虚空藏菩萨 )

Banyak orang sering mendengar maupun membaca nama Bodhisattva Akasagarbha, namun riwayat Bodhisattva ini sendiri, tidak banyak diketahui umat. Beliau adalah salah satu dari delapan Maha Bodhisattva (Ashtamahabodhisattva) yang terdiri dari Avalokitesvara, Manjushri, Samantabhadra, Maitreya, Ksitigarbha, Akasagarbha, Mahasthamaprapta
(Vajrapani) dan Sarvanivarana-viskambhin. Akasagarbha (Xukongzang - Mandarin, Kokuzo - Jepang) dikenal pula dengan sebutan yang lebih pendek, Khagarbha. Sebutan “akasa” berarti angkasa yang tidak terbatas dan “garbha” adalah “kandungan/harta”. Jadi arti nama Akasagarbha adalah “harta angkasa yang tidak terbatas”, yang menyimbolkan kebijaksanaan para Buddha yang sangat luas.
Dalam Da-fang-deng-da-ji Jing tercantum:
“Misalkan ada seorang sesepuh yang kaya raya dan rakyat awam. Harta simpanan sesepuh itu tak terhingga banyaknya, penuh dengan uang dan
permata. [Sesepuh itu] berdana tanpa rasa kikir.
Saat berdana, para fakir miskin datang kepadanya dan meminta sebanyak yang mereka butuhkan, [sesepuh] itu membuka gudang hartanya dan
memberikan sebanyak yang dibutuhkan. Para fakir miskin itu menjadi terpuaskan. Setelah berdana, sesepuh itu bergembira dan tidak menyesal.
Para putra bajik, demikianlah pula Bodhisattva Akasagarbha [mempraktikkan kebajikanNya].”
Subhakarasimha (637-735), Master Tantra dari India yang juga merupakan salah satu pengembang aliran Tantrayana di Tiongkok – di samping Vajrabodhi
(670-741) dan Amoghavajra (705-775), mengatakan bahwa Akasagarbha adalah “kandungan” yang mencakup “semua makhluk dan semua hal serta
selalu memberikan harta Dharma yang tidak terbatas namun tidak pernah kosong. Ini seperti kandungan yang di dalamnya terdapat harta yang
sangat banyak di mana pemiliknya dapat secara bebas memberikan dana pada yang membutuhkan tanpa pernah dirinya menjadi miskin.”
Menurut Suyao IKuei, seseorang yang menginginkan kebahagiaan dan kebijaksanaan, seharusnya mendevosikan dirinya pada Bodhisattva
Akasagarbha. Alasannya adalah matahari, bulan dan bintang-bintang adalah emanasi Akasagarbha(Taisho, XXI, 422b).
Lagi, Sutra Bodhisattva Akasagarbha (Xukongzang Pusa Jing) menyebutkan
bahwa Buddha Sakyamuni sangat memuji beliau, “Dhyana [meditasi]-Nya sedalam samudra, sila-sila suciNya tinggi seperti pegunungan,
kebijaksanaanNya sangat berharga sehingga pantas menerima persembahan-persembahan terbaik dari semua makhluk hidup. Jasa dan kebajikanNya
tidaklah terbatas.”
Dikatakan bahwa Akasagarbha memiliki tinggi 20 yojana, memakai mahkota yang memanifestasikan 35 rupa para Buddha pertobatan. Kekuatan welas
asihNya bagaikan Avalokitesvara. Beliau memberikan kesejahteraan pada para makhluk hidup terus menerus. Ditulis bahwa ketika seorang bodhisattva
pemula melakukan pelanggaran dan mengaku salah di hadapan Bodhisattva Akasagarbha, maka karma buruk mereka akan terhapuskan dan mereka akan
menjadi segera termurnikan kembali. Akasagarbha dapat meningkatkan ingatan seseorang, seperti yang dijelaskan dalam Gumonjihou.
Melenyapkan halangan-halangan dan memberikan semangat pada
para praktisi untuk menyempurnakan Enam Paramita sehingga mereka dapat mencapai keBuddhaan.
Akasagarbha bahkan dianggap sebagai “saudara kembar” dari Ksitigarbha Bodhisattva. Dalam masa masa yang lebih awal, mereka sering digambarkan
bersama-sama, menyimbolkan berkah dari langit (akasa) dan bumi (ksiti). Selain itu, kedua Bodhisattva ini berhubungan dengan “garbha” yaitu Tathagatagarbha, benih keBuddhaan dalam diri tiap makhluk. Keterkaitan mereka berdua juga ditunjukkan dengan munculnya Bodhisattva Akasagarbha dalam Sutra Ksitigarbha Purva-pranidhana.
Bodhisattva Akasagarbha sudah diperkenalkan di Jepang sejak periode Nara (710- 784). Pemujaan Akasagarbha di Jepang sangat popular di lingkungan aliran Shingon. Kobo Daishi (Kukai), pendiri Buddhisme Shingon (Tantra
Timur) melafalkan mantra Akasagarbha berjuta-juta kali dan praktik-praktik Akasagarbha lainnya ketika masih sebagai bhiksu muda di Gunung Tairyu
dan di Cape Muroto. Ritual Akasagarbha dipelajarinya dari gurunya, Master Genzo. Seiring dengan pembacaan mantra, ia mengalami penglihatan di mana
Akasagarbha memintanya pergi ke Tiongkok untuk mempelajari dan memahami Sutra Mahavairocana. Mantra Akasagarbha sangat popular di kalangan umat Buddha Shingon, karena diyakini mampu memberikan kebijaksanaan untuk mencapai pencerahan serta berbagai talenta seni lainnya.
Di dalam aliran Buddha Shingon, dikenal pula lima wujud Akasagarbha (Panca-Mahakasagarbha) yaitu: Dharmadhatu Akasagarbha, Vajra Akasagarbha,
Ratnaprabha Akasagarbha, Padma Akasagarbha, dan Karma Akasagarbha.
Di pulau Honshu, Jepang, sampai sekarang masih dijalankan tradisi di mana anak-anak yang berumur 13 tahun memberikan penghormatan pada Akasagarbha dengan harapan dapat tumbuh menjadi orang yang pandai.
Di Asia Timur, Akasagarbha digambarkan memegang Cintamani yang menyimbolkan kegembiraan, kebajikan dan berkah duniawi bagi semua makhluk. Di tangan kananNya terdapat pedang tajam yang menyimbolkan kebijaksanaan yang memotong kebodohan batin. Terkadang Beliau juga tampak tampil dengan posisi tangan abhaya mudra (menolak bahaya atau tanpa rasa takut) sambil memegang tombak teratai atau nilotpala yang di puncaknya terdapat permata pengabul harapan (Cintamani).
Cintamani yang dipegang Akasagarbha berbentuk seperti stupa. Stupa ini sebenarnya adalah stupa besi di India Selatan tempat teks Sutra Mahavairocana dan Sarvatathagata-samgraha disimpan oleh Vajrasattva. Stupa beserta teks ini akhirnya ditemukan oleh Nagarjuna, yang kemudian mentransmisikan ajarannya pada Nagabodhi, yang dilanjutkan pada Vajrabodhi dan Amoghavajra.
Sedangkan di Nepal, Bodhisattva Akasagarbha ditampilkan dalam posisi
berdiri dengan membentuk mudra vitarka (pembahasan kebenaran) dan
varada mudra (memberi anugerah).
Simbolnya adalah matahari di atas buku. Kain yang sangat anggun
melilit di pinggang dan selendang tipis ditempatkan mengelilingi tubuh mulai dari pundak kiri hingga pinggul kanan. Rambut disanggul seperti stupa (ushnisa).
Di Tibet, Khentrul Rinpoche dikenali sebagai emanasi ketujuh dari Akasagarbha Bodhisattva.
Kelahiran masa lampaunya adalah Lhazu Lama, Trulku Ngawang and Getse Khentrul. Selain itu dari 25 murid Guru Padmasambhava, ada yang bernama
Akasagarbha (Namkhai Nyingpo). Kesamaan nama ini bukan merupakan suatu kebetulan saja, namun sebenarnya Beliau adalah juga emanasi Bodhisattva
Akasagarbha itu sendiri.
Menurut legenda Svayambhu, ketika Acharya Odiayana bermeditasi di pegunungan dekat bukit Svayambhu, ia berharap dapat melihat Bodhisattva
Akasagarbha. Ia kemudian meniup kulit kerang. Dalam waktu singkat, Akasagarbha muncul di depan Acharya Odiyana untuk memberikan berkah padanya. Ia memanifestasikan suatu arus cahaya yang sangat menakjubkan
dan sinar tersebut kemudian berubah sebuah batu bundar besar dan menghilang.
Akasagarbha memprediksikan bahwa Acharya Odiyana akan menjadi Acarya Bandhudatta yang terkenal, yang membawa Arya Avalokitesvara dari Assam dan mengadakan festival kereta di lembah Kathmandu serta mencapai pembebasan di bawah kaki Arya Avalokitesvara. Maka tempat di mana Akasagarbha Bodhisattva memancarkan cahaya disebut sebagai Adishvara dekat bukit Svayambhu.

Oleh : Hendrick & Ching Ik
Sinar Dharma

BODHISATTVA SAMANTABHADRA


(普賢菩薩)







Dalam Buddhisme Tiongkok, Bodhisattva Samantabhadra disebut sebagai Puxian (baca: Bu-sien), yang mengandung makna “Kemuliaan Universal” atau juga “Kebajikan Universal”. Sutra Avatamsaka menyebutnya sebagai salah
satu dari Tiga Makhluk Suci Avatamsaka, yakni: Bodhisattva Manjusri (kiri), Buddha Sakyamuni (tengah) dan Bodhisattva Samantabhadra (kanan).
Secara simbolis, Bodhisattva Samantabhadra digambarkan dalam wujud mengendarai gajah putih bergading enam (gajah putih melambangkan
keluasan dan kedalaman praktik, sedang enam gading melambangkan 6 Kesempurnaan).


Bodhisattva Samantabhadra telah mempraktikkan Jalan Bodhisattva sejak kalpa lampau yang tak terhitung lamanya.
Ketika Buddha Amitabha masih terlahir sebagai seorang raja Cakravartin, Bodhisattva Samantabhadra merupakan putra mahkota ke-8 yang bernama Amiga. Ketika itu, Pangeran Amiga membangkitkan ikrar anuttara-samyaksambodhi di hadapan Buddha Ratna-garbha. Pangeran Amiga mengutarakan tekad untuk menguasai berbagai jenis samadhi guna membimbing semua makhluk hidup di sepuluh penjuru semesta.
Buddha Ratna-garbha kemudian memberi nama Samantabhadra bagi
Pangeran Amiga dan menyatakan bahwa sang pangeran akan menjadi Buddha di masa mendatang dengan nama Tathagata Jnanavajravijrmbhitesvaraketu (Karuna Pundarika Sutra, Bab 4). Keagungan praktik Jalan Bodhisattva yang dicanangkan Samantabhadra tercermin dari Sepuluh Ikrar Agung (Sutra
Avatamsaka Bagian Samantabhadra Carya-pranidhana varga)
sehingga menempatkannya dalam posisi yang sejajar dengan para Bodhisattva Agung seperti Manjusri, Avalokitesvara, dan Ksitigarbha. Keagungan praktik dan perilaku ini jugalah yang membuat Samantabhadra dijuluki sebagai Arya Bhadra
Carya Pranidhanam Raja (Yang Suci Raja Ikrar dan Praktik Kebajikan Agung).
10 Ikrar Agung Samantabhadra adalah sebagai berikut:
1. Menghormati para Buddha
2. Memuji Tathagata
3. Memberi persembahan yang luas
4. Menyesal dan bertobat atas perbuatan yang buruk
5. Bersuka cita atas pahala kebajikan
6. Memohon pemutaran roda Dharma
7. Memohon Buddha menetap di dunia
8. Selalu menyertai dan belajar dari Buddha
9. Selalu selaras dengan semua makhluk hidup
10. Melimpahkan semua pahala kebajikan secara universal.
Keistimewaan dari Sepuluh Ikrar Samantabhadra ini terletak pada kemuliaannya yang meliputi dimensi ruang
(luas, universal, menyebar ke sepuluh penjuru semesta), dimensi waktu (menembus tiga masa - lampau, kini dan akan datang), serta
mengutamakan kebahagiaan semua makhluk.
Samantabhadra menjelaskan bahwa sejauh alam semesta masih berlangsung, sejauh para makhluk hidup masih muncul, maka sepuluh ikrar dan perilaku ini tidak akan pernah berakhir.
Dengan demikian maka sifat universal dari praktik dan perilaku Samantabhadra sungguh mencengangkan, tak terbayangkan, dan di luar jangkauan makhluk awam.
Karena itu, Samantabhadra dikenal sebagai Bodhisattva Manifestasi Keagungan Tekad,Praktik dan Perilaku. Keagungan perilaku yang dicanangkan dalam 10 Ikrar Agung melahirkan suatu terminologi Dharma yang disebut Praktik Samantabhadra.
Praktik Samantabhadra kemudian menjadi suatu praktik yang mutlak bagi setiap orang yang menapaki Jalan Bodhisattva. Dalam berbagai Sutra Mahayana,para Bodhisattva Agung disebutkan telah berdiam di dalam Praktik Samantabhadra.
Samantabhadra merupakan salah satu siswa mulia yang selalu hadir dalam berbagai pesamuan agung pembabaran Dharma oleh Buddha Sakyamuni. Dalam Sutra Saddharmapundarika dinyatakan bahwa Samantabhadra menjadi
pelindung bagi mereka yang mendalami Sutra ini. Sedang dalam Sutra Avatamsaka, Putra Sudhana - pemuda yang menapak Jalan Bodhisattva dan berguru kepada 53 Bodhisattva Agung – saat menghadap Bodhisattva ke-
53 yakni Samantabhadra, ia diajarkan untuk menempuh Praktik Samantabhadra.
Melaksanakan praktik Samantabhadra sama dengan telah mengaplikasikan seluruh rangkaian praktik Dharma. Oleh karena itu, Praktik Samantabhadra adalah metode yang secara umum telah dilaksanakan oleh para Bodhisattva tingkat tinggi. Meski makhluk biasa sulit untuk menjalankan praktik ini dengan sempurna, namun membangkitkan ikrar seperti ini adalah suatu tapak yang sangat dianjurkan karena merupakan bagian dari Jalan Bodhisattva.
Untuk itu, bagi praktisi yang ingin menapak Jalan Bodhisattva dan menjalin ikatan jodoh karma dengan Samantabhadra, Buddha Sakyamuni dalam Sutra Guan Puxian Pusa Xingfa Jing (Sutra Mengamati Bodhisattva Samantabhadra Mempraktikkan Dharma) telah memaparkan lebih jauh tentang metode Praktik Samantabhadra, penyesalan dan pertobatan akan kekotoran enam landasan indera, dan pahala kebajikan akan penyesalan dan pertobatan.
Kemudian keagungan lain dari praktik Samantabhadra juga terlihat dalam Sutra Da Fang Guang Puxian Suoshuo Jing (Sutra Besar Lurus Luas yang Dibabarkan Samantabhadra).
Pada suatu ketika, para Bodhisattva berkumpul dalam satu pesamuan Buddha
Sakyamuni, tiba-tiba muncul beratus ribu koti Bodhisattva Agung lain yang jumlahnya tak terbatas, yang mana mereka telah merealisasikan Praktik Samantabhadra.
Pada saat itu, Samantabhadra meminta Bodhisattva yang hadir untuk menyelidiki dari mana para Bodhisattva yang baru muncul itu berasal, namun tidak ada satupun Bodhisattva yang sanggup walaupun telah menggunakan beratus ribu koti jenis samadhi.
Akhirnya Bodhisattva Samantabhadra dengan kekuatan batin berhasil mengetahui dan memperlihatkan tempat para Bodhisattva Agung itu berasal, serta menjelaskan bahwa kemampuan mengagumkan ini merupakan hasil dari Praktik Samantabhadra.
Pusat pembabaran Dharma Samantabhadra konon diyakini terletak di Gunung Emei, Propinsi Sichuan, bagian barat daya Tiongkok. Selain berpedoman pada catatan dalam Sutra, keyakinan ini juga tidak terlepas dari kisah nyata mengenai penampakan Samantabhadra di gunung tersebut. Kisah pertama muncul pada masa dinasti Jin.
Saat itu hiduplah seorang praktisi penyepian bernama Puwen. Ketika mencari obat-obatan di gunung Emei, beliau melihat seekor rusa dan kemudian berusaha mengejarnya. Saat rusa tersebut lari hingga ke atas puncak gunung yang tidak memiliki jalan keluar, sang rusa tiba-tiba menghilang dan muncul berkas cahaya yang aneh. Melihat kejadian ini, Puwen merasa heran.
Beliau lalu bertanya pada Baozhang, seorang bhiksu asal India yang kebetulan sedang berkunjung ke Tiongkok. Bhiksu Baozhang lalu menjelaskan bahwa apa yang dilihat Puwen itu merupakan makhluk jelmaan Bodhisattva Samantabhadra.
Menurut Bhiksu Baozhang, Samantabhadra berdiam di gunung tersebut untuk mengajarkan Dharma. Selain itu, pemandangan yang unik di gunung Emei terletak pada kemunculan cahaya aneh di malam hari. Ciri-ciri inilah yang menjadi pedoman atas keyakinan bahwa gunung ini sesuai dengan gambaran catatan Sutra.
Bagi pemeluk agama Buddha di Tiongkok, Gunung Emei disebut juga sebagai Guangming Shan (Gunung Cahaya Gemilang). Menurut Sutra Avatamsaka bagian Kediaman Para Bodhisattva disebutkan, “Di wilayah barat daya terdapat
wilayah yang bernama Gunung Cahaya Gemilang. Semenjak lama gunung ini menjadi tempat kediaman para Bodhisattva, dan sekarang ini Bodhisattva Samantabhadra bersama sekelompok Bodhisattva lain sejumlah 3.000 orang menetap di gunung ini untuk membabarkan Dharma.”
Apakah benar Gunung Cahaya Gemillang yang digambarkan dalam Sutra menunjuk pada gunung Emei? Yang jelas Gunung Emei telah menjadi gunung
yang memiliki jodoh karma yang tak terpisahkan dengan nama Bodhisattva Samantabhadra. Semenjak dikenal sebagai pusat pembabaran Dharma Bodhisattva Samantabhadra, berdirilah puluhan vihara di seantero Gunung Emei yang merupakan salah satu Empat Gunung Buddha di Tiongkok.
Pada prinsipnya, semua Bodhisattva menapak jalan yang setara serta melalui berbagai upaya kausalya (metode praktis - bijaksana), salah satunya dalam bentuk wujud jelmaan untuk membimbing makhluk hidup agar berkenan memasuki pemahaman Dharma. Demikian juga dengan Samantabhadra
yang menekankan upaya kausalya segi praktik dan perilaku dalam menempuh Jalan Bodhisattva untuk membahagiakan semua makhluk.
Tidak hanya berada di Gunung Emei saja, Samantabhadra sesungguhnya menjelma dalam wujud yang tak terhitung di seluruh alam semesta ini sebagai manifestasi pelaksanaan Praktik Samantabhadra. Lebih jelasnya, saat praktik Dharma muncul dalam pikiran, ucapan dan tindakan jasmani setiap makhluk hidup, maka di situlah tempat persemayaman yang sebenarnya dari Bodhisattva Samantabhadra


Oleh : Ching Ik

Jumat, 13 Januari 2012

Maitrevyakarana



(Pernyataan tentang kemunculan Buddha Maitreya)

Sariputra, sang jenderal Dharma yang agung, yang paling bijaksana dan cemerlang, demi belas kasih terhadap dunia menanyakan kepada Yang Dimuliakan (Sang Bhagava), “Beberapa waktu yang lampau Anda mengatakan pada kami tentang Buddha yang akan datang, yang akan memimpin dunia pada masa yang akan datang, dan yang akan menggunakan nama Maitreya. Saya sekarang ingin mendengar lebih banyak  tentang kekuatan-Nya dan pemberian yang menakjubkan dari Beliau. Katakanlah kepadaku, O Yang termulia di antara manusia, tentang hal ini!”
Sang Bhagava menjawab, “Pada masa itu, samudera akan kehilangan banyak airnya, dan akan terdapat lebih sedikit air daripada saat ini. Sebagai akibatnya seorang raja dunia (cakravartin) tidak akan kesulitan untuk menyeberanginya. Jambudvipa (India) akan sangat datar di mana-mana, ia akan berukuran sepuluh ribu yojana, dan semua orang akan memiliki kebebasan untuk tinggal di sana. Ia memiliki penduduk yang tidak terhitung, yang tidak akan melakukan kejahatan, namun akan senang berbuat baik. Tanahnya akan bebas dari semak berduri, dan bahkan diselimuti dengan hamparan rerumputan hijau yang segar; ketika seseorang melompatinya, ia memberikan jalan, dan menjadi lembut bagaikan dedaunan pohon kapas. Ia memiliki padi-padian yang rasanya enak dan berbau wangi yang tumbuh pada tanahnya, tanpa perlu dibajak. Kain sutra yang mahal dan bahan kain lainnya yang berwarna-warni berkembang dari pepohonan. Pepohonan tersebut akan menghasilkan daun, bunga, dan buah secara bersamaan; mereka [tumbuh] setinggi yang dapat dicapai oleh suara dan mereka bertahan selama delapan tahun yang tak terhitung [delapan asankhyeya kalpa?]. Manusia saat itu tanpa cacat, pelanggaran sila tidak dikenal di antara para manusia, dan mereka penuh dengan semangat dan kegembiraan. Tubuh mereka sangat besar dan kulit mereka memiliki warna yang cerah. Kekuatan mereka luar biasa. Hanya tiga jenis penyakit yang diketahui- orang-orang harus mengenyangkan perutnya, mereka harus makan, mereka akan menjadi tua. Hanya ketika berusia lima ratus tahun para wanita menikah.”

“Kota Ketumati saat itu akan menjadi ibukotanya. Di dalamnya akan berdiam raja dunia, bernama Shankha, yang akan berkuasa atas seluruh dunia hingga ke batas lautan; dan ia akan membuat kemenangan dalam Dharma. Ia akan menjadi pahlawan besar, yang mendapatkan kedudukannya dengan kekuatan ratusan perbuatan baik. Penasehat spiritualnya adalah seorang brahmana, bernama Subrahmana, seorang yang terpelajar, sangat ahli dalam empat Veda, dan mendalami semua pengetahun para brahmana. Dalam brahmana tersebut akan memiliki istri bernama Brahmavati, yang cantik, menarik, anggun, dan termashyur.”

“Maitreya, yang terbaik di antara manusia, saat itu akan meninggalkan surga Tushita, dan mengalami kelahiran terakhirnya di dalam kandungan wanita tersebut. Selama sepuluh bulan penuh, ia akan mengandung tubuh cemerlang Bodhisattva. Kemudian ia akan pergi ke sebuah taman yang penuh dengan bunga-bunga yang cantik, dan di sana, bukan dengan duduk atau berbaring, tetapi dengan berdiri sambil berpegangan pada sebuah dahan pohon, ia akan melahirkan Maitreya. Ia, yang teragung di antara manusia, akan keluar dari sisi kanan ibunya, bagaikan matahari bersinar ketika muncul dari kumpulan awan. Tidak tercemar oleh kekotoran dari rahim bagaikan sekuntum teratai yang tidak terkotori oleh air, ia akan mengisi seluruh Triloka dengan kemuliaannya. Segera setelah ia lahir, Bodhisattva akan berjalan tujuh langkah ke depan, dan di mana ia menginjakkan kakinya sebuah permata atau sekuntum teratai akan tumbuh. Ia akan memandang ke sepuluh penjuru arah dan mengatakan perkataan ini: ‘Inilah kelahiran terakhirku. Tidak aka nada kelahiran lagi setelah ini. Tidak akan pernah aku kembali lagi ke sini, tetapi semuanya murni, aku akan mencapai Nirvana’.”
“Dan ketika ayahnya melihat bahwa putranya memiliki tiga puluh dua ciri manusia agung, dan mengetahui maksudnya dari mantra-mantra suci [dalam Veda], ia akan diliputi dengan kegembiraan, karena ia mengetahui bahwa, seperti yang ditunjukkan dalam mantra-mantra, dua cara [hidup] terbuka untuk putranya: ia akan menjadi raja dunia, atau seorang Buddha yang sempurna. Namun seraya Maitreya tumbuh dewasa, Dharma akan semakin mengambil perhatiannya, dan ia akan merenungkan bahwa semua kehidupan terbelenggu pada penderitaan. Ia akan memilliki suara merdu yang menjangkau sampai jauh; kulitnya akan berwarna keemasan, kemuliaan yang agung akan memancar dari tubuhnya, dadanya lebar, anggota tubuhnya berkembang baik, dan matanya bagaikan kelopak bunga teratai. Tubuhnya akan setinggi delapan puluh hasta dan selebar tiga puluh dua hasta. Ia akan memiliki penggiring sebanyak 84.000 orang, di mana ia mengajarkan mantra-mantra kepada mereka. Dengan para pengiring ini ia suatu hari akan pergi menuju kehidupan tanpa rumah. Pohon naga akan menjadi pohon di mana ia akan mencapai Pencerahan; cabang-cabangnya tumbuh setinggi lima puluh yojana, dan dedaunannya menyebar jauh dan lebar selebar enam Ko [yojana?]. Di bawah pohon ini Maitreya, yang terbaik di antara manusia, akan mencapai Pencerahan Sempurna – tidak akan ada keraguan akan hal ini. Dan ia akan mencapai Pencerahan pada hari yang sama dengan hari ia pergi menuju kehidupan tanpa rumah.”

“Dan kemudian, seorang bijaksana yang agung, Ia dengan suara yang sempurna akan mengajarkan Dharma sejati, yang menguntungkan dan melenyapkan semua penyakit, yaitu kebenaran tentang penyakit (dukkha), asal mula penyakit, lenyapnya penyakit, dan Jalan Mulia Berunsur Delapan yang membawa keamanan dan menuju Nirvana. Ia akan menjelaskan Empat Kebenaran, karena Ia telah melihat bahwa generasi-generasi, yang berkeyakinan telah siap untuknya, dan mereka yang telah mendengarkan Dharma-Nya akan membuat kemajuan spiritual. Mereka akan berkumpul di sebuah taman yang penuh dengan bunga-bunga cantik dan perkumpulannya akan terbentang sejauh seratus yojana. Di bawah bimbingan Maitreya, ratusan ribu makhluk akan memasuki kehidupan suci.”

“Dan setelah itu Maitreya, guru yang berbelas kasih, mengamati mereka yang berkumpul di sekelilingnya dan berkata kepada mereka sebagai berikut: 'Sakyamuni telah melihat kalian semua, Ia, yang terbaik di antara orang-orang bijaksana, sang penyelamat, pelindung sejati dunia, yang menyimpan Dharma sejati. Adalah Ia yang telah menyediakan kalian jalan menuju pembebasan, tetapi sebelum kalian akhirnya mencapainya kalian harus menanti ajaran-Ku. Dikarenakan kalian telah menghormati Sakyamuni dengan payung penahan matahari, panji-panji, bendera, wewangian, rangkaian bunga, dan salap sehingga kalian telah tiba di sini untuk mendengarkan ajaran-Ku. Dikarenakan kalian telah mempersembahkan pada stupa-stupa Sakyamuni wewangian kayu cendana atau kurkuma bubuk, sehingga kalian telah tiba di sini untuk mendengarkan ajaran-Ku. Dikarenakan kalian selalu berlindung kepada Buddha, Dharma, dan Sangha, sehingga kalian telah tiba di sini untuk mendengarkan ajaran-Ku. Dikarenakan dalam ajaran Sakyamuni kalian menjalankan dan mematuhi sila, dan telah sungguh-sungguh melakukannya, sehingga kalian telah tiba di sini untuk mendengarkan ajaran-Ku. Dikarenakan kalian telah memberikan dana kepada para bhikshu – jubah, minuman, makanan, dan berbagai jenis obat-obatan – sehingga kalian telah tiba di sini untuk mendengarkan ajaran-Ku. Dikarenakan kalian selalu menjalankan hari uposatha sehingga kalian tiba di sini untuk mendengarkan ajaran-Ku'.”

“Dan Shakra, yang bermata seribu, raja para dewa yang cemerlang, sangat bergembira, memberikan penghormatan pada sang pemimpin dunia, dan memuji Beliau sebagai berikut: ‘Terpujilah engkau, O yang termulia di antara manusia! Terpujilah engkau, yang terbaik diantara manusia! Berbelas kasihlah pada orang banyak, O Yang Dimuliakan!' Dan juga Mara, yang berkekuatan besar, akan berada di sana, dan ia juga akan memberikan penghormatan pada sang pemimpin dunia tersebut, dan memuji Beliau. Dan dikelilingi oleh perkumpulan para dewa, sang Brahma juga akan mengumandangkan Dharma sejati dengan suara surgawinya. Dan seluruh dunia akan dipenuhi dengan para Arhat, yang kekotoran batinnya telah dilenyapkan, yang telah bebas dari kesalahan-kesalahan, yang telah menghancurkan seluruh belenggu yang mengikat mereka pada kelahiran kembali. Dengan gembira, para dewa, manusia, gandharva, yaksha, dan raksasa memuja sang guru, dan juga para naga yang perkasa. Mereka akan menghilangkan keraguan mereka dan arus keinginan mereka akan dilenyapkan; bebas dari semua penderitaan, mereka akan berhasil menyeberangi lautan kelahiran kembali; dan sebagai hasil dari ajaran Maitreya, mereka akan menjalankan kehidupan suci. Tidak akan lagi mereka menganggap segala sesuatu sebagai milik mereka, mereka tidak akan memiliki apa-apa, tidak ada emas atau perak, tidak ada rumah, tidak ada kerabat! Namun mereka akan menjalankan kehidupan suci dalam kesederhanaan di bawah bimbingan Maitreya. Mereka akan merobek jaring nafsu, mereka akan berhasil memasuki ketenangan batin, dan mereka akan merasakan banyak sekali kegembiraan dan kebahagiaan; karena mereka menjalankan kehidupan suci di bawah bimbingan Maitreya.”

“Selama 60.000 tahun Maitreya, yang terbaik di antara manusia, akan mengajarkan Dharma sejati, yang berbelas kasih pada semua makhluk. Dan ketika ia telah mendisiplinkan ratusan juta makhluk dalam Dharma sejati, maka sang pemimpin akhirnya akan memasuki Nirvana. Dan setelah orang bijaksana yang agung tersebut memasuki Nirvana, Dharma sejati-Nya akan bertahan selama sepuluh ribu tahun lagi.”

“Oleh sebab itu, bangkitkanlah keyakinanmu kepada Sakyamuni, Sang Penakluk! Karena dengan demikian kamu akan melihat Maitreya, Buddha yang sempurna, yang terbaik di antara manusia! Batin siapa yang begitu gelap jika tidak diterangkan dengan keyakinan yang benar ketika ia mendengar hal mengagumkan ini, sangat berpotensi akan masa depan yang baik! Oleh karena itu, mereka yang mengharapkan kejayaan spiritual, biarkanlah mereka menghormati Dharma sejati, biarkanlah mereka menjadi sadar akan ajaran para Buddha!”

Kamis, 12 Januari 2012

Keputusan WBSC tentang aliaran yang termasuk ajaran BUDDHA




Pendahuluan

Dalam suatu faham, kepercayaan ataupun agama tentunya memiliki ciri khas dalam ide, konsep ataupun ajarannya yang membedakannya satu dengan yang lain. Meskipun dalam suatu faham, kepercayaan ataupun agama tersebut memiliki aliran atau mazab atau tradisi yang beraneka ragam, namun pastilah memiliki ciri khas, kesamaan beberapa konsep ajaran yang mendasar yang menghubungan satu dengan yang lain sehingga aliran-aliran tersebut masih dapat digolongkan dalam faham, kepercayaan ataupun agama induknya.
Buddhisme merupakan agama yang juga tidak lepas dari keberagaman aliran ataupun tradisi. Mayoritas, terdapat dua aliran atau tradisi dalam Buddhisme, yaitu Theravada dan Mahayana (dengan mempertimbangkan Vajrayana merupakan bagian dari Mahayana). Digolongkannya aliran Theravada maupun Mahayana sebagai bagian dari Buddhisme tidak lepas dari adanya kesamaan yang mendasar dalam beberapa konsep ajaran yang merupakan inti sari dari Buddha Dhamma.
Dalam tulisan kali ini, kita disuguhkan persamaan pokok-pokok dasar yang terdapat dua aliran besar dalam Buddhisme yang menjadi pemersatu keduanya. Pokok-pokok dasar pemersatu ini terdapat dalam rumusan-rumusan yang sebelumnya telah dipelajari, disusun, dan diterima oleh para rohaniawan khususnya yang tergabung dalam Dewan Sangha Buddhis Sedunia.
Rumusan Oleh Dewan Sangha Buddhis Sedunia
Pada tahun 1966, Dewan Sangha Buddhis Sedunia atau World Buddhist Sangha Council (WBSC) terbentuk di Colombo, Sri Lanka pada bulan Mei. WBSC merupakan organisasi internasional non-pemerintah yang keanggotaannya terdiri dari sangha-sangha dari seluruh dunia.
WBSC memiliki perwakilan dari tradisi Theravada, Mahayana, dan Vajrayana, yang berasal dari berbagai negara yaitu: Australia, Bangladesh, Kanada, Denmark, Perancis, Jerman, Hong Kong, India, Indonesia, Jepang, Korea, Macao, Malaysia, Mongolia, Myanmar, Nepal, New Zealand, Philipina, Singapura, Sri Lanka, Sweden, Taiwan, Thailand, Inggris dan Amerika Serikat.
Pada Kongres WBSC Pertama, salah satu pendirinya, Sekretaris-jendral, almarhum Y.M. Pandita Pimbure Sorata Thera meminta Y.M. Walpola Rahula untuk memberikan rumusan ringkas untuk mempersatukan tradisi-tradisi yang berbeda, yang kemudian secara bulat disetujui oleh Dewan. Inilah sembilan “Pokok-Pokok Dasar Pemersatu Theravada dan Mahayana”:
  1. Sang Buddha hanyalah satu-satunya Guru dan Penunjuk Jalan.
  2. Kami berlindung dalam Ti Ratana (Buddha, Dhamma, dan Sangha).[1]
  3. Kami tidak mempercayai dunia ini diciptakan dan diatur oleh tuhan.[2]
  4. Kami mengingat bahwa tujuan hidup adalah mengembangkan belas kasih untuk semua makhluk tanpa diskriminasi dan berusaha untuk kebaikan, kebahagiaan, dan kedamaian mereka; dan untuk mengembangkan kebijaksanaan yang mengarah pada perealisasian Kebenaran Tertinggi.Kami menerima Empat Kebenaran Arya, yaitu dukkha, penyebab timbulnya dukkha, padamnya dukkha, dan jalan menuju pada padamnya dukkha; dan menerima hukum sebab dan akibat (Paticcasamuppada/ Pratityasamutpada).
  5. Segala sesuatu yang berkondisi (sankhara / samskara) adalah tidak kekal (anicca / anitya) dan dukkha, dan segala sesuatu yang berkondisi dan yang tidak berkondisi (dhamma) adalah tanpa inti, bukan diri sejati (anatta / anatma).
  6. Kami menerima Tigapuluh Tujuh (37) kualitas yang membantu menuju Pencerahan (Bodhipakkhika Dhamma / Bodhipaksa Dharma) sebagai segi-segi yang berbeda dari Jalan yang diajarkan oleh Sang Buddha yang mengarah pada Pencerahan.
  7. Ada tiga jalan mencapai bodhi atau Pencerahan: yaitu sebagai Savakabuddha / Sravakabuddha, sebagai Paccekabuddha / Pratyekabuddha, dan sebagai Samyaksambuddha / Sammasambuddha. Kami menerimanya sebagai yang tertinggi, termulia dan terheroik untuk mengikuti karir Bodhisattva dan untuk menjadi seorang Sammasambuddha dalam rangka menyelamatkan makhluk lain. [3]
  8. Kami mengakui bahwa di negara yang berbeda terdapat perbedaan pandangan kepercayaan-kepercayaan dan praktik Buddhis. Bentuk dan ekspresi luar ini seharusnya tidak boleh dicampuradukkan/dikelirukan (perlu dipisahkan) dengan esensi/inti ajaran-ajaran Sang Buddha.
Perluasan Rumusan
Pada tahun 1981 Y.M. Walpola Sri Rahula mengajukan alternatif rumusan yang mengacu pada 9 dasar dalam rumusan terdahulu. Rumusan tersebut berisi:
  1. Apapun aliran, kelompok atau sistem kami, sebagai Buddhis kami semua menerima Sang Buddha sebagai Guru kami yang memberikan kami ajaranNya.
  2. Kami semua berlindung pada Tiga Permata (Tiratana): Sang Buddha, Guru kami; Dhamma, ajaranNya; dan Sangha, Komunitas para Arya (suciwan). Dengan kata lain, kami berlindung pada Pengajar, Pengajaran, dan Hasil Pengajaran.
  3. Baik Theravada ataupun Mahayana, kami tidak mempercayai bahwa dunia ini diciptakan dan diatur oleh tuhan atas kehendaknya.
  4. Mengikuti keteladanan Sang Buddha, Guru kami yang merupakan perwujudan dari Belas kasih Agung (Maha Karuna) dan Kebijaksanaan Agung (Maha Prajna), kami menyadari bahwa tujuan dari hidup adalah untuk mengembangkan belas kasih bagi semua makhluk hidup tanpa diskriminasi dan untuk bekerja untuk kebaikan, kebahagiaan, dan kedamaian mereka; dan untuk mengembangkan kebijaksanaan yang mengarah pada realisasi Kebenaran Tertinggi.
  5. Kami menerima Empat Kebenaran Mulia yang diajarkan oleh Sang Buddha, yaitu, Dukkha , kebenaran bahwa keberadaan kita di dunia ini berada dalam kesukaran, tidak kekal, tidak sempurna, tidak memuaskan, penuh dengan konflik; Samudaya , kebenaran bahwa kondisi-kondisi ini merupakan hasil dari sifat egois kita yang mementingkan diri sendiri berdasarkan pada ide yang salah mengenai diri; Niroda , kebenaran bahwa adanya kepastian akan kemungkinan pelepasan, pembebasan, kemerdekaan dari kesukaran ini dengan pemberantasan secara total sifat egois yang mementingkan diri sendiri; dan Magga , kebenaran bahwa pembebasan ini dapat dicapai melalui Jalan Tengah yang terdiri dari delapan faktor, yang mendorong ke arah kesempurnaan akan kemoralan (sila), disiplin mental (samadhi), dan kebijaksanaan (panna).
  6. Kami menerima hukum semesta sebab akibat yang terdapat dalam Paticcasamuppada (Skt. Pratityasamutpada, Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan), dan oleh karena itu kami menerima bahwa segala sesuatu bersifat relatif, saling berhubungan, saling berkaitan dan tidak ada yang mutlak, tetap, dan kekal di alam semesta ini.
  7. Kami memahami, berdasarkan pada ajaran Sang Buddha, bahwa segala sesuatu yang berkondisi (sankhara) adalah tidak kekal (anicca), tidak sempurna dan tidak memuaskan (dukkha), dan segala sesuatu yang berkondisi dan tidak berkondisi (dhamma) adalah bukan diri/ tanpa inti (anatta).
  8. Kami menerima Tigapuluh Tujuh kualitas yang berguna bagi pencapaian Pencerahan (Bodhipakkhiya Dhamma) sebagai beragam aspek yang berbeda dari Jalan yang diajarkan oleh Sang Buddha yang mendorong ke arah Pencerahan, yaitu:
    1. Empat Bentuk Landasan Perhatian Benar (Pali: satipatthana; Skt. smrtyupasthana);
    2. Empat Daya Upaya Benar (Pali. sammappadhana; Skt. samyakpradhana);
    3. Empat Dasar Kekuatan Batin (Pali. iddhipada; Skt. rddhipada);
    4. Lima Macam Kemampuan (indriya: Pali. saddha, viriya, sati, samadhi, panna; Skt. sraddha, virya, smrti, samadhi, prajna);
    5. Lima Macam Kekuatan (bala: saddha, viriya, sati, samadhi, panna; Skt. sraddha, virya, smrti, samadhi, prajna);
    6. Tujuh Faktor Pencerahan Agung (Pali. bojjhanga; Skt. bodhianga);
    7. Delapan Ruas pada Jalan Mulia (Pali. ariyamagga; Skt. aryamarga).
  9. Ada tiga jalan untuk mencapai Bodhi atau Pencerahan Agung berdasarkan pada kemampuan/kecakapan dan kapasitas dari masing-masing individu, yaitu: sebagai seorang Sravaka (Yang melaksanakan ajaran Sammasambuddha ), sebagai seorang Pratyekabuddha (Buddha Yang tidak memberikan pengajaran) dan sebagai seorang Samyaksambuddha (Buddha Yang Sempurna). Kami menerima jika mengikuti karir seorang Boddhisattva adalah untuk menjadi seorang Samyaksambuddha dalam rangka menyelamatkan yang lain, merupakan sesuatu yang tertinggi, mulia dan paling heroik. Tetapi ketiga kondisi ini berada dalam Jalan yang sama, tidak berada dalam jalan yang berbeda. Sesungguhnya, Sandhinirmocana Sutra, salah satu sutra Mahayana yang penting, secara jelas dan  tegas mengatakan bahwa mereka yang mengikuti garis Sravaka-yana (Wahana Sravaka) atau garis Pratyekabuddha-yana (Wahana Pratyekabuddha) atau garis Para Tathagata (Mahayana) mencapai Nibbana tertinggi dengan Jalan yang sama, dan oleh karena itu bagi mereka semua hanya ada satu Jalan Pemurnian (visuddhi-marga) dan hanya satu Pemurnian (visuddhi) dan tidak ada yang lain, dan oleh karena itu mereka bukanlah jalan yang berbeda dan pemurnian yang berbeda, dan oleh karena itu Sravakayana dan  Mahayana merupakan Satu Wahana, Satu Yana (eka-yana) dan bukanlah wahana atau yana yang berbeda.
  10. Kami mengakui bahwa dalam negara-negara yang berbeda ada perbedaan mengenai tata cara hidup dari para biarawan Buddhis, kepercayaan dan praktik, upacara dan ritual-ritual, seremonial, adat istiadat dan kebiasaan umat Buddha yang bersifat umum. Bentuk eksternal (luar) dan ekspresi ini semestinya tidak boleh dicampuradukkan/dikelirukan (perlu dipisahkan) dengan esensi/inti ajaran-ajaran Sang Buddha.
Rumusan Lain
Ada beberapa tokoh ataupun sarjana Buddhis yang juga merumuskan persamaan ajaran antara Theravada dan Mahayana yang isinya sebagian besar sama dengan rumusan WBSC.
Y.M. K. Sri Dhammananda memberikan rumusan seperti berikut:
  1. Kedua aliran menerima Buddha Sakyamuni sebagai Guru.
  2. Empat Kebenaran Arya adalah sama persis dikedua aliran.
  3. Jalan Utama Berunsur Delapan adalah sama persis dikedua aliran.
  4. Paticcasamuppada atau ajaran akan Sebab-Musabab Yang Bergantungan adalah sama persis dikedua aliran.
  5. Kedua aliran menolak ide akan “makhluk tertinggi” yang menciptakan dan mengatur dunia ini.
  6. Kedua aliran menerima Anicca, Dukkha, Anatta dan Sila, Samadhi, Panna tanpa adanya perbedaan.
Rumusan dari Oo Maung:
  1. Kesamaan dalam menerima Empat Kebenaran Arya.
  2. Kesamaan dalam menerima Jalan Utama Berunsur Delapan.
  3. Kesamaan dalam menerima Paticcasamuppada atau Sebab-Musabab Yang Bergantungan.
  4. Kesamaan dalam menerima Anicca, Dukkha, Anatta.
  5. Kesamaan dalam menerima Sila, Samadhi, Panna.
  6. Kesamaan dalam menolak konsep tuhan tertinggi.
Rumusan dari Tan Swee Eng:
  1. Buddha Sakyamuni merupakan pendiri Buddhisme yang asli dan berdasarkan sejarah.
  2. Tiga Corak Universal (Dukkha, Anica, dan Anatta), Empat Kebenaran Arya, Jalan Utama Berunsur Delapan, dan 12 rantai Sebab-Musabab Yang Bergantungan, merupakan fondasi dasar bagi seluruh aliran Buddhisme termasuk aliran Tibet dari Vajrayana.
  3. Tiga unsur latihan yaitu Kemoralan (sila), Meditasi (samadhi) dan Kebijaksanaan (prajna) adalah hal yang universal bagi semua aliran.
  4. Pengorganisasian Ajaran Buddha / Dharma terbagi menjadi tiga klasifikasi (Sutra/Sutta, Vinaya, dan sastra) terdapat pada kanon Buddhis di berbagai negara.
  5. Konsep pikiran melampaui materi. Pikiran sebagai hal yang mendasar dari penjinakan dan kontrol adalah hal yang fundamental bagi semua aliran.
Penutup
Dengan rumusan pokok-pokok dasar pemersatu ini, diharapkan kita dapat memahami ciri khas ajaran yang ada dalam Buddhisme yang membedakan agama besar ini dengan agama atau kepercayaan lainnya yang ada di dunia. Kita dapat memahami bahwa meskipun terdapat perbedaan antar aliran, namun memiliki ajaran pokok yang sama yang apabila diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dapat mengarahkan kita pada akhir penderitaan, Nibbana / Nirvana.
Catatan:
  1. Berlindung dalam Ti Ratana bukan berarti berserah diri. Buddha dalam pengertian Guru pembimbing, dimana Sakyamuni Buddha adalah Buddha Sejarah. Dan Buddha dalam pengertian Kesadaran. Dhamma dalam pengertian Kebenaran ataupun Ajaran Buddha. Sangha dalam pengertian persaudaraan / perkumpulan para Bhikkhu Arya.
  2. tuhan yang dimaksud adalah yang memiliki definisi: berpersonal, pencipta semesta, prima causa, ayah/ibu dari semua makhluk, paramatman, yang maha segalanya.
  3. Savakabuddha : pencapaian Pencerahan melalui mendengar ajaran dari Sammasambuddha.   Paccekabuddha : pencapaian Pencerahan dengan usaha sendiri tanpa mengajar. Sammasambuddha : pencapaian pencerahan dengan usaha sendiri dan mengajar.
Literatur:
  1. The Heritage of the Bhikkhu ; Walpola Rahula; New York, Grove Press, 1974; hal. 100, 137-138.
  2. Two Main Schools of Buddhism ; K. Sri Dhammananda; Brickfields, Kuala Lumpur.
  3. Common Ground Between Theravada and Mahayana Buddhism ; Tan Swee Eng; www.buddhanet.net
  4. Theravada Versus Mahayana ; Oo Maung, 2006