Minggu, 19 Februari 2012

Sudahkah Maitreya Menjadi Buddha?



Ajaran Buddha Gautama yang mulia lambat laun akan dilupakan oleh manusia, hingga suatu ketika tidak akan ada lagi ajaran Buddha di muka bumi ini, bahkan kata “Buddha” sendiripun saat itu tidak lagi dikenal oleh penghuni alam ini.
Lenyapnya ajaran Buddha ini tidak berarti bahwa Dharma mulia alam semesta hilang lenyap selamanya, karena kebenaran hukum alam semesta tidak akan pernah musnah. Ajaran Buddha hilang dari muka bumi ini karena tidak lagi ada yang menerapkan Dharma, tidak lagi ada yang menjalankan Vinaya, tidak ada lagi yang melaksanakan Sila. Dalam pengertian yang lebih sederhana, lenyapnya ajaran Buddha menunjukkan bahwa empat pilar Buddha Dharma, yakni Bhiksu (Bhikkhu), Bhiksuni (Bhikkhuni), Upasaka dan Upasika telah tidak dapat lagi dijumpai di celah manapun di dunia ini. Lenyapnya ajaran Sang Buddha sesungguhnya sangat sejalan dengan ajaran Buddha itu sendiri, bahwa segala sesuatu yang saling bergantungan adalah tidak kekal, segala sesuatu yang berkondisi akan mengalami perubahan muncul dan lenyap secara silih berganti tiada henti. Demikian pulalah kehidupan manusia di alam ini beserta ajaran-ajaran yang ada akan muncul dan lenyap.

Demikianlah ajaran Buddha itu muncul dan lenyap, demikian pulalah dunia ini muncul dan lenyap. Pada masanya, bumi ini akan mengkerut dan kemudian hancur beserta seluruh isinya. Kemudian proses pengembangan bumi ini akan kembali terjadi hingga terbentuknya kembali alam kehidupan manusia di bumi ini. Proses kehidupan akan kembali terbentuk kala semua kondisi untuk itu telah terpenuhi. Manusia akan kembali menghuni bumi ini dan berbagai ajaran juga akan muncul, demikian pula ajaran kebenaran dari seorang Buddha akan kembali tampil dalam sejarah kehidupan manusia di muka bumi ini.
Saat dunia ini mengalami kesemrawutan dan pandangan salah menguasai alam semesta, seorang Bodhisattva (calon Buddha) akan kembali terlahir di alam manusia, beranjak dewasa dan menyadari inti kehidupan yang tidak lepas dari samsara (penderitaan), kemudian meninggalkan kehidupan duniawi dan mencapai Penerangan Sempurna (Samma-Sambodhi) serta mengajarkan Dharma yang telah lama hilang dari muka bumi kepada manusia dan para dewa. Saat itulah menunjukkan dimulainya pemutaran kembali roda Dharma.
Kehadiran seorang Buddha di dunia ini ditandai dengan kondisi kevakuman Dharma dari Buddha sebelumnya. Ketika ajaran Buddha sebelumnya masih eksis (walau hanya ibaratnya setetes air di dalam samudra), Buddha penerus tidak mungkin datang ke dunia ini. Ketika masih ada empat pilar Buddha Dharma, maka Buddha tidak mungkin lahir ke dunia ini. Bahkan, ketika masih ada orang yang mengenali Dharma sebagai ajaran Buddha, maka adalah tidak mungkin bila mengatakan Buddha penerus telah hadir.
Bodhisattva Maitreya – kelak jauh di masa yang akan datang – akan terlahir sebagai manusia yang kemudian mencapai pencerahan sebagai seorang Buddha. Lalu dengan welas asihnya mengajarkan Dharma para Buddha yakni Dharma yang sama dengan Dharma yang diajarkan oleh Buddha Gautama yang saat itu sudah tidak ada lagi di muka bumi ini. Maitreya saat ini berdiam di Surga Tusita dalam kebahagiaan alam calon Buddha menunggu matangnya kondisi pendukung untuk lahir di alam manusia. Salah satu kondisi pendukung itu adalah sebagaimana yang telah disebutkan di atas sebagai prasyarat datangnya seorang Buddha.
Bumi ini tidak dapat menahan kekuatan parami (latihan kesempurnaan) dari dua orang Samma-Sambuddha. Jika Bodhisattva Maitreya datang, mencapai keBuddhaan dan membabarkan ajaran (Dharma) saat ini, maka bumi ini akan hancur berkeping-keping oleh kekuatan parami dari Buddha Gautama yang menjadi berlipat dengan munculnya kekuatan parami Bodhisattva Maitreya yang mencapai keBuddhaan saat ajaran Buddha Gautama masih eksis.
Lalu, kapankah tepatnya Bodhisattva Maitreya akan lahir, mencapai pencerahan dan memutar roda Dharma di alam manusia ini? Berbicara soal hitungan waktu, Buddha Gautama menyatakan bahwa Bodhisattva Maitreya akan datang setelah 56 koti kalpa tahun dalam hitungan bumi (manusia), dihitung dari saat Buddha Gautama membabarkan Sutra perihal kedatangan Maitreya sebagai Buddha. Perlu diketahui bahwa dari masa Buddha Gautama membabarkan Dharma hingga saat ini, satu kalpa tahun pun masih belum berlalu.
Jika bicara soal kondisi prasyarat datangnya seorang Buddha penerus, maka sangat jelas bahwa kondisi kedatangan Bodhisattva Maitreya masih belum terpenuhi. Seperti yang disebutkan di atas, jika masih terdapat ajaran Buddha sebelumnya, maka adalah tidak mungkin seorang Buddha penerus datang ke alam manusia ini. Apakah ajaran Buddha Gautama telah lenyap? Keberadaan Sangha (pesamuan agung para bhiksu/bhiksuni) merupakan satu bukti nyata bahwa ajaran Buddha Gautama masih belum lenyap hingga hari ini. Demikian pula dengan keberadaan Upasaka/Upasika yang semakin menunjukkan bahwa keempat pilar pelindung Dharma bukan saja belum lenyap, bahkan justru masih berdiri dengan kokoh. Selain itu, keberadaan Borobudur dan berbagai candi Buddhis lainnya juga merupakan perwujudan dari ajaran mulia Buddha Gautama. Ajaran Buddha Gautama ini terukir indah yang tampak dalam bentuk relief, mandala dan arsitektur candi. Ini adalah beberapa bukti otentik yang menunjukkan bahwa ajaran Buddha Gautama belum dilupakan dan masih eksis di muka bumi ini, dengan demikian dapat dipastikan bahwa Bodhisattva Maitreya masih belum turun dari Surga Tusita untuk lahir di alam manusia ini dan mencapai keBuddhaan.
Sebagaimana yang juga terjadi dalam setiap ajaran agama, ayat-ayat Kitab Suci yang menyangkut kedatangan seorang Buddha baru dalam ajaran Buddha, ataupun nabi-nabi dan guru besar dalam agama lain, seringkali disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu demi maksud-maksud tertentu. Oleh sebab itu, umat Buddha harus berhati-hati atas pemanfaatan ayat-ayat sabda Buddha Gautama yang diambil sepenggal-sepenggal dan diartikan dengan tanpa memperhatikan konteks keseluruhan dari ayat-ayat tersebut. Ada pihak-pihak tertentu yang mengatakan bahwa Buddha Maitreya telah datang ke dunia ini, argumentasi yang mereka gunakan adalah ayat sabda Buddha Gautama: “Setelah ajaranNya telah dilupakan orang, tidak ada lagi yang mengenali ajaranNya, maka akan datang seorang Manusia Buddha bernama Maitreya.”
Sesungguhnya pengutipan ayat tersebut adalah justru semakin membuktikan bahwa Buddha Maitreya belum datang. Karena yang dikutip adalah ajaran Buddha Gautama, bukankah ini secara tidak langsung menyatakan bahwa ajaran Buddha Gautama masih eksis di muka bumi ini? Sudah jelas sekali, eksistensi ayat sabda Buddha Gautama yang dikutip tersebut adalah bukti nyata bahwa ajaran Buddha Gautama masih eksis, dengan demikian kondisi prasyarat datangnya seorang Buddha penerus masih belum terpenuhi.
Pun yang lebih tidak benar adalah pernyataan bahwa dipercepatnya kelahiran Bodhisattva Maitreya menjadi Buddha adalah atas sabda sebuah kuasa yang jauh superior melebihi para Buddha. Dari mana munculnya sebuah kuasa yang tidak pernah ada dalam Dharma Buddha Gautama selama ini? Sungguh ironis, ajaran yang mengatasnamakan Buddha Maitreya tetapi justru merendahkan martabat para Buddha.
Sebagai siswa Buddha, kita harus berusaha meluruskan hal-hal yang menyimpang tersebut sebagaimana Buddha Gautama pada zamanNya menentang ajaran-ajaran yang kurang tepat maupun salah yang dapat menjadi penghalang bangkitnya Pandangan Benar (Samma-Ditthi) yang merupakan unsur pertama dari Jalan Mulia Berunsur Delapan. Pelurusan ini juga didasarkan pada rasa welas asih agar para penganut ajaran tidak benar ini tidak terseret ke alam neraka Avicci.
Terpujilah Buddha Sakyamuni yang telah mencapai Penerangan Sempurna, yang masih dapat ditelusuri bukti otentik tempat kelahiranNya, tempat pencapaian Penerangan SempurnaNya, tempat ParinirvanaNya (Parinibbana) serta pitaka (keranjang) DharmaNya yang mulia.
 (Abin Nagasena)

Senin, 06 Februari 2012

Bodhisattva Ksitigarbha



“Semua makhluk terbebaskan, Baru meraih Pencerahan,
Alam neraka belum kosong, Bersumpah tidak menjadi Buddha”

Pada tahun 719 M, seorang pangeran muda bermarga Jin asal kerajaan Xin Luo (Silla, salah satu kerajaan di semenanjung Korea), Jin Qiaojue (696-
794), meninggalkan kehidupan istana yang gemerlap untuk ditahbis menjadi bhiksu sederhana dengan nama Dharma – Dizang (Simpanan/Permata Bumi -Ksitigarbha). Dizang berperawakan tinggi dan perkasa, kekuatan ototnya sanggup mengalahkan puluhan orang, namun wataknya lembut dan berperilaku bajik.
Pada masa-masa tersebut, agama Buddha berkembang pesat di kerajaan Tang (Tiongkok). Para bhiksu terpelajar dari kerajaan Silla, Goguryeo, Baekje (tiga kerajaan di Korea), dan Jepang sering mengunjungi kerajaan Tang untuk mendalami Buddha Dharma.
Bhiksu Jin Dizang yang juga haus akan Dharma,bersama anjing kesayangannya - Shanting, pada tahun 742 mengarungi lautan dan mendarat di kerajaan Tang (Tiongkok). Dizang mengembara hingga ke Jiuzi Shan (Gunung Sembilan Anak) yang terletak di Chizhou, Anhui.
Di belakang hari Jiuzi Shan yang memiliki 9 puncak ini populer dengan nama Jiuhua Shan (Gunung Sembilan Bunga). Nama Jiuhua Shan ini diberikan oleh
pujangga legendaris, Li Bai, pada tahun 754.
Jin Dizang berdiam dan berlatih keras di sebuah goa selama bertahun-tahun. Hingga pada tahun 756, ketika seorang pemuka masyarakat setempat bernama Zhuge Jie bersama beberapa sahabat mendaki Jiuhua Shan, mereka dikejutkan adanya sesosok manusia yang sedang bermeditasi di dalam goa. Melihat kondisi pelatihan yang keras dan keteguhan Jin Dizang, Zhuge Jie tergugah untuk berupaya membangun vihara bagi Jin Dizang.
Saat itu orang terkaya dan penguasa tanah di seantero Jiuhua Shan adalah Min Ranghe, seorang umat Buddha yang taat dan dermawan. Min Ranghe
menanyakan luas tanah yang dibutuhkan, Jin Dizang berkata, “Cukup satu ukuran kasaya (jubah bhiksu).”
Di sela-sela kebingungan orang-orang yang mendengar jawaban tidak masuk akal ini, Jin Dizang melepaskan jubah dan melemparkannya ke udara. Peristiwa ajaib pun muncul, jubah itu berangsur-angsur membesar
hingga menutupi Jiuhua Shan. Semua orang yang melihatnya pun merasa takjub, ternyata bhiksu di hadapan mereka ini bukan bhiksu biasa.
Setelah pembangunan vihara selesai, Jin Dizang mulai membabarkan Dharma. Dari hari ke hari jumlah bhiksu yang datang untuk belajar semakin banyak. Juga tak sedikit bhiksu dari kerajaan Shilla yang datang ke Jiuhua Shan mengikuti jejak Jin Dizang.
Min Ranghe akhirnya juga menjadi murid Jin Dizang, pun putranya yang bernama Dao Ming menjadi bhiksu di bawah bimbingan Jin Dizang. Demikianlah Jin Dizang membabarkan Dharma di Jiuhuashan hingga
akhir hayatnya dalam usia 99 tahun. Kisah kehidupan Bhiksu Jin Dizang ini tercatat dalam kitab Song Gao Seng Zhuan (Kisah Bhiksu Mulia Dinasti Song) dan Jiu Hua Shan Zhi (Catatan Gunung Jiuhua). Jin Dizang
kemudian diyakini sebagai jelmaan dari Bodhisattva Ksitigarbha. Seperti halnya Putuo Shan dipandang sebagai gunung suci Bodhisattva Avalokitesvara, Wutai Shan sebagai gunung suci Bodhisattva Manjusri
dan Emei Shan sebagai gunung suci Bodhisattva Samantabhadra, maka Jiuhua Shan dianggap sebagai gunung suci Bodhisattva Ksitigarbha.
Sebenarnya kisah Bhiksu Jin Dizang yang berdiam di Jiuhua Shan ini hanyalah satu dari sekian banyak lakon jelmaan Bodhisattva Ksitigarbha di seluruh penjuru semesta. Dalam Ksitigarbha Bodhisattva Purva Pranidhana Sutra disebutkan ketika Buddha Sakyamuni membabarkan Dharma bagi ibunda di Surga Trayastrimsa, makhluk yang hadir dalam pesamuan itu
tidak hanya berasal dari lokadhatu (alam bumi) ini saja, bahkan dari lokadhatu lain juga turut hadir dengan jumlah yang tak terhitung banyaknya. Saat Buddha Sakyamuni bertanya kepada Bodhisattva Manjusri
tentang jumlah makhluk yang hadir dalam pesamuan itu, Manjusri dengan rendah hati berkata bahwa walaupun mengerahkan kekuatan batin selama seribu kalpa, Manjusri tetap tak dapat mengkalkulasikannya. Namun satu hal yang menakjubkan adalah bahwa semua makhluk yang jumlahnya tak terkirakan ini adalah makhluk yang telah, sedang, dan akan dibimbing oleh Bodhisattva Ksitigarbha.
Ksitigarbha adalah Bodhisattva agung yang telah membangkitkan bodhicitta dan mempraktikkan paramita sejak lebih dari milyaran kalpa yang lalu. Sebagai ilustrasi, Buddha Sakyamuni memberikan pemaparan seperti berikut, “Seandainya semua rumput, pohon, hutan, padi, rami, bambu, alang-alang, batu, gunung, debu halus yang berada di alam Trisahasra-Mahasahasra, masing-masing benda itu dijadikan sebagai satu bilangan dan setiap bilangan dijadikan sebagai Sungai Gangga. Butiran pasir yang berada di setiap Sungai Gangga itu, tiap butirnya dijadikan sebagai satu alam dunia, butiran debu yang berada di tiap alam itu, tiap butirnya dipandang sebagai satu kalpa. Kumpulan debu selama satu kalpa itu dipandang sebagai satu kalpa. Bodhisattva Ksitigarbha sejak mencapai tahapan Bodhisattva tingkat Bhumi ke-10 hingga sekarang, lamanya telah mencapai ribuan kali lipat perumpamaan di atas… Kewibawaan dan kekuatan ikrar Bodhisattva ini sungguh tidak terbayangkan.”
Adapun asal nama Ksitigarbha dapat ditelusuri dalam kitab San Bao Gan Ying Yao Lue Lu (Catatan Intisari Kontak Batin dengan Triratna) (Tripitaka Taisho 2084) tertulis: “Saat itu Bodhisattva Ksitigarbha berkata kepada Buddha, … Saya teringat pada masa kalpa lalu yang tak terhitung, terdapat seorang Buddha bernama Shao Guang Wang Fo (Buddha Raja Cahaya Membara). Setelah Buddha itu Parinirvana, di masa Dharma Identik, saya tinggal di alam manusia awam. Ada seorang pertapa di Gunung Juteluo yang mahir dalam kekuatan gaib. Saya melihat orang-orang mendapat gangguan makhluk halus, seakan tiada bedanya bagaikan orang tua mereka sendiri. Saat itu saya berikrar sebagai berikut: mencari guru yang bajik untuk belajar cara menaklukkan makhluk halus. Lalu saya menuju Gunung Juteluo dan menyampaikan maksud pada pertapa tersebut. Sang pertapa sangat gembira dan dalam waktu tiga hari mengajarkan saya cara untuk mengetahui segala ajaran dan mengikis perbuatan jahat. Kemudian saya mengumpulkan para makhluk halus jahat itu di tempat saya. Berdasarkan ajaran guru, saya taklukkan dan bimbing mereka agar mengembangkan hati yang bajik. Sesudah itu, dalam sekejab semua makhluk yang menderita di alam neraka, masing-masing menaiki daun teratai dan segala penderitaan mereka berhenti. Saat itu, ketika pertapa itu menyaksikan saya mendapatkan kekuatan yang betapa luar biasanya, memberikan peneguhan bagi saya dengan berucap: dalam masa kehidupan yang tak terhitung dan tak terbatas, Buddha memberikan peneguhan dengan nama Ksitigarbha. Di dalam dunia yang penuh dengan lima kekeruhan, sering menjelma di alam manusia, dewa dan neraka, membimbing para makhluk hidup agar terhindar dari bencana …”
Demikianlah Ksitigarbha terus menjalankan praktik Bodhisattva tanpa jeda waktu. Meski tak terhitung jumlah siswa bimbinganNya yang telah mencapai keBuddhaan, namun Ksitigarbha tetap masih berstatus sebagai Bodhisattva. Dalam Ksitigarbha Bodhisattva Purva Pranidhana Sutra disebutkan adanya dua raja yang berikrar. Salah seorang raja berikrar: semoga saya secepatnya mencapai keBuddhaan, kemudian menyelamatkan makhluk hidup. Raja yang lain berikrar: bila tidak menolong habis semua makhluk hidup yang menderita agar mereka memperoleh kebahagiaan hingga mencapai keBuddhaan, maka saya selamanya tidak ingin menjadi Budha. Raja yang pertama kini telah mencapai Penerangan Sempurna dengan sebutan Sarvajnasiddha Tathagata, sedang raja kedua adalah Bodhisattva Mahasattva Ksitigarbha. Karena itulah Ksitigarbha dikenal pula sebagai Bodhisattva dengan Ikrar Teragung.
Namun jangan salah dimengerti dengan beranggapan bahwa Ksitigarbha benar-benar belum mencapai keBuddhaan. Dalam kalpa masa lalu yang tak terhingga lamanya, menurut Zhan Cha Shan E Ye Bao Jing (Sutra Penyelidikan Buah Karma Baik dan Buruk), Ksitigarbha sesungguhnya telah mencapai Kebuddhaan karena buah praktik paramitaNya telah matang, namun sehubungan dengan ikrar agungNya, Ksitigarbha tetap terus menjelma di sepuluh penjuru semesta ini dengan kekuatan kebijaksanaanNya bagi kebahagiaan semua makhluk.
Satu pandangan yang tersebar luas di kalangan masyarakat awam selama ini adalah adanya anggapan bahwa Ksitigarbha adalah penjaga atau raja neraka. Banyak vihara Mahayana yang menempatkan rupang Ksitigarbha dalam ruang abu kremasi umat di vihara bersangkutan. Para umat yakin bahwa sanak keluarga yang telah meninggal itu akan dapat terbebas dari penderitaan di bawah bimbingan Ksitigarbha.
Pada satu sisi, kesan ini tidak dapat sepenuhnya disalahkan. Ksitigarbha menyatakan ikrar luhur untuk menyelamatkan makhluk hidup yang terjatuh di alam paling menderita. Di mana lagi alam yang paling menderita jika bukan di neraka? Hal ini dapat terlihat dalam ikrar luhur Ksitigarbha: “Semua makhluk terbebaskan, baru meraih Pencerahan. Alam neraka belum kosong, bersumpah tidak menjadi Buddha.”
Namun pada sisi lain, pemahaman manifestasi Ksitigarbha semestinya tidak dimaknai sebatas persepsi sebagai penjaga neraka saja. Manifestasi penyelamatan makhluk alam neraka hanya merupakan salah satu dari misi mulia yang diembanNya karena Ksitigarbha sering pula menampakkan diri dalam wujud raja dewa, Pratyeka Buddha, dan lain sebagainya. Ksitigarbha menggunakan berbagai upaya kausalya (metode tepat guna) untuk membantu makhluk yang berjodoh, tak peduli di manapun makhluk itu berada. Tapi kita harus tahu bahwa pada masa Dharma Akhir ini, nilai-nilai moralitas semakin tidak dihargai, sifat individualistis dan egoisme semakin kental, serta manusia semakin rentan terhadap berbagai konflik kepentingan. Menilik kondisi seperti ini, jelaslah sudah bahwa tingkat resiko untuk terjatuh ke alam neraka jauh lebih memungkinkan, maka tepatlah bila Ksitigarbha menjadikan pintu neraka sebagai basis utama dalam menolong dan menyadarkan kita semua. Ini adalah semangat Bodhisattva yang sesuai dengan yang diajarkan oleh Buddha: “Jika bukan saya yang masuk ke alam neraka [untuk memberi pertolongan], siapa lagi yang [mau] masuk ke neraka?”
Itulah sosok Ksitigarbha, Maha Bodhisattva yang memiliki ikrar paling agung. Ikrar agung itu bagaikan bumi yang luas yang tak membeda-bedakan semua benda yang bertumpu padanya, pun bagaikan bumi yang di dalamnya terkandung tambang permata dan enerji yang dahsyat. Demikianlah kebijaksanaan maha sempurna yang dimiliki Ksitigarbha yang terkandung dalam ikrar yang paling agung demi terwujudnya kebahagiaan semua makhluk.

Oleh: Ching Ik

Berdusta Tentang Nyata Dan Semu


Master Chan Daoguang suatu ketika bertanya kepada Master Chan Dazhu Huihai, “Master Chan.Anda rajin berlatih diri, Anda menggunakan hati yang bagaimana ketika berlatih diri?”
Dazhu: “Laoseng (Bhiksu Tua) tidak ada hati yang bisa digunakan, tidak ada Jalan Suci yang bisa dilatih.”
Daoguang: “Kalau memang tidak ada hati yang bisa digunakan, tidak ada Jalan Suci yang bisa dilatih, lalu mengapa setiap hari mengumpulkan banyak orang untuk berlatih meditasi Chan?”
Dazhu: “Laoseng sangat miskin, mana ada tempat untuk mengumpulkan orang?”
Daoguang: “Faktanya Anda setiap hari mengumpulkan orang dan berbicara tentang Jalan Suci, apa ini bukan membabarkan Dharma menyelamatkan makhluk hidup?”
Dazhu: “Jangan salah paham, Laoseng ini bukan orang yang pandai berbicara, mana mungkin berbicara tentang Jalan Suci? Laoseng bahkan satu orang pun tidak melihat, bagaimana kamu bisa mengatakan Laoseng menyelamatkan makhluk hidup?”
Daoguang: “Master Chan, Anda ini melanggar Sila berdusta.”
Dazhu: “Laoseng ini lidah pun tidak punya, bagaimana bisa mengucapkan kata dusta?”
Daoguang: “Apakah keberadaan alam semesta, para makhluk hidup, Anda dan saya, juga fakta berlatih meditasi Chan dan pembabaran Dharma, itu semua adalah semu?”
Dazhu: “Semua itu benar nyata!”
Daoguang: “Kalau memang nyata, lalu kenapa Anda mengingkarinya?”
Dazhu: “Yang semu, harus diingkari; yang nyata, juga harus diingkari!”
Daoguang akhirnya mencapai pencerahan.
Untuk mengenali kebenaran, ada kalanya kita harus melihatnya dari sudut pembenaran, tapi ada kalanya juga harus melihatnya dari sudut pengingkaran.
Sutra Hati mengatakan: “Bentuk adalah kekosongan, kekosongan adalah bentuk, demikian juga perasaan,pencerapan, pikiran dan kesadaran itu.”
Ini adalah pengenalan hakekat sejati kehidupan dan alam semesta melalui sudut pandang pembenaran.
Lebih lanjut Sutra Hati juga berucap: “Tidak ada mata, telinga, hidung, lidah, badan dan batin, juga tidak ada bentuk, suara, bau, rasa, sentuhan maupun alam semesta.” Ini adalah metode mengingkari yang pada akhirnya juga akan mengantar pada pengenalan hakekat sejati kehidupan dan alam semesta.
Master Chan Dazhu mengingkari baik yang semu maupun yang nyata, ini bukan melanggar Sila berdusta, ini adalah gong-an pengingkaran yang mengantar Master Chan Daoguang mencapai pencerahan memahami
makna non-dualitas.

Pangeran Dharma MANJUSRI BODHISATTVA




Menurut pemahaman Buddhisme Mahayana, Bodhisattva Manjusri diwujudkan sebagai sosok Bodhisattva yang memegang sebatang pedang kebijaksanaan (perlambang pemutus kekotoran batin) dan mengendarai
singa berbulu emas (simbol keperkasaan menaklukkan kekuatan jahat), kadang kala dilukiskan juga dalam kondisi duduk di atas bunga teratai (melambangkan kemurnian).
Dalam Sutra Avatamsaka, Bodhisattva Manjusri dikenal sebagai salah satu dari Tiga Makhluk Suci Avatamsaka, yakni: Bodhisattva Manjusri (kiri), Buddha Sakyamuni (tengah) dan Bodhisattva Samantabhadra (kanan).
Dalam Buddhisme Tiongkok, terdapat beberapa versi dalam penyebutan nama Bodhisattva Manjusri, di antaranya adalah Wenshushili-Pusa dan Manshushili-Pusa, namun lebih populer dengan sebutan singkat
Wenshu Pusa. Nama Manjusri sendiri memiliki beberapa makna, yakni Miaode (Kebajikan Menakjubkan), Miaoshou (Kepala Menakjubkan - karena kebajikannya tertinggi di atas para Bodhisattva) dan Miaojixiang
(Berkah Menakjubkan) .
Jika Bodhisattva Avalokitesvara dikatakan sebagai manifestasi welas asih terluhur,maka Bodhisattva Manjusri dikenal sebagai manifestasi kebijaksanaan tertinggi. Ini dikarenakan Bodhisattva Manjusri merupakan
Buddha masa lalu yang terus menerus bermanifestasi dengan kekuatan kebijaksanaan sejati. Dalam kitab Shuranggama Samadhi Sutra, Buddha Sakyamuni menjelaskan bahwa Bodhisattva Manjusri merupakan Buddha
masa lalu yang bernama Tathagata Longzhong Shangzunwang.
Bodhisattva Manjusri juga muncul di masa kini sebagai Buddha Huanxizangmonibaoji dari Tanah Buddha Changxi (Kegembiraan Abadi),
(Angulimala Sutra, bab 4).
Pada sisi lain,juga bermanifestasi dalam wujud Bodhisattva Manjusri sebagaimana yang kita kenal sekarang ini.
Selain itu, ketika Buddha Amitabha masih berstatus sebagai seorang raja Cakravartin, saat itu Bodhisattva Manjusri merupakan putra mahkota ketiga. Buddha Ratna-garbha di masa itu meramalkan bahwa Manjusri akan menjadi Buddha dengan nama Tathagata Samanthadarsin
(Karuna Pundarika Sutra, bab 3).


Dengan semua manifestasi ini, Bodhisattva Manjusri mempertunjukkan kebijaksanaan sempurna dan upaya kausalya (metode tepat dan praktis) membimbing semua makhluk agar tergerak untuk membangkitkan bodhicitta mencapai Pencerahan Sempurna. Itulah sebabnya, Bodhisattva Manjusri dijuluki sebagai “ibu para Buddha dari tiga masa” dan “guru para Buddha”.
Pada masa kehidupan Buddha Sakyamuni, Bodhisattva Manjusri terlahir di kerajaan Kosala sebagai anak dari seorang kasta Brahmana bernama Fande (Kebajikan Brahma). Tubuhnya berwarna keemasan, memiliki 32 ciri fisik
manusia unggul dan dilahirkan dari sisi sebelah kanan tubuh ibunya. Makna nama MiaoJixiang (Berkah Menakjubkan) berasal dari munculnya sepuluh peristiwa menakjubkan saat kelahirannya, yakni: turun Amrita (air surgawi) dari langit; muncul tujuh permata dari dalam tanah; padi dalam lumbung berubah menjadi beras emas; tumbuh bunga teratai di halaman rumah; cahaya gemilang memenuhi rumah; ayam menetaskan burung hong; kuda melahirkan kirin; sapi melahirkan anak sapi langka; babi melahirkan longtun (babi berwujud naga); muncul gajah bergading enam.
Manjusri dikenal memiliki kebijaksanaan dan kemampuan berbicara yang unggul, sanggup mengalahkan para penganut dari 96 aliran tirtika dalam hal perdebatan. Setelah menjadi siswa Buddha Sakyamuni, Manjusri berhasil menguasai suatu tingkat samadhi Shuranggama. Dengan kekuatan samadhi
Shuranggama ini Manjusri melakukan berbagai metode yang sangat bijaksana dalam membimbing para makhluk, bahkan setelah 450 tahun Parinirvana Buddha Sakyamuni, Manjusri masih tetap melakukan tugas pengajaran Dharma. Dalam jajaran siswa tingkat Bodhisattva, beliau menduduki posisi sebagai siswa paling terkemuka dalam hal kebijaksanaan.
Oleh karena itu, beliau juga dijuluki sebagai Pangeran Dharma Manjusri. Sekitar tiga ratusan sesi pembabaran filosofi Mahayana oleh Buddha Sakyamuni, Manjusri selalu hadir sebagai ketua dari Komunitas Bodhisattva.
Dalam Vimalakirti Nirdesa Sutra misalnya, saat para siswa Sravaka dan Bodhisattva merasa berkecil hati untuk bertemu Vimalakirti karena tidak sanggup berhadapan dengan kemampuan berbicaranya yang menakjubkan,
Manjusri tampil mengemban tugas ini. Pertemuannya dengan Vimalakirti menjadi sebuah ajang perbincangan Dharma yang menakjubkan. Tidak hanya dalam satu Sutra, dalam berbagai Sutra juga tercantum tentang kemampuan pembabaran Dharma yang dimiliki Manjusri yang dapat dipastikan akan membuat kita berdecak kagum. Buddha Sakyamuni sendiri
kerap menceritakan kehidupan lalu Bodhisattva Manjusri, bahkan dalam salah satu kehidupan lampau, Sakyamuni pernah menjadi murid Manjusri.
Di mata penganut Buddhisme Tiongkok, Bodhisattva Manjusri memiliki posisi yang cukup istimewa. Perlu diketahui bahwa di Tiongkok terdapat empat Gunung Buddha yang diyakini sebagai tempat pembabaran Dharma empat Bodhisattva Agung, yakni Putuo Shan (Bodhisattva Avalokitesvara), Jiuhua Shan (Bodhisattva Ksitigarbha), Emei Shan (Bodhisattva Samantabhadra), sedang Wutai Shan atau juga dikenal dengan sebutan Qingliang Shan (Gunung Sejuk) sebagai tempat pembabaran Dharma Bodhisattva Manjusri.
Dalam Avatamsaka Sutra bagian “Kediaman Para Bodhisattva” disebutkan, “Di wilayah timur laut, terdapat gunung Qingliang (Gunung Sejuk). Semenjak lama gunung ini menjadi tempat kediaman para bodhisattva, dan sekarang ini Bodhisattva Manjusri bersama sekelompok Bodhisattva
lain sejumlah 10.000 orang menetap di gunung ini untuk membabarkan Dharma.” Kemudian dalam Ratna-garbha Dharani Sutra disebutkan, “Pada saat itu, Bhagava berkata kepada Bodhisattva Guhyapada: Setelah parinirvana-Ku, di arah timur laut dari Jambudwipa terdapat sebuah negeri
bernama Mahacina. Di negeri ini terdapat pegunungan yang
bernama Wuding (Lima Puncak). Bodhisattva Manjusri berdiam di tempat ini untuk membabarkan Dharma kepada para makhluk hidup. Terdapat juga para makhluk dewa, naga, yaksha, raksasa, kinnara, mahoraga, manusia dan makhluk bukan manusia yang jumlahnya tak terbatas mengelilingiNya,
menghormati dan memberi persembahan.”
Berbagai kisah keajaiban tentang jelmaan Beliau tidak henti-hentinya bertebaran di seantero Wutai Shan. Baik sebagai wujud orang tua maupun anak kecil, Manjusri menggunakan berbagai upaya kausalya untuk menjalin
ikatan jodoh karma dengan para makhluk hidup. Bahkan tokoh kharismatik Master Xuyun pun dalam perjalanan san bu yi bai (tiga langkah satu sujud) ke Wutai Shan sempat mendapat pertolongan dari Bodhisattva Manjusri dalam wujud seorang pengemis. Patriak ke 4 dari mazhab Sukhavati,
Master Fazhao, juga pernah bertemu dengan Bodhisattva Manjusri beserta kemegahan viharanya di sebuah hutan yang tidak dapat dilihat secara kasat mata saat berkunjung ke Wutai Shan.
Semua kisah yang bernuansa metafisik ini sungguh di luar jangkauan pemahaman kita. Namun sebagai seorang umat Buddha yang berpandangan benar, hendaklah kita melihat segala mukjizat yang dilakukan Bodhisattva
Manjusri sebagai upaya kausalya. Bodhisattva Manjusri adalah Bodhisattva Kebijaksanaan Tertinggi, pada sisi lain kebijaksanaan itu mengalir menjadi berbagai wujud tubuh jelmaan yang semata-mata ditujukan demi manfaat
dan kebahagiaan semua makhluk. Tetapi, manifestasi Bodhisattva Manjusri sebenarnya tidak hanya sebatas di Wutai Shan atau pada bentuk-bentuk tubuh jelmaan saja.
Saat kebijaksanaan transenden muncul dalam batin setiap makhluk hidup, maka di situlah tempat bersemayam yang sesungguhnya dari Bodhisattva Agung ini. Saat hati dan pikiran kita dalam keadaan bersih dan murni, di situlah akan tertampak Pangeran Dharma ini.


Oleh: Ching Ik

Master Kuang Chin (1892-1986)




廣欽老和尚


“Tidak datang juga tidak pergi, tidak ada masalah.”
Jejak agung ini dipersembahkan oleh: Tjahyono Wijaya

Dari Taipei, Chang (70) dengan didampingi cucu perempuannya menuju Vihara Miao Tung, Kaohsiung, Taiwan. Setiba di sana ternyata relik telah habis ‘diserbu’ para umat. Ia menangis di depan tungku pembakaran kremasi, lalu meraup abu kremasi dan membungkusnya dengan sapu tangan. Selama perjalanan kembali ke Taipei, ia tak hentinya Nianfo (melafalkan Amituofo). Sesampai di rumah, terjadilah keajaiban, di dalam abu kremasi itu ditemukan 30 butir relik berukuran besar dan kecil. Ada pula seorang umat yang bersujud di depan tungku pembakaran kremasi selama satu malam, saat fajar merekah ia menemukan sebutir relik yang cukup besar di dekat lututnya.
Dua hal di atas adalah sebagian dari keajaiban yang terjadi seputar relik Master Kuang Chin (baca: Kuang Jin).
Master Kuang Chin, atau lebih akrab disebut Kuang Lao, salah satu sesepuh Buddhisme Tiongkok kontemporer dengan kisah hidup yang sangat patut dijadikan tauladan. Kuang Lao hidup dalam kesederhanaan, praktisi pelatihan diri yang keras dan disiplin,13 tahun sebagai “Manusia Goa”, menjinakkan harimau buas, monyet mempersembahkan buah bagi beliau, dhyana (meditasi khusuk) selama beberapa bulan sehingga hampir saja dianggap meninggal, tahu akan datangnya angin taifun, membebaskan makhluk alam preta dari penderitaan (Chao Du), dikenal sebagai “Bhiksu Buah” (hanya makan buah selama usia 55-84 tahun), tidak tidur berbaring serta sebelumnya mengetahui hari wafat beliau.
Kuang Lao lahir tahun 1892 (Imlek tanggal 26 bulan 10) di Hui An, Fujian. Usia 4 tahun dijual pada keluarga marga Li demi menutup biaya pernikahan kakaknya. Si kecil Kuang Lao bertubuh lemah dan sakit-sakitan, namun memiliki akar kebijaksanaan, sejak usia 7 tahun mengikuti sang ibu memeluk Buddhisme dan vegetarian. Tahun 1900, ibu angkat meninggal. Dua tahun kemudian, ayah angkat juga meninggal. Sanak famili menganjurkannya ke Nanyang untuk belajar mandiri. Di sana ia bekerja sebagai tukang sapu, penanak nasi dan pekerjaan kasar lainnya. Kuang Lao menyadari betapa tidak kekalnya kehidupan ini, oleh sebab itu ia kemudian menghibahkan sawah ladang yang diwariskan orang tua angkatnya kepada para sanak famili dan menuju Vihara Cheng Tian, Quanzhou, Fujian untuk menjadi bhiksu.
Tahun 1911, menerima Trisarana dan menjadi bhiksu di bawah bimbingan Master Rui Fang, seorang praktisi pelatihan diri yang ketat. Kuang Lao berlatih diri dengan ketat, memakan makanan yang tidak dimakan oleh manusia awam, tidak tidur berbaring dan tekun dalam Nianfo. Tahun 1933 setelah menerima penahbisan penuh dari Master Miao Yi, Kuang Lao menetap di sebuah goa di lereng Gunung Qingyuan, Quanzhou, Fujian. Beliau berlatih meditasi Chan dan Nianfo. Setelah bekal beras habis, maka ubi dan buah-buahan hutan menjadi alternatif pengganjal perut. Selama kurun waktu inilah terjalin tali persahabatan dengan monyet dan harimau gunung.
Suatu kali penduduk desa menemukan Kuang Lao sudah berbulan-bulan tidak makan ataupun beraktivitas. Mereka menemukannya duduk bermeditasi, tidak bergerak dan tanpa nafas. Master Hong Yi yang sedang membabarkan Dharma di sekitar wilayah itu beserta Master Zhuan Chen, pimpinan Vihara Cheng Tian, segera naik gunung. Ternyata Kuang Lao dalam keadaan samadhi (Ru Ding). Dengan tiga kali ketukan jari, Master Hong Yi memanggil Kuang Lao agar keluar dari kondisi samadhi.
1945, Kuang Lao kembali menetap di Vihara Cheng Tian. 1947, tiba di Taiwan. Akhir tahun yang sama sering menetap di Vihara Fa Hua di Taipei. Beliau melakukan Chao Du bagi beberapa makhluk alam preta (hantu) warga Jepang yang berada di dalam vihara itu. 1948, mendirikan Vihara Kuang Ming. 1950, mendirikan Vihara Kuang Cao. 1952-1955, menetap di Ri Yue Tong (Goa Mentari Rembulan), seekor ular raksasa menerima Trisarana dari Kuang Lao. 1960-1965, merampungkan pembangunan Vihara Cheng Tian (Chan). 1969, mendirikan Vihara Kuang Cheng Yan. 1982, mengutus murid pendamping beliau, Master Chuan Wen, membangun Vihara Miao Tung di Liu Kui, Kaohsiung.

9 Feb (1 Imlek) 1986 dini hari, menyampaikan amanat terakhir di depan seluruh siswa dan penghuni Vihara Cheng Tian, berpesan agar pada nantinya abu kremasi ditempatkan terpisah di tiga tempat, yakni Vihara Cheng Tian, Kuang Yan dan Miao Tung. Pagi hari itu juga beliau menuju Vihara Miao Tung.
Setiba di Vihara Miao Tung, Kuang Lao Nianfo siang dan malam. 13 Feb 1986 sekitar pukul 2 sore, tiba-tiba berucap: “Tidak datang juga tidak pergi, tidak ada masalah.” Kuang Lao menganggukkan kepala pada para siswa, lalu duduk bermeditasi dengan memejamkan mata. Beberapa waktu kemudian para siswa baru menyadari bahwa beliau telah ‘pergi’ dalam iringan alunan suara Nianfo.
Kuang Lao adalah tokoh Buddhis yang low profile, hal ini terlihat dari metode pelatihan diri yang beliau lakukan. Pun meski dikenal dekat dengan pemerintah Taipei, khususnya almarhum Presiden Chiang Ching Kuo (putra Chiang Kai Shek), namun Kuang Lao tidak pernah memanfaatkan hubungan ini demi kepentingan diri sendiri. Salah satu nasehat beliau bagi Chiang adalah: “Segala kekuatan muncul dari ‘konsentrasi’, namun hanya dalam kondisi ‘tenang’ baru dapat ‘berkonsentrasi’. Seseorang yang dapat menenangkan diri di lingkungan yang tenang, ini tidak dapat dikatakan sebagai ‘konsentrasi’. Di waktu dalam belitan masalah namun mampu menenangkan diri, inilah yang disebut konsentrasi.”
Membaca riwayat hidup Kuang Lao membuat kita teringat akan satu kemiripan dengan Master Hui Neng (Sesepuh Chan Tiongkok ke-6). Persamaan kedua tokoh besar ini adalah: buta huruf, jarang mempelajari ataupun membabarkan Sutra. Kuang Lao mengatakan, “Tidak perlu membaca Sutra, makin banyak membaca makin bingung. Dalam menghadapi setiap hal hanya satu ucapan: Amituofo, baik dalam keadaan gembira ataupun sedang dibelit masalah. Jauhkan diri dari pertengkaran, juga satu ucapan Amituofo. Lakukan Nianfo dengan hati yang tenang. Nianfo hingga tertidur juga baik. Satu pelafalan (satu pikiran tidak muncul) dapat terbebas dari tiga alam (Nafsu, Rupa, Arupa); satu pelafalan (melafalkan namun tanpa pelafalan) akan tiba di Sukhavati. Berlatih diri adalah mata seakan-akan tidak melihat, telinga tidak mendengar (tidak melihat dan mendengar hal-hal yang memunculkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin, red), Nianfo dengan tulus. Sekarang mata kalian semua terbuka lebar-lebar dan perhatikan dengan seksama. Berlatih diri adalah makin tidak dikenal orang makin baik.”
Tetapi hendaknya jangan salah paham akan maksud ucapan Kuang Lao. Seorang bhiksu bertanya, “Pembabaran Buddha Dharma di zaman kini harus menggunakan metode apa sebagai jalan tengah?” Kuang Lao, “Ai! Tadi baru saja diucapkan. Kalian membabarkan Dharma dengan metode pendidikan dan penelitian, sedang saya dengan metode Nianfo. Keduanya sama pentingnya.”
Kuang Lao juga mengatakan, “Sutra itu di mana? Sutra berada dalam hati kita. Tetapi ini bisa kalau kebijaksanaan telah terbuka, bila tidak, membaca Sutra bisa membuat kita bingung. Bila kebijaksanaan terbuka maka Sutra yang kita baca terasa seakan sangat kita kenali, bahkan dapat (membawa kita) mengalami pencerahan akan hal yang lain.” Dalam kesempatan lain Kuang Lao menjelaskan: “Bila ada waktu gunakan untuk membaca Sutra. Sutra adalah untuk dimengerti, tahu bagaimana mempraktikkannya, bukan sekedar diucapkan kembali. Ada orang yang membaca Sutra seperti layaknya masyarakat awam, tidak ada tambatan perlindungan, akibatnya banyak membaca tambah bingung.” Kuang Lao sendiri menyarankan kita banyak membaca Sutra Intan agar terbebas dari kemelekatan.
Yang menjadi pertanyaan kita selanjutnya adalah: Kuang Lao adalah praktisi Chan atau Sukhavati? Beliau adalah praktisi keduanya. Jelasnya, setelah mengalami Nianfo Sanmei (Samadhi Nianfo) barulah Kuang Lao melakukan praktik Chan. Tahun 1933 Kuang Lao mengikuti retret Foqi (Nianfo tujuh hari) di Gushan, Fuzhou. Saat tenggelam dalam alunan suara Nianfo, tiba-tiba tubuh dan pikiran terasa damai, serasa berada di tempat lain, yang terlihat adalah suara burung, harumnya bunga, tiupan angin, dan rumput yang bergoyang, yang kesemuanya sedang melafalkan Buddha, Dharma dan Sangha. Penglihatan ini berlangsung terus menerus tanpa henti selama 3 bulan. Kuang Lao, yang sering menganjurkan para siswa untuk Nianfo, menuturkan pengalaman Nianfo Sanmei ini pada Doctor King dari USA, “Itu benar-benar nyaman. Hanya saja ini adalah pengalaman dalam pikiran saya, apa benar Nianfo Sanmei, ini adalah referensi dari saya untuk Anda. Saya rasa ini adalah Nianfo Sanmei, bagaimana anggapan Anda, itu adalah urusan Anda.”

Seorang praktisi luhur telah meninggalkan kita secara jasmaniah, namun wejangan-wejangan praktis beliau tetap akan hadir dalam hati kita semua. Kini bagaimana kita harus bertingkah laku agar wejangan Guru Buddha dan para Sesepuh itu tidaklah menjadi sia-sia? Mungkin kita bisa mengikuti petunjuk Kuang Lao yang diberikan bagi para siswa non-perumah tangga: “Bangun tidur pertama-tama usaplah kepala, mengapa meninggalkan kehidupan rumah tangga? Demi terbebas dari proses kelahiran dan kematian. Oleh sebab itu tingkatkanlah semangat menempuh Jalan Suci.”
Setelah mengenal jejak agung Kuang Lao, sebagai seorang siswa perumah tangga yang baik, sudah sewajarnya bila setiap bangun tidur kita juga belajar mengusap dada dan bertanya pada diri sendiri: “Mengapa menjadi siswa Buddha?” Dan sebelum membicarakan (keburukan) orang lain, rundingkan lebih dulu dengan ini (menunjuk ke hati), seperti yang diajarkan Kuang Lao.

Minggu, 05 Februari 2012

Master Yijing (635 – 713 M)


Merangkai Segitiga Dharma: Tiongkok – Sriwijaya - India

Sergapan Bandit
Ia adalah orang Shandong yang perkasa, namun serangan demam dan jalanan gunung yang mendaki membuatnya semakin tertinggal jauh di belakang rombongan. Tiba-tiba muncul 7-8 orang lelaki kekar bersenjatakan pisau dan panah. Ia terperanjat. “Amituofo! Tak terduga harus meninggal di tempat ini!” Benar, ia tak menyangka bakal mengalami hal ini di tanah suci yang diimpikannya semenjak kecil.
Tak menemukan harta benda yang bisa diambil, para bandit itu mengalihkan sasaran ke pakaian yang dikenakannya. Ia ditinggalkan dalam keadaan telanjang bulat. Ia lalu melumuri tubuhnya dengan lumpur dan menutupnya dengan dedaunan. Dengan bertumpu pada tongkatnya, ia memaksakan tubuhnya yang lemah dan sakit itu untuk meneruskan perjalanan mengejar rombongannya. Malam pun jatuh. Dalam keadaan gelap gulita tanpa penerangan, tiba-tiba terdengar teriakan: “Yijing…!” Dashengdeng beserta beberapa bhiksu Nalanda muncul dengan obor di tangan.
Demikianlah salah satu pengalaman mendebarkan yang dialami Maha Bhiksu Yijing dalam perjalanan menggali permata Vinaya Pitaka di India.
Bagi kita yang hidup di zaman modern, perjalanan ke India kedengarannya sangat sepele, namun tidak bagi para praktisi di zaman dahulu. Tak sedikit aral rintangan dan bahaya yang dihadapi para bhiksu yang menuju India, sehingga tak heran bila hanya beberapa saja dari ratusan bhiksu ‘petualang’ yang berhasil kembali dan mengembangkan Buddha Dharma di Tiongkok.
Dalam 2.000 tahun perjalanan sejarah agama Buddha di Tiongkok, tercatat tiga orang bhiksu yang berhasil menembus India dan kembali ke Tiongkok yang berlangsung dalam periode abad 4-8 M. Mereka adalah Faxian (Fa Hsian, Fa Hien), Xuanzang (Hsuan Tsang) dan Yijing (I Tsing). Xuanzang dan Yijing dikenal pula sebagai 2 di antara 5 tokoh penerjemah Sutra Buddhis terbesar di Tiongkok.
Sergapan bandit yang dialami Yijing adalah salah satu bentuk bahaya yang dapat mengakhiri hidupnya. Faxian dan Xuanzang juga mengalami bahaya yang serupa. Hanya mereka yang berani dan pantang menyerah demi kebahagiaan semua makhluk yang dapat mengalahkan semua rintangan itu. Merekalah para Bodhisattva sejati.
Sepasang Mutiara Memasuki Gerbang Dharma
Yijing (Zhang Wenming) lahir tahun 635 di keluarga petani Buddhis sederhana di Licheng (sekarang kota Jinan, Shandong). Sejak usia 4 tahun Yijing telah dilatih untuk menghafal Sutra Intan (Jin-gang Jing) oleh ayahnya.
Saat Yijing berusia 5 tahun penanggalan Imlek, terjadi bencana kemarau. Para bhiksu dari Vihara Tuku membagikan bahan makanan bagi penduduk sekitar. Bahan makanan itu ada yang didatangkan dari Vihara Shentong, Tai Shan (Gunung Tai). Si kecil Yijing diajak sang ayah menuju Vihara Tuku. Di sana Yijing mendapat pujian dari dua Master Vihara Shentong, Shanyu dan Huizhi.
Bencana kemarau tahun itu adalah bencana terbesar yang pernah terjadi dalam seratus tahun terakhir. Jadi selain bantuan makanan dari vihara, tetap diperlukan dukungan dana dari umat. Ayah Yijing mendanakan sebutir mutiara sebesar ibu jari yang merupakan warisan leluhur keluarga mereka. Saat itu pula ayah Yijing berpikir, bagaimana kalau beliau juga mempersembahkan Yijing bagi Buddha Dharma? Demikianlah, akhirnya sepasang mutiara itu (harta pusaka dan Yijing) memulai babak baru mereka menapak memasuki Gerbang Dharma.Dua tahun kemudian setelah genap berusia 7 tahun, Yijing menetap di Vihara Shentong menjadi murid Master Shanyu dan Master Huizhi. Yijing dididik langsung oleh Shanyu, yang menekankan pada pendidikan literatur Buddhis. Tahun 646, ketika Yijing berusia 12 tahun, Shanyu berpesan agar Yijing tidak terpaku secara harafiah dalam memahami Sutra Buddhis, serta mengatakan tiga hari lagi akan mangkat. Tiga hari kemudian Shanyu wafat. Sejak itu Yijing dididik oleh Huizhi yang menitikberatkan pada meditasi, Sila dan pelantunan Sutra.
Kala itu, untuk menjadi bhiksu harus lulus ujian negara. Namun kekaisaran Tang waktu itu sudah sekian lamanya tidak menyelenggarakan ujian kebhiksuan. Sebab itu, meski menetap bertahun-tahun di vihara, Yijing tetap bukan sramanera. Akhirnya kesempatan itu tiba juga. Tahun 645, Xuanzang kembali ke Tiongkok dari perjalanan panjangnya ke India. Beliau mengusulkan pada kaisar untuk merekrut generasi muda Sangha yang berkualitas dari seluruh negeri. Tahun 648, Yijing berhasil lulus ujian kebhiksuan dan resmi menjadi sramanera.
Berikrar Mengikuti Jejak Faxian dan Xuanzang
Tak perlu waktu lama bagi Yijing untuk membaca habis Fo Guo Ji (Catatan Negara Buddha) yang merupakan catatan perjalanan Faxian ke India. Dengan gembira ia memberitahukan hal ini pada Huizhi, namun ia hanya menerima sebuah senyuman dari Huizhi. Yijing yang cerdas paham makna senyuman itu, dalam kebisuan sang guru menyatakan tidaklah cukup bila hanya membaca satu kali saja.
Setahun kemudian, entah untuk ke berapa kalinya membaca Fo Guo Ji, barulah Yijing paham akan maksud Huizhi yang sebenarnya. Sebagai seorang anggota Sangha yang relatif sangat muda, ia harus mulai mencanangkan cita-cita luhur yakni mengembangkan Buddha Dharma. Namun dengan cara apa ia merealisasikan cita-cita itu? Pahamlah Yijing. Ia harus mengikuti jejak Faxian dan Xuanzang belajar Dharma hingga ke negeri India.
Menekuni Vinaya Pitaka
Tahun 655, Yijing menerima penahbisan penuh sebagai bhiksu muda.Huizhi memberi nasehat tentang pentingnya pelaksanaan Sila. Huizhi sendiri merupakan praktisi Vinaya Pitaka. Meski Faxian telah berjasa besar dengan membawa Vinaya Pitaka dari tiga aliran besar Buddhis waktu itu di India, namun tak banyak tokoh yang mampu memahami dan menerapkannya dengan baik. Inilah yang mendorong Yijing untuk tekun mempelajari Vinaya Pitaka yang kemudian membawanya menuju kota Luoyang dan Chang-an.
Belajar di Dua Ibu Kota, Dekrit Bhiksu Bersujud pada Kaisar
Luoyang adalah ibu kota baru yang terletak di bagian timur, sedang Chang-an adalah ibu kota lama di sebelah barat. Tahun 660 Yijing tiba di Luoyang. Menjelang akhir tahun ia menuju Chang-an. Di Chang-an ia belajar Vinaya dari Master Daoxuan. Yijing juga sempat mengikuti arak-arakan relik Buddha yang akan dikembalikan ke Vihara Famen setelah 7 hari ditempatkan di istana.
Di saat itu pula muncul dekrit dari kaisar yang mengharuskan bhiksu untuk bersujud pada kaisar. Dekrit ini mendapat penolakan dari anggota Sangha. Akhirnya diselenggarakanlah forum dengar pendapat yang dihadiri oleh petinggi kerajaan dan perwakilan anggota Sangha. Tiga hari kemudian diperoleh hasil pemungutan suara: 539 suara menolak, 354 suara mendukung dan beberapa suara abstain. Akhirnya kaisar pun mencabut dekrit itu.
Perjalanan ke Sumatra
Tahun 664, Master Tripitaka Xuanzang wafat. Yijing mengikuti upacara pemakaman yang berlangsung di luar kota Chang-an. Kepergian Xuanzang mendorong Yijing untuk merealisasikan cita-cita yang sudah terpendam sekian lama. Ia menyampaikan keputusannya ini pada beberapa rekan bhiksu yang lain. Semuanya mendukung dan menyatakan kesediaan untuk mengiringinya pergi ke India.
Setelah berpamitan dengan gurunya, Huizhi, Yijing kembali ke Chang-an dan berkenalan dengan seorang bhiksu muda bernama Shanxing yang kemudian menjadi muridnya. Tak terduga, justru Shanxing inilah yang kemudian benar-benar mendampinginya memulai perjalanan ke India, sedang beberapa rekan yang sebelumnya menyatakan bersedia ikut, satu demi satu berhalangan.Lalu rute mana yang harus ditempuh? Saat itu terjadi peperangan dengan beberapa suku di perbatasan, oleh sebab itu mustahil menempuh jalan darat. Satu-satunya adalah melalui jalur laut. Tahun 671 berangkatlah Yijing dan Shanxing menuju Yangzhou. Dengan bantuan seorang pejabat bernama Feng Xiaoquan, dari Yangzhou mereka berangkat menuju Jiangning (sekarang Nanjing). Di Jiangning Yijing berkenalan dengan Xuankui, seorang bhiksu yang juga ingin ke India. Disepakati untuk bertemu di Vihara Zhizhi, Guangzhou, dan kemudian bersama-sama bertolak ke India. Tak dinyana Xuankui akhirnya juga berhalangan karena terserang penyakit.
Menjelang akhir tahun 671, berlayarlah Yijing dan Shanxing dengan sebuah kapal Persia. 12 hari kemudian kapal mereka merapat di Sriwijaya. Yijing memutuskan untuk menetap sementara waktu di Sriwijaya, di samping mempelajari bahasa Sansekerta sebagai persiapan ke India, pun karena Shanxing dalam kondisi sakit. Namun karena kondisi Shanxing semakin parah, akhirnya diputuskan untuk memulangkannya ke Tiongkok. Berpisahlah guru dan murid itu, sebuah perpisahan yang tak mempertemukan mereka lagi.
Mencapai India
6 bulan kemudian Yijing berangkat dengan sebuah kapal kerajaan Sriwijaya. Awal tahun 673 tibalah di Tamralipti (sekarang wilayah Bangladesh). Di sini berjumpa dengan Dashengdeng (Pelita Mahayana), seorang bhiksu aliran Chan yang berasal dari Buzhou (sekarang Vietnam). Dashengdeng adalah murid Xuanzang. Yijing kemudian memperdalam kemampuan bahasa Sansekertanya di bawah bimbingan Dashengdeng.
Satu setengah tahun berlalu, Yijing menyatakan keinginan untuk berkunjung ke tempat-tempat suci Buddhis di India Tengah. Demi keamanan, mereka bergabung dengan sebuah rombongan berjumlah 500-600 orang. Dalam perjalanan inilah Yijing sakit dan dirampok oleh sekelompok bandit.
Akhirnya mereka tiba di Vihara Nalanda. Berbeda dengan vihara di Tiongkok, Nalanda mirip kota benteng bertembok tinggi dengan sebuah pintu gerbang yang di dalamnya terdapat 8 bangunan utama dan lebih dari 100 stupa. Di Nalanda ini mereka berjumpa dengan Xuanzhao, seorang bhiksu yang diutus kaisar Tiongkok untuk mencari obat panjang usia. Meski
berhasil mendapatkan ramuan obat panjang usia, namun Xuanzhao dan dua bhiksu pengiringnya tak dapat kembali ke Tiongkok karena peperangan yang memutuskan jalan penghubung India - Tiongkok. Xuanzhao mengantar Yijing berdua mengunjungi Gunung Grdhrakuta (Kepala Burung Nazar).
Dari Nalanda, Yijing dan Dashengdeng kemudian melanjutkan perjalanan mengunjungi vihara dan tempat-tempat suci Buddhis lainnya. Namun setiba di Kusinagara, Dashengdeng yang telah mendekati usia 60 tahun memutuskan untuk menetap di lokasi suci tempat Buddha ber-Parinirvana itu. Akhirnya Yijing seorang diri kembali ke Nalanda.
Belajar di Nalanda
10 tahun lamanya Yijing belajar di Nalanda, khususnya mengenai penerapan Vinaya yang ketat. Dalam kurun waktu itu, Xuanzhao wafat di Nalanda, sedang Dashengdeng wafat di Kusinagara. Sebelum wafat, Dashengdeng sempat mengirimkan pesan terakhir bagi Yijing agar bagaimanapun juga harus pulang dan mengembangkan Buddha Dharma di Tiongkok.
Akhirnya Yijing memutuskan untuk kembali ke Tiongkok. Dengan membawa beberapa peti berisi Sutra, Vinaya Pitaka, patung, dan relik suci, Yijing menuju Tamralipti. Entah kebetulan atau matangnya buah karma, Yijing kembali bertemu dengan para bandit di tempat yang sama. Untungnya para bandit itu hanya mengambil bekal makanan, uang, dan beberapa benda berharga lainnya. Mereka tidak mengusik Yijing dan benda-benda suci Buddhis dalam peti.
Kembali ke Sriwijaya
Tahun 687, kapal yang dinaiki Yijing bersandar di pelabuhan Sriwijaya. 15 tahun sudah Yijing meninggalkan Sriwijaya. Berita kepulangan Yijing tersebar dengan cepat. Yijing disambut oleh Bhiksu Ketua Vihara Kerajaan, Sakyajilidhi, dan dikunjungi oleh Raja Sriwijaya.
Keinginan Yijing untuk secepatnya berlayar kembali ke Tiongkok menjadi tertunda setidaknya 3 bulan karena harus menunggu datangnya angin selatan. Setelah angin selatan datang bertiup, Raja baru mengungkapkan keinginan agar Yijing menetap selamanya di Sriwijaya. Berselang beberapa hari kemudian, Sakyajilidhi memberitakan bahwa di Tiongkok terjadi ketegangan politik perebutan kekuasaan antara Ratu Wuzetian dengan keturunan kaisar. Yijing disarankan untuk tidak pulang lebih dahulu.
Dua minggu kemudian, seorang pedagang dari Guangzhou berhasil ”menculik” Yijing dan membawanya kembali berlayar ke Tiongkok. Sesampai di Guangzhou, Yijing mempersiapkan alat-alat tulis dan mencari asisten untuk membantu proyek penerjemahan Sutra. Menjelang akhir tahun, Yijing untuk ketiga kalinya kembali ke Sriwijaya dengan membawa beberapa asisten yakni Master Vinaya Zhen-gu, dua bhiksu muda (Daohong dan Falang), serta Sramanera Huaiye.
Tahun 690, Wuzetian memproklamirkan dirinya sebagai Kaisar dinasti yang baru, Zhou, menggantikan dinasti Tang. Tahun 691, rombongan duta persahabatan yang diutus Wuzetian tiba di Sriwijaya. Salah satu anggota rombongan adalah Master Dajin. Saat kembali ke Tiongkok, Dajin membawa surat Yijing yang ditujukan pada kaisar.
Pulang ke Tiongkok
Dua tahun kemudian, tahun 694, Yijing beserta Zhen-gu dan Daohong kembali ke Tiongkok meninggalkan Sriwijaya selamanya. Falang
meninggal di Sriwijaya, sedang Huaiye menetap di Sriwijaya mengikuti Master Sakyajilidhi. Berakhirlah sudah perjalanan akbar yang memakan waktu lebih dari 20 tahun itu. Mendengar berita kepulangan Yijing, penerus jejak Xuanzang, Kaisar Wuzetian mengirim utusan ke Guangzhou untuk menjemput Yijing. Tahun 695, tibalah Yijing di Luoyang, ibu kota Timur yang ditinggalkannya lebih dari 30 tahun yang lalu.
Yijing dielu-elukan oleh penduduk dan pejabat kota Luoyang, serta disambut langsung di pintu gerbang timur istana oleh Kaisar Wanita Wuzetian. Kaisar Wu menganugerahkan gelar ”Master Tripitaka” pada Yijing. Saat itu gelar ini hanya dimiliki empat orang bhiksu. Hanya Yijing yang merupakan satu-satunya bhiksu asal Tiongkok.
Bersama dengan Sikshananda, Yijing menerjemahkan Sutra Avatamsaka (Huayan Jing). Selain itu juga banyak menerjemahkan Sutra, Vinaya, dan Sastra, antara lain: Vinaya Saravanabhava, Sutra Avadana, dan Sutra Suvarnaprabhasa.
Tahun 705, Kaisar Wu tumbang, putra mahkota naik tahta dengan nama Kaisar Zhongzong, dengan demikian pulihlah kembali nama dinasti Tang.
Tahun 704, Yijing diundang ke Vihara Shaolin untuk melakukan prosesi Vinaya sesuai aturan yang ditetapkan oleh Buddha Sakyamuni.
Tugas mulia penerjemahan selama tahun 713 yang dilakukan Yijing berlangsung di beberapa vihara, yakni Vihara Dafuxian di Luoyang, Vihara Ximing di Chang-an, istana kaisar di Luoyang, Vihara Dajianfu di Chang-an, dan di istana kaisar di Chang-an selama masa varsa di tahun 707. Selama masa varsa itu, Kaisar Zhongzong meminta Yijing untuk menerjemahkan Sutra Bhaishajyaguru, sedang kaisar sendiri menjadi asisten Yijing.
Tahun 713, Master Tripitaka Yijing wafat di Vihara Dajianfu di Chang-an. Seperti halnya Faxian dan Xuanzang, selain menerjemahkan Tripitaka, Yijing juga meninggalkan karya tulis, yakni: Warisan Dharma Dalam yang Dikirim Kembali dari Lautan Selatan (Nanhai Jigui Neifachuan) dan Riwayat Bhiksu Mulia Dinasti Tang Pencari Dharma di India (Datang Xiyu Qiufa Gaosengzhuan) yang di dalamnya mengisahkan perjalanan lebih dari 60 bhiksu dinasti Tang yang menuju India, salah satunya adalah Huining yang sempat menetap selama 3 tahun di Jawa (664-667). Perlu diketahui, Huining ini bukanlah Huineng, Sesepuh ke-6 Chan.
Karya tulis Yijing sangat berjasa bagi penelitian jalur transportasi dan kebudayaan antara Tiongkok dan India. Selain itu, Yijing juga berjasa dalam lahirnya kamus Sansekerta-Mandarin yang pertama di Tiongkok.
Sebagai penutup Jejak Agung ini, penulis kutipkan petuah terakhir Yijing yang antara lain berbunyi: “Mereka yang mempelajari Vinaya, harus memulainya dari bagian yang paling kecil; mereka yang mempelajari Sutra dan Sastra, terlebih dulu harus membedakan antara yang lurus dan sesat. Sila, konsentrasi, dan kebijaksanaan, ketiganya harus dipelajari dan dilatih dengan sebaik-baiknya, bila hanya menguasai satu di antaranya, tak dapat dikatakan sebagai hal yang sempurna...”
Dapat mengikuti jejak agung Yijing adalah kontribusi yang sangat besar bagi pengembangan Buddha Dharma dan kebahagiaan semua makhluk. Dan untuk dapat merealisasikan ikrar mulia ini, sudah tentu kita harus mampu melaksanakan petuah terakhir Yijing.***

Jejak Agung ini dipersembahkan oleh: Tjahyono Wijaya


Sabtu, 04 Februari 2012

BODHISATTVA SANGHARAMA (伽蓝菩薩)




Sejarah Singkat

Sebagian besar orang bisa saja tidak mengenal nama Bodhisattva Sangharama, tetapi begitu melihat citra rupang seorang jendral gagah
perkasa dengan jenggot panjang indah bergemulai dan paras muka merah lebam berkilau,maka mereka pasti akan langsung tahu. Ya, Bodhisattva
Sangharama adalah Guan Yu alias Guan Gong (Kwan Kong).
Siapa tidak tahu Guan Yu? Banyak orang mengetahuinya dari cerita Sam Kok (Kisah Tiga Negara) dan game Dynasty Warrior. Namun, tahukah kita
bagaimana latar belakang Guan Yu hingga dinobatkan sebagai Dharmapala (Pelindung Dharma) dalam tradisi Mahayana Tiongkok?
Guan Yu (160 - 219 M), alias Yun Chang, lahir pada tanggal 24 bulan 6 Imlek, adalah penduduk asal Jiezhou, Hedong (sekarang Yuncheng, Propinsi
Shanxi). Sejak kecil dididik dalam bidang kesusastraan dan sejarah. Beliau sangat menggemari kitab sejarah Chunqiu (Musim Semi dan Gugur) dan Zuozhuan (kitab sejarah karya Zuo Qiuming). Guan Yu memiliki 3 anak:
Guan Ping, Guan Xing dan Guan Suo.
Salah satu watak istimewa yang dimiliki Guan Yu adalah jiwa setia dan ksatria, beliau berani membela yang lemah dan tertindas.
Tahun 184, Guan Yu melarikan diri dari kampung halamannya setelah
membunuh orang demi membela kaum lemah. Beliau menuju wilayah Zuo, kemudian berkenalan dengan Liu Bei dan Zhang Fei.
Liu Bei adalah anggota keluarga Kaisar Kerajaan Han yang sedang merekrut prajurit untuk membasmi pemberontakan Serban Kuning.
Karena memiliki cita-cita yang sama, maka mereka bertiga menjalin tali persaudaraan yang dikenal dengan sebutan Tiga Pertalian Setia di Taman Bunga Persik.
Semenjak itu, mereka bertiga berkomitmen sehidup semati memperjuangkan cita-cita penegakan hokum demi membersihkan Kerajaan Han dari gerogotan korupsi dan pengkhianatan.
Namun Kerajaan Han yang telah berdiri kokoh selama 400 tahun itu akhirnya terpecah menjadi 3 kerajaan, yang mana Liu Bei sebagai salah satu anggota keluarga kerajaan menyatakan diri sebagai penerus Dinasti Han. Era inilah yang kemudian terkenal dengan sebutan San Guo (Sam Kok - Tiga Negara). Perjuangan keras tiga bersaudara Taman Bunga Persik untuk
mempersatukan Tiongkok tidak berhasil. Begitulah hingga usia 60 tahun, Guan Yu bersama putranya,Guan Ping, akhirnya gugur dalam pertempuran.
Meskipun demikian, rasa hormat terhadap Guan Yu tidak serta merta lenyap seiring dengan gugurnya pahlawan berparas merah lebam ini. Keberanian,
kesetiaan dan jiwa ksatria beliau menjadi kisah harum dalam masyarakat Tionghoa selama turun temurun.
Selain itu, dalam kalangan spiritual, dikenal pula kisah perjodohan Guan Yu dengan ajaran Buddha, sebuah ajaran kebenaran sejati yang menembus kepekatan misteri dimensi ruang dan waktu. Ya, Guan Yu menjadi
siswa Buddha setelah beliau gugur.

Awal Mula Sebagai Pelindung Dharma

Kisah berikut ini terjadi beberapa ratus tahun setelah gugurnya Guan Yu. Berdasarkan catatan sejarah Buddhis - Fozhu Tongji, pada tahun 592 M,
(Dinasti Sui, era Kai Huang ke-12), disebutkan bahwa pada suatu malam, langit tiba-tiba menjadi cerah,bulan terlihat jelas sekali, Guan Yu bersama Guan Ping dan sekelompok makhluk gaib muncul di hadapan
Master Tripitaka Zhiyi (pendiri aliran Tiantai Tiongkok) yang sedang bermeditasi di Bukit Yuquan. Guan Yu berkata, “Saya Guan Yu dari era akhir Dinasti Han. Ini adalah putra saya, Guan Ping. Kami terus berkelana
setelah meninggal. Yang Arya, dengan tujuan apakah anda datang ke sini? Master Zhiyi menjawab, “Aku datang ke sini untuk mendirikan vihara.”
Guan Yu menjawab, “Yang Arya, izinkanlah kami untuk membantumu. Tidak jauh dari sini, terdapat lahan yang kokoh tanahnya. Saya dan putra saya
dengan senang hati akan membangun vihara di sana untuk anda.
Mohon lanjutkan meditasinya, vihara akan selesai dalam waktu 7 hari saja.” Setelah Master Zhiyi selesai bermeditasi, terlihat sebuah vihara yang
sangat indah muncul persis di tempat yang ditunjukkan oleh Guan Yu. Vihara itu kemudian diberi nama Vihara Yuquan.
Suatu hari Guan Yu datang ke Vihara Yuquan untuk mendengarkan Master Zhiyi membabarkan Dharma, setelah itu beliau memohon untuk dapat menjadi siswa Buddha dengan menerima Trisarana dan Panca Sila Buddhis. “Aku sangat beruntung mendapat kesempatan mendengarkan Dharma dan beraspirasi mempraktikkan Jalan Bodhi (pencerahan) mulai dari sekarang. Mohon izinkanlah saya untuk menerima Sila dari Anda,” demikian ucap Guan Yu kepada Master Zhiyi. Master Zhiyi kemudian membangun sebuah kuil
untuk Guan Yu di sebelah barat daya vihara. Sebuah batu ukiran yang bertajuk tahun 820 M di Vihara Yuquan mengisahkan tentang pertemuan antara Guan Yu dan Zhiyi tersebut.
Selain kisah di atas, ada satu versi lain tentang kisah bagaimana Guan Yu menjadi seorang pemeluk agama Buddha. Dikatakan bahwa pada suatu malam Guan Yu menemui Bhiksu Zhikai, murid dari Tiantai Master Zhiyi, dan menerima Trisarana dari Bhiksu Zhikai.
Kemudian Bhiksu Zhi Kai melaporkan perjumpaan dengan Guan Yu tersebut kepada Yang Guang, Pangeran Jin (yang kelak akan dikenal sebagai Kaisar Sui – Yang Di). Pangeran Yang Guang memberikan Guan Yu gelar
“Sangharama Bodhisattva”. Itulah asal muasal dari mana gelar Sangharama diberikan kepada Guan Yu.
Pada kisah lainnya, seperti dalam Catatan Kisah Tiga Negara (San Guo Yan Yi), Guan Yu muncul di hadapan Bhikshu Pujing di malam saat gugur karena dipenggal oleh pihak Sun Quan, Raja Wu. Tubuhnya dikubur di
dekat Bukit Yuquan yaitu di Jingzhou. Di sela-sela kegalauan atas kehilangan kepala, raga halus Guan Yu bergentayangan mencari kembali kepalanya. Bhiksu Pu Jing dengan kekuatan batinnya melihat Guan Yu turun dari angkasa menunggang kuda sambil menggenggam golok besar Naga Hijau, bersama dengan 2 pria, Guan Ping dan Zhou Cang. Semasa hidupnya saat dalam pelarian dari kubu Cao Cao, Guan Yu pernah ditolong oleh Pujing di Vihara Zhen-guo. Lalu Bhiksu Pujing memukul pelana kuda dengan kebutan cambuknya seraya berkata, “Di mana Yun Chang?”
Seketika itu juga Guan Yu tersadarkan.
Guan Yu kemudian memohon petunjuk untuk dapat terbebas dari kegelapan pengembaraan batin. Pujing memberi nasehat, “Dulu salah atau sekarang benar tak perlu dipersoalkan lagi, karena terjadi pada saat sekarang tentunya ada sebab pada masa lalu.” Pujing lalu melanjutkan, “Sekarang engkau meminta kepalamu, menuntut atas kematianmu di tangan Lu Meng, namun kepada siapa Yan Liang, Wen Chou dan penjaga lima perbatasan serta banyak lagi lainnya yang telah kau bunuh, meminta kembali kepala mereka?” Kata-kata Pujing itu terasa sangat menyentak.
Setelah tersadarkan dari kegalauannya, Guan Yu lalu menjadi pengikut Buddhis. Sejak itu Guan Yu sering muncul melindungi masyarakat di sekitar Bukit Yuquan. Sebagai rasa terima kasih kepada Guan Yu, para penduduk membangun vihara di puncak Bukit Yuquan.
Gubuk rumput tempat tinggal Pujing kemudian dibangun menjadi Vihara Yuquan. Vihara Yuquan ini didirikan pada abad ke-6 M dan di dalamnya ada aula Sangharama. Ini adalah salah satu tempat pemujaan Guan Yu yang tertua, juga merupakan vihara tertua di Dangyang. Tempat penampakan raga halus Guan Yu ditandai dengan sebatang pilar batu yang bertuliskan: “Di sini tempat Guan Yun Chang dari Dinasti Han menampakkan diri.” Pilar batu itu adalah hadiah dari kaisar Wan Li masa Dinasti Ming dan masih bisa dilihat sampai sekarang.
Dalam Sutra Saptabuddha Ashtabodhisattva Maha Dharani Sutra (Sutra tentang Mantra Sakti Mahadharani yang dibabarkan 7 Buddha dan 8 Bodhisattva) tercatat bahwa ada 18 Sangharama (Qielan Shen) sebagai pelindung lingkungan vihara, yaitu: Meiyin, Fanyin, Tian’gu, Tanmiao, Tanmei, Momiao, Leiyin, Shizi, Miaotan, Fanxiang, Renyin, Fonu, Songde, Guangmu, Miaoyan, Cheting, Cheshi, dan Bianshi.
Guan Yu sendiri bukanlah sosok yang tercatat dalam Sutra Mahayana sebagai Sangharama. Term Sangharama sendiri mengandung pengertian sebagai tempat tinggal anggota Sangha, atau lebih umum dikenal sebagai vihara. Secara etimologi, istilah Sangharama telah dikenal sejak masa kehidupan Buddha. Selain 18 dewa Sangharama yang telah disebutkan di atas, dua tokoh yang dianggap sebagai pelindung utama Sangharama adalah Anathapindika dan Pangeran Jeta, penyokong Vihara Jetavanarama pada masa kehidupan Buddha.
Secara kualitatif, Guan Yu memiliki pengabdian yang setara dengan para Pelindung Sangharama, pun karena memiliki komitmen yang besar untuk melindungi lingkungan vihara, maka tidaklah mengherankan bila kemudian diapresiasi secara khusus oleh Mahayana Tiongkok sebagai Bodhisattva Sangharama. Ada juga yang menyebut sebagai Bodhisattva Satyadharma Kalama.
Di kalangan Mahayana Tiongkok, Guan Yu sering ditampilkan berdiri berpasangan dengan Dharmapala Veda (Weituo Pusa) yang juga merupakan Pelindung Dharma. Keduanya mendampingi rupang Buddha atau Avalokitesvara.

Pemujaan Guan Yu Hingga ke Tibet

Pemujaan Guan Yu juga meluas sampai ke Tibet (terutamadi aliran Gelugpa dan Nyingmapa). Altar beliau ada di vihara-vihara Tibet, seperti Mahavihara Tsurphu, sejak kunjungan Maha Ratna Dharmaraja Karmapa V ke Tiongkok atas undangan Kaisar Yong Le. Dulu di Tibet, Guan Yu sebagai Sangharama dikenal dengan nama Karma Hansheng.
Di Tibet dan Mongolia, pemujaan Guan Di (Dewa Guan Yu) diasosiasikan sebagai Raja Gesar dari Ling yang dikenal merupakan emanasi Guru Padmasambhava. Pengasosiasian tersebut dimulai sejak zaman Dinasti Qing (Manchu). Lobsang Palden Yeshe, Panchen Lama ke-6 (1738 - 1780 M) adalah yang pertama kali mengatakan bahwa Guan Di adalah Gesar. Oleh karena itu Guan Di Miao (Kuil Guan Gong) di Lhasa disebut juga dengan nama Gesar Lhakhang. Ada juga yang percaya bahwa Guan Di dan Gesar adalah inkarnasi masa lalu dari Panchen Lama.
Guan Gong dipandang sebagai Dewa Pelindung Dinasti Qing, sedangkan Vajrayana Buddhis sekte Gelug adalah agama yang dianut anggota kerajaan Dinasti Qing. Demikianlah Guan Gong (Yang Mulia Guan Yu) dihormati baik oleh kalangan Mahayana maupun Vajrayana (Tantrayana) sebagai Bodhisattva Dharmapala (Pelindung Dharma). Bahkan dalam kepercayaan masyarakat, diyakini Guan Gong kelak akan menjadi seorang Buddha bernama Ge Tian (Ge Tian Gu Fo).

Pemujaan di Kalangan Umat Tao dan Kong Hu Cu

Pemujaan Guan Yu juga meluas di kalangan umat Tao dan Konghucu sebagai Guansheng Dijun, Guan Gong, dan Guan Di. Penghormatan ini tampak nyata sekali di banyak kelenteng. Sejak Dinasti Song para Taois memuja Guan Yu sebagai Dewata Pelindung Malapetaka Peperangan, sedang umat Konghucu menghormati sebagai Dewa Kesusasteraan - Wenheng Dadi.
Pemujaan Guan Gong mulai meluas di kalangan Taois pada abad ke 12 M. Menurut sejarawan Boris Riftin dan Barend J. Ter Haar, pemujaan Guan Yu di kalangan Buddhis lebih awal daripada di kalangan Taois.
Pemujaan ini mulai popular pada masa Dinasti Ming. Guan Di dipuja karena kejujuran dan kesetiaannya, pun dipandang sebagai dewa pelindung perdagangan, dewa pelindung kesusasteraan dan dewa pelindung
rakyat dari malapetaka peperangan yang mengerikan. Julukan dewa perang yang umumnya dialamatkan kepada Guan Di, harus diartikan sebagai dewa yang mencegah terjadinya peperangan dan segala akibatnya yang menyengsarakan rakyat, sesuai dengan watak Guan Yu yang budiman. Di kalangan rakyat, Guan Yu juga dianggap sebagai Dewa Rezeki - Wuchai Shen.
Bagaimana mungkin Guan Yu sebagai seorang jenderal yang sering berperang dan membunuh akhirnya dihormati sebagai Bodhisattva? Meskipun tampak kontradiktif, namun semua ini tak lebih hanyalah masa lalu yang telah sirna setelah disadarkan oleh nasehat bhiksu suci. Penyadaran ini seperti halnya kisah kehidupan Angulimala di masa kehidupan Buddha.

Sifat Keteladanan Guan Yu


Meskipun pemujaan Guan Yu tersebar di berbagai kalangan, seperti lingkungan ibadah, kepolisian, bahkan hingga kalangan mafia yang konon dikatakan meneladani sikap kesetiakawanan Guan Yu, namun tidak berarti aspek negatif dari dunia mafia lalu dikaitkan dengan sosok Guan Yu. Ini hanyalah cermin kebebasan orang dalam memilih tokoh pemujaan. Terlepas dari hal ini, ada baiknya kita melihat sifat mulia yang tercermin dari sosok Guan Yu, yang bisa menjadi teladan bagi kita semua.
1. Patriotis
2. Menjaga norma susila
3. Tidak tergiur akan kesenangan/kenikmatan
4. Tidak silau akan nama dan harta
5. Tidak mengharap yang baru dan membuang yang lama
6. Tidak melupakan kesetiaan persaudaraan
7. Berjiwa altruis (mementingkan orang lain)
Guan Yu bukan saja telah menjadi sosok yang identik dengan pemujaan spiritual, pun adalah penyatu kultur masyarakat Tiongkok di manapun berada dan menjadi sebuah maskot tentang semangat pengabdian, kesetiaan dan sikap lurus.
Sebagai penutup, kita kutip sebuah sajak yang dilantunkan sebagai apresiasi terhadap Guan Yu dalam Penuntun Kebaktian Sore kalangan Mahayana Tiongkok:
“Pemimpin Sangharama, yang mempunyai wibawa dan keagungan menata seluruh vihara. Dengan penuh sujud dan kesetiaan menjalankan Buddha Dharma. Selalu melindungi dan mengayomi Dharma Raja Graha. Tempat Suci selalu damai tenteram selamanya.

Namo Dharmapala Garbha Bodhisattva Mahasattva Mahaprajnaparamit

(Hendrick)