Senin, 16 Juli 2012

Biografi Santideva




Santideva (Tib. Zhi-ba-lha)


Santideva dilahirkan di desa Saurastra[1], wilayah utara Bodh Gaya. Anak dari Raja Kusalavarma[2] dan Ratu Vajrayogini.[3] Semenjak kanak-kanak, pangeran muda Santideva (nama yang diberikan sejak lahir) telah menujukkan kemampuan luar biasa dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ketika berusia 6 tahun, ia bertemu seorang yogi dan menerima inisiasi pertama dan pelajaran tentang praktik Manjushri. Sebagai hasil berlatih praktik ini, Santideva mampu melihat Manjushri (Deiti kebijaksaan) dan menerima banyak pelajaran dari Manjushri secara langsung.

Pangeran Santideva merupakan satu-satunya anak tunggal raja yang akan mewariskan tahta kerajaan; ketika baginda raja meninggal, semua persiapan untuk naik tahta telah dipersiapkan. Satu malam sebelum upacara penobatan raja, Manjushri muncul dalam mimpinya, Manjushri duduk di atas tahta kerajaan dan berujar, ”Tahta ini milikku, karena aku adalah gurumu, sangat tidak pantas apabila kita berdua duduk di tahta yang sama.”

Pada malam yang sama juga, Tara muncul dalam mimpinya dalam wujud ibundanya. Ibundanya mencurahkan air panas mendidih ke-kepalanya dan mengatakan, ”Kekuasaan Raja bagaikan air mendidih di neraka; kondisi beginilah yang akan engkau terima nanti.” Ketika pangeran terbangun, ia melihat kerajaan yang akan datang penuh dengan pohon beracun dan seketika itu juga ia kabur dari istana.

Dua puluh satu hari setelah pelariannya, Santideva merasa sangat haus dan mencari-cari air. Ia menemukan sebuah mata air di tengah hutan belantara, ketika ia ingin meneguk air itu, seorang gadis muncul dan memperingatkan Santideva agar jangan minum air yang mengandung racun itu. Gadis itu memberikan air murni untuk menghilangkan kehausannya, gadis itu juga yang membawa Santideva bertemu seorang yogi yang hidup di sebuah hutan. Yogi ini memberikan inisiasi sehingga membuka banyak pintu kebijaksanaan dan konsentrasi. Yogi itu merupakan manifestasi Manjushri dan gadis itu adalah manifestasi Tara.

Ketika Santideva meninggalkan hutan itu, ia membawa sebilah pedang kayu, pedang ini merupakan simbol pedang kebijaksaan Manjushri. Ia berkelana hingga tibalah di Kerajaan Pancamasimha. Raja dari kerajaan ini mengakui Santideva sebagai orang yang penuh kebijaksanaan agung dan sangat mahir dalam berbagai bidang pengetahuan duniawi, raja mengangkat Santideva sebagai salah satu menteri kerajaan. Santideva menerima jabatan itu, selama masa jabatannya, Santideva memperkenalkan berbagai keterampilan tangan.

Walaupun Santideva selalu menjalankan tugas kenegaraan sesuai dharma, menteri lain sangat iri, ada menteri yang melaporkan kepada raja bahwa Santideva bertindak tidak benar. Pada kenyataanya, pedang yang dibawa Santideva adalah terbuat dari kayu, menteri itu mengklaim bahwa ada bukti atas kasus itu. Untuk menyelidiki kebenaran laporan itu, raja menginstruksikan semua menteri untuk menujukkan pedangnya masing-masing. Santideva memperingatkan raja bahwa kilauan dari pedangnya akan menyebabkan bahaya bagi raja, baginda raja tetap tidak percaya dan memaksa Santideva untuk menuruti perintah kerajaan. ”kalau begitu, baiklah”, Santideva berkata kepada Raja, ”Mohon baginda untuk menutup mata kanan dan hanya melihat dengan mati kiri saja.” Raja menuruti kehendak Santideva, ketika melihat pancaran sinar yang berasal dari pedang Santideva, mata kiri raja jatuh, Santideva secepat kilat memungut mata raja dan menempelkannya kembali ke rongga matanya, dan mata raja segera sembuh kembali. Raja baru sadar bahwa Santideva adalah seorang maha siddha, keyakinan besar muncul dalam hati raja. Raja memberikan banyak persembahan dan memohon Santideva tetap tinggal di kerajaan itu, namun Santideva menolak. Ia memohon raja untuk selalu memerintah kerajaan sesuai dengan dharma, Santideva menasihati raja untuk membangun 21 organisasi dharma. Santideva kemudian meninggalkan kerajaan itu dan menuju pusat monastik di Nalanda.

Di Nalanda, ia menerima pentahbisan penuh oleh kepala biara, Jayadeva[4] dan diberi nama Santideva. Selama tinggal di Nalanda, ia menerima banyak pelajaran dari Manjushri dan merealisasikan bagian-bagian penting sutra dan tantra, dengan mengatasi semua gangguan mental internal maupun eksternal, ia mencapai realisasi tertinggi jalur bertahap.

Tampak luar, Santideva hanyalah seseorang yang sehari makan lima kali, tidak bekerja, belajar, maupun meditasi. Karena kejadian seperti itu, beberapa biksu menjulukinya Bhu-Su-Ku, yang berarti: ”Orang yang hanya makan, tidur, dan buang air besar.” Karena beberapa biksu itu tidak memiliki kekuatan batin, mereka tidak tahu tingkat pencapaian realisasi Santideva, sesama mereka menggosipkan, ”Santideva tidak pernah berlatih tiga aktivitas yang merupakan kewajiban setiap biksu. Ia seharusnya diusir dari monastri.” Namun tidak mudah untuk mengusir Santideva, oleh karena itu mereka berencana untuk mempermalukan Santideva di depan umum, jadi ia akan pergi sendiri tanpa harus diusir. Rencana beberapa biksu itu adalah memohon setiap biksu untuk melafalkan Sutra Pratimoksa, mereka yakin bahwa Santideva tidak akan bisa melafalkannya dan oleh karena itu ia malu dan akan pergi dari monastri.

Awalnya, Santideva menolak permohonan mereka, namun mereka tetap bersikeras. Kemudian, Santideva bilang ia akan melafalkan Sutra Pratimoksa apabila dibuatkan tahta. Mereka setuju untuk membuat tahta, mereka membuat tahta yang sangat tinggi tanpa tangga, mereka berpikir Santideva tidak akan bisa naik dan duduk di atas tahta. Ketika Santideva mendekati tahta itu, ia menjulurkan salah satu tangannya untuk menekan tahta itu dengan kekuatan magisnya dan duduk di atas tahta itu, kemudian tahta itu juga dengan mudah naik kembali. Dengan nada anggun ia menanyakan kepada seluruh pesamuhan yang hadir, apakah mereka ingin ia melafalkan sutra yang sudah pernah dilafalkan sebelumnya atau mereka ingin mendegarkan sesuatu yang baru? Mereka semua ingin Santideva melafalkan sesuatu yang belum pernah mereka dengarkan sebelumnya. Oleh karena itu ia melafalkan Bodhisattva- carya-avatara[5], ia membuka dengan bait berikut ini:

Dengan penuh rasa hormat, aku bersujud di hadapan Sugata
Engkau yang terberkahi dengan Dharmakaya[6],
Begitu juga semua anak mulia Sugata
dan aku juga bersujud kepada semua yang patut di hormati

Ketika sampai pada bab ke sembilan, tentang kebijaksaan dan penjelasan pandangan mendalam kekosongan, Santideva tiba-tiba melayang ke udara, ketika semakin tinggi dan tinggi lagi, tubuhnya tiba-tiba hilang dari pandangan namun suaranya masih terdengar jelas.

Mereka yang memiliki kekuatan batin dalam hal mendengar dan mereka yang memiliki dharani ingatan sempurna-lah yang mampu merekam kata-kata Santideva. Namun, terdapat beberapa perbedaan dalam versi-versi yang ada. Versi sentral India (Magadha) mengandung seribu stanza, versi Negara Bengal barat tidak melebihi delapan ratus stanza (disebutkan bahwa versi ini kekurangan bab pengakuan dan kebijaksaan) , dan versi Kashmiri mencatat lebih dari seribu stanza (tanpa bait penghormatan) . Saat itu belum ada kepastian versi manakah yang mencatat dengan tepat semua kata-kata dari Santideva.

Setelah mengetahui bahwa Santideva tinggal di Sri Daksina[7] Kalinga (bagian dari Trilinga), tiga orang pundit pergi bertemunya. Mereka mengundang Santideva untuk kembali ke Nalanda, namun Santideva menolak. Mereka juga menanyakan versi Bodhisattva- carya-avatara manakah yang paling tepat, Santideva menjawab bahwa versi sentral India (Magadha)-lah yang telah mencatat semua kata-katanya dengan benar. Mereka juga bertanya tentang naskah Siksasamuccaya[8] yang pernah ia usulkan kepada mereka untuk dipelajari. Santideva memberitahu mereka bahwa naskah itu bisa ditemukan di rak rumah tua tempat ia tinggal di Nalanda. Kemudian Santideva memberikan mereka pelajaran dua naskah itu.

Pada hutan yang sama tempat tinggal Santideva, terdapat sebuah monastri yang didalamnya hidup sebanyak 500 orang biksu. Beberapa orang biksu melihat banyak binatang masuk ke gua tempat tinggal Santideva namun tidak pernah lihat binatang itu keluar lagi, mereka menduga Santideva membunuh para binatang itu. Namun dikemudian hari, setelah mereka memeriksa dengan teliti, mereka melihat semua binatang keluar dengan kondisi sehat. Mereka merasa menyesal karena berpikir buruk tentang Santideva. Mereka memohon Santideva untuk tetap tinggal di hutan itu dan memberikan pelajaran dharma, namun Santideva melepaskan jubah biksunya dan pergi ke India selatan dan menjalankan hidup sebagai pertapa pengembara.

Suatu ketika Santideva berjalan lewat, seorang perumah tangga membuang air cuciannya ke pintu depan. Air itu mengenai kaki Santideva dan tiba-tiba air itu mendidih bagaikan air yang diteteskan di atas besi panas. Perumah tangga itu terperanjat kaget dan merasa sangat malu atas kejadian itu. Pada waktu yang bersamaan juga, seorang guru non-buddhis bernama Sankaradeva ingin menantang pundit buddhis, ia pergi bertemu dengan Raja Khatibidhari yang merupakan penguasa regional itu. Sankaradeva mengajukan persyaratan untuk kompetisi, siapa yang kalah dalam dalam kompetisi itu harus mengikuti ajaran orang yang menang dan semua tempat ibadah orang yang kalah harus dihancurkan. Ia meminta raja sebagai saksinya untuk kompetisi itu. Raja setuju dan mengirimkan utusan ke komunitas buddhis untuk menerima tantangan itu. Komunitas buddhis membalas bahwa tidak ada satupun dari mereka yang siap menerima tantangan itu, Raja Khatibidhari merasa sangat kecewa dan kehilangan harapan.

Seketika itu juga, perumah tangga yang membuang air dan mengenai kaki Santideva itu tiba di kerajaan dan memberitahu kejadian itu kepada raja, raja sangat ingin tahu siapakah gerangan pertapa misterius itu. Setelah mengerti cerita itu, raja segera mengirimkan pewarta pesan ke seluruh penjuru kota untuk mencari pertapa buddhis itu. Setelah sekian lama mencari, Santideva ditemukan duduk di bawah sebuah pohon sebagai seorang pengemis. Santideva menerima tantangan non-buddhis itu dan meminta disediakan satu pot air, beberapa pakaian dan api, agar ia bisa merapikan dirinya untuk menghadiri kompetisi itu.

Rakyat berbondong-bondong datang melihat perdebatan itu. Masing-masing kontestan duduk di tahta masing-masing di tengah. Raja Khatibidhari duduk di salah satu sisi dengan para menterinya di bagian kiri dan pundit yang lain duduk di sebelah kanan. Debat pun mulai. Santideva tidak perlu waktu terlalu lama untuk mengalahkan Sankaradeva. Sankaradeva kemudian menantang untuk menunjukkan kekuatan magis dan ia melukis mandala siva yang sangat besar di udara. Setelah Sankaradeva selesai melukis gerbang selatan mandala, Santideva mencerapkan diri dalam samadhi angin destruktif, muncul angin kencang berhembus. Raja dan para menteri terhempas angin, area itu tertutupi oleh debu. Sankaradeva terangkat tinggi dan mandalanya hancur bagaikan burung yang terhempas angin hujan badai. Area itu tiba-tiba menjadi gelap, kemudian Santideva memancarkan cahaya terang dari titik di antara kedua alisnya, angin kencang itu langsung berhenti. Semua orang sembuh kembali, dan semua tempat itu tertata rapi dan bersih kembali serta semua orang selamat. Untuk memenuhi persyaratan yang telah dibuat oleh sankaradeva, biara non-buddhis ditutup, dan mereka menjadi penganut buddhis. Kota tempat perdebatan itu sampai saat ini dikenal dengan ”Kekalahan non-buddhis.”

Suatu ketika pemikir filosofi non-buddhis mengalamai kesulitan dalam penghidupan mereka, Santideva mendatangkan makanan dengan kemampuan magisnya dan secara perlahan-lahan membawa mereka pada praktik buddhadharma. Pada kejadian lain, terjadi bencana kelaparan, ribuan orang meninggal karena kelaparan. Santideva menyelamatkan mereka dengan memberikan dharma yang membuat mereka hidup sederhana dan merasa puas dengan apa adanya. Di timur Ariboshana, hidup seorang raja yang disekelilingnya banyak orang yang ingin menjatuhkannya. Santideva menyingkirkan semua penghalangnya dan membawa raja dan pengikutnya ke jalur kebaikan. Waktu lain, Santideva mencegah terjadinya perang dengan membabarkan dharma suci dan menunjukkan kepada dua belah pihak yang bertikai itu tentang arti sesungguhnya dari kebahagiaan.

Di atas hanya beberapa contoh dari perbuatan kebajikan luar biasa yang dilakukan oleh bodhisattva agung, Santideva, dalam kehidupannya, dan karena itulah ia dianggap sebagai Pundit India termasyur sepanjang masa.