Sejarah Singkat
Sebagian
besar orang bisa saja tidak mengenal nama Bodhisattva Sangharama, tetapi begitu
melihat citra rupang seorang jendral gagah
perkasa
dengan jenggot panjang indah bergemulai dan paras muka merah lebam berkilau,maka
mereka pasti akan langsung tahu. Ya, Bodhisattva
Sangharama
adalah Guan Yu alias Guan Gong (Kwan Kong).
Siapa
tidak tahu Guan Yu? Banyak orang mengetahuinya dari cerita Sam Kok (Kisah Tiga
Negara) dan game Dynasty Warrior. Namun, tahukah kita
bagaimana
latar belakang Guan Yu hingga dinobatkan sebagai Dharmapala (Pelindung Dharma)
dalam tradisi Mahayana Tiongkok?
Guan
Yu (160 - 219 M), alias Yun Chang, lahir pada tanggal 24 bulan 6 Imlek, adalah
penduduk asal Jiezhou, Hedong (sekarang Yuncheng, Propinsi
Shanxi).
Sejak kecil dididik dalam bidang kesusastraan dan sejarah. Beliau sangat
menggemari kitab sejarah Chunqiu (Musim Semi dan Gugur) dan Zuozhuan (kitab sejarah
karya Zuo Qiuming). Guan Yu memiliki 3 anak:
Guan
Ping, Guan Xing dan Guan Suo.
Salah
satu watak istimewa yang dimiliki Guan Yu adalah jiwa setia dan ksatria, beliau
berani membela yang lemah dan tertindas.
Tahun
184, Guan Yu melarikan diri dari kampung halamannya setelah
membunuh
orang demi membela kaum lemah. Beliau menuju wilayah Zuo, kemudian berkenalan
dengan Liu Bei dan Zhang Fei.
Liu
Bei adalah anggota keluarga Kaisar Kerajaan Han yang sedang merekrut prajurit untuk
membasmi pemberontakan Serban Kuning.
Karena
memiliki cita-cita yang sama, maka mereka bertiga menjalin tali persaudaraan
yang dikenal dengan sebutan Tiga Pertalian Setia di Taman Bunga Persik.
Semenjak
itu, mereka bertiga berkomitmen sehidup semati memperjuangkan cita-cita
penegakan hokum demi membersihkan Kerajaan Han dari gerogotan korupsi dan
pengkhianatan.
Namun
Kerajaan Han yang telah berdiri kokoh selama 400 tahun itu akhirnya terpecah
menjadi 3 kerajaan, yang mana Liu Bei sebagai salah satu anggota keluarga
kerajaan menyatakan diri sebagai penerus Dinasti Han. Era inilah yang kemudian
terkenal dengan sebutan San Guo (Sam Kok - Tiga Negara). Perjuangan keras tiga
bersaudara Taman Bunga Persik untuk
mempersatukan
Tiongkok tidak berhasil. Begitulah hingga usia 60 tahun, Guan Yu bersama putranya,Guan
Ping, akhirnya gugur dalam pertempuran.
Meskipun
demikian, rasa hormat terhadap Guan Yu tidak serta merta lenyap seiring dengan
gugurnya pahlawan berparas merah lebam ini. Keberanian,
kesetiaan
dan jiwa ksatria beliau menjadi kisah harum dalam masyarakat Tionghoa selama
turun temurun.
Selain
itu, dalam kalangan spiritual, dikenal pula kisah perjodohan Guan Yu dengan
ajaran Buddha, sebuah ajaran kebenaran sejati yang menembus kepekatan misteri
dimensi ruang dan waktu. Ya, Guan Yu menjadi
siswa
Buddha setelah beliau gugur.
Awal Mula Sebagai
Pelindung Dharma
Kisah
berikut ini terjadi beberapa ratus tahun setelah gugurnya Guan Yu. Berdasarkan
catatan sejarah Buddhis - Fozhu Tongji, pada tahun 592 M,
(Dinasti
Sui, era Kai Huang ke-12), disebutkan bahwa pada suatu malam, langit tiba-tiba
menjadi cerah,bulan terlihat jelas sekali, Guan Yu bersama Guan Ping dan
sekelompok makhluk gaib muncul di hadapan
Master
Tripitaka Zhiyi (pendiri aliran Tiantai Tiongkok) yang sedang bermeditasi di
Bukit Yuquan. Guan Yu berkata, “Saya Guan Yu dari era akhir Dinasti Han. Ini adalah
putra saya, Guan Ping. Kami terus berkelana
setelah
meninggal. Yang Arya, dengan tujuan apakah anda datang ke sini? Master Zhiyi
menjawab, “Aku datang ke sini untuk mendirikan vihara.”
Guan
Yu menjawab, “Yang Arya, izinkanlah kami untuk membantumu. Tidak jauh dari
sini, terdapat lahan yang kokoh tanahnya. Saya dan putra saya
dengan
senang hati akan membangun vihara di sana untuk anda.
Mohon
lanjutkan meditasinya, vihara akan selesai dalam waktu 7 hari saja.” Setelah
Master Zhiyi selesai bermeditasi, terlihat sebuah vihara yang
sangat
indah muncul persis di tempat yang ditunjukkan oleh Guan Yu. Vihara itu
kemudian diberi nama Vihara Yuquan.
Suatu
hari Guan Yu datang ke Vihara Yuquan untuk mendengarkan Master Zhiyi
membabarkan Dharma, setelah itu beliau memohon untuk dapat menjadi siswa Buddha
dengan menerima Trisarana dan Panca Sila Buddhis. “Aku sangat beruntung
mendapat kesempatan mendengarkan Dharma dan beraspirasi mempraktikkan Jalan
Bodhi (pencerahan) mulai dari sekarang. Mohon izinkanlah saya untuk menerima
Sila dari Anda,” demikian ucap Guan Yu kepada Master Zhiyi. Master Zhiyi
kemudian membangun sebuah kuil
untuk
Guan Yu di sebelah barat daya vihara. Sebuah batu ukiran yang bertajuk tahun
820 M di Vihara Yuquan mengisahkan tentang pertemuan antara Guan Yu dan Zhiyi
tersebut.
Selain
kisah di atas, ada satu versi lain tentang kisah bagaimana Guan Yu menjadi
seorang pemeluk agama Buddha. Dikatakan bahwa pada suatu malam Guan Yu menemui
Bhiksu Zhikai, murid dari Tiantai Master Zhiyi, dan menerima Trisarana dari
Bhiksu Zhikai.
Kemudian
Bhiksu Zhi Kai melaporkan perjumpaan dengan Guan Yu tersebut kepada Yang Guang,
Pangeran Jin (yang kelak akan dikenal sebagai Kaisar Sui – Yang Di). Pangeran
Yang Guang memberikan Guan Yu gelar
“Sangharama
Bodhisattva”. Itulah asal muasal dari mana gelar Sangharama diberikan kepada
Guan Yu.
Pada
kisah lainnya, seperti dalam Catatan Kisah Tiga Negara (San Guo Yan Yi), Guan
Yu muncul di hadapan Bhikshu Pujing di malam saat gugur karena dipenggal oleh
pihak Sun Quan, Raja Wu. Tubuhnya dikubur di
dekat
Bukit Yuquan yaitu di Jingzhou. Di sela-sela kegalauan atas kehilangan kepala,
raga halus Guan Yu bergentayangan mencari kembali kepalanya. Bhiksu Pu Jing
dengan kekuatan batinnya melihat Guan Yu turun dari angkasa menunggang kuda
sambil menggenggam golok besar Naga Hijau, bersama dengan 2 pria, Guan Ping dan
Zhou Cang. Semasa hidupnya saat dalam pelarian dari kubu Cao Cao, Guan Yu
pernah ditolong oleh Pujing di Vihara Zhen-guo. Lalu Bhiksu Pujing memukul
pelana kuda dengan kebutan cambuknya seraya berkata, “Di mana Yun Chang?”
Seketika
itu juga Guan Yu tersadarkan.
Guan
Yu kemudian memohon petunjuk untuk dapat terbebas dari kegelapan pengembaraan
batin. Pujing memberi nasehat, “Dulu salah atau sekarang benar tak perlu
dipersoalkan lagi, karena terjadi pada saat sekarang tentunya ada sebab pada
masa lalu.” Pujing lalu melanjutkan, “Sekarang engkau meminta kepalamu,
menuntut atas kematianmu di tangan Lu Meng, namun kepada siapa Yan Liang, Wen
Chou dan penjaga lima perbatasan serta banyak lagi lainnya yang telah kau
bunuh, meminta kembali kepala mereka?” Kata-kata Pujing itu terasa sangat
menyentak.
Setelah
tersadarkan dari kegalauannya, Guan Yu lalu menjadi pengikut Buddhis. Sejak itu
Guan Yu sering muncul melindungi masyarakat di sekitar Bukit Yuquan. Sebagai
rasa terima kasih kepada Guan Yu, para penduduk membangun vihara di puncak
Bukit Yuquan.
Gubuk
rumput tempat tinggal Pujing kemudian dibangun menjadi Vihara Yuquan. Vihara
Yuquan ini didirikan pada abad ke-6 M dan di dalamnya ada aula Sangharama. Ini
adalah salah satu tempat pemujaan Guan Yu yang tertua, juga merupakan vihara
tertua di Dangyang. Tempat penampakan raga halus Guan Yu ditandai dengan
sebatang pilar batu yang bertuliskan: “Di sini tempat Guan Yun Chang dari
Dinasti Han menampakkan diri.” Pilar batu itu adalah hadiah dari kaisar Wan Li
masa Dinasti Ming dan masih bisa dilihat sampai sekarang.
Dalam
Sutra Saptabuddha Ashtabodhisattva Maha Dharani Sutra (Sutra tentang Mantra
Sakti Mahadharani yang dibabarkan 7 Buddha dan 8 Bodhisattva) tercatat bahwa
ada 18 Sangharama (Qielan Shen) sebagai pelindung lingkungan vihara, yaitu:
Meiyin, Fanyin, Tian’gu, Tanmiao, Tanmei, Momiao, Leiyin, Shizi, Miaotan,
Fanxiang, Renyin, Fonu, Songde, Guangmu, Miaoyan, Cheting, Cheshi, dan Bianshi.
Guan
Yu sendiri bukanlah sosok yang tercatat dalam Sutra Mahayana sebagai
Sangharama. Term Sangharama sendiri mengandung pengertian sebagai tempat
tinggal anggota Sangha, atau lebih umum dikenal sebagai vihara. Secara
etimologi, istilah Sangharama telah dikenal sejak masa kehidupan Buddha. Selain
18 dewa Sangharama yang telah disebutkan di atas, dua tokoh yang dianggap sebagai
pelindung utama Sangharama adalah Anathapindika dan Pangeran Jeta, penyokong
Vihara Jetavanarama pada masa kehidupan Buddha.
Secara
kualitatif, Guan Yu memiliki pengabdian yang setara dengan para Pelindung
Sangharama, pun karena memiliki komitmen yang besar untuk melindungi lingkungan
vihara, maka tidaklah mengherankan bila kemudian diapresiasi secara khusus oleh
Mahayana Tiongkok sebagai Bodhisattva Sangharama. Ada juga yang menyebut
sebagai Bodhisattva Satyadharma Kalama.
Di
kalangan Mahayana Tiongkok, Guan Yu sering ditampilkan berdiri berpasangan
dengan Dharmapala Veda (Weituo Pusa) yang juga merupakan Pelindung Dharma.
Keduanya mendampingi rupang Buddha atau Avalokitesvara.
Pemujaan Guan Yu
Hingga ke Tibet
Pemujaan
Guan Yu juga meluas sampai ke Tibet (terutamadi aliran Gelugpa dan Nyingmapa).
Altar beliau ada di vihara-vihara Tibet, seperti Mahavihara Tsurphu, sejak
kunjungan Maha Ratna Dharmaraja Karmapa V ke Tiongkok atas undangan Kaisar Yong
Le. Dulu di Tibet, Guan Yu sebagai Sangharama dikenal dengan nama Karma
Hansheng.
Di
Tibet dan Mongolia, pemujaan Guan Di (Dewa Guan Yu) diasosiasikan sebagai Raja
Gesar dari Ling yang dikenal merupakan emanasi Guru Padmasambhava.
Pengasosiasian tersebut dimulai sejak zaman Dinasti Qing (Manchu). Lobsang Palden
Yeshe, Panchen Lama ke-6 (1738 - 1780 M) adalah yang pertama kali mengatakan
bahwa Guan Di adalah Gesar. Oleh karena itu Guan Di Miao (Kuil Guan Gong) di
Lhasa disebut juga dengan nama Gesar Lhakhang. Ada juga yang percaya bahwa Guan
Di dan Gesar adalah inkarnasi masa lalu dari Panchen Lama.
Guan
Gong dipandang sebagai Dewa Pelindung Dinasti Qing, sedangkan Vajrayana Buddhis
sekte Gelug adalah agama yang dianut anggota kerajaan Dinasti Qing. Demikianlah
Guan Gong (Yang Mulia Guan Yu) dihormati baik oleh kalangan Mahayana maupun
Vajrayana (Tantrayana) sebagai Bodhisattva Dharmapala (Pelindung Dharma).
Bahkan dalam kepercayaan masyarakat, diyakini Guan Gong kelak akan menjadi
seorang Buddha bernama Ge Tian (Ge Tian Gu Fo).
Pemujaan di
Kalangan Umat Tao dan Kong Hu Cu
Pemujaan
Guan Yu juga meluas di kalangan umat Tao dan Konghucu sebagai Guansheng Dijun,
Guan Gong, dan Guan Di. Penghormatan ini tampak nyata sekali di banyak
kelenteng. Sejak Dinasti Song para Taois memuja Guan Yu sebagai Dewata
Pelindung Malapetaka Peperangan, sedang umat Konghucu menghormati sebagai Dewa
Kesusasteraan - Wenheng Dadi.
Pemujaan
Guan Gong mulai meluas di kalangan Taois pada abad ke 12 M. Menurut sejarawan
Boris Riftin dan Barend J. Ter Haar, pemujaan Guan Yu di kalangan Buddhis lebih
awal daripada di kalangan Taois.
Pemujaan
ini mulai popular pada masa Dinasti Ming. Guan Di dipuja karena kejujuran dan
kesetiaannya, pun dipandang sebagai dewa pelindung perdagangan, dewa pelindung
kesusasteraan dan dewa pelindung
rakyat
dari malapetaka peperangan yang mengerikan. Julukan dewa perang yang umumnya
dialamatkan kepada Guan Di, harus diartikan sebagai dewa yang mencegah
terjadinya peperangan dan segala akibatnya yang menyengsarakan rakyat, sesuai
dengan watak Guan Yu yang budiman. Di kalangan rakyat, Guan Yu juga dianggap
sebagai Dewa Rezeki - Wuchai Shen.
Bagaimana
mungkin Guan Yu sebagai seorang jenderal yang sering berperang dan membunuh
akhirnya dihormati sebagai Bodhisattva? Meskipun tampak kontradiktif, namun
semua ini tak lebih hanyalah masa lalu yang telah sirna setelah disadarkan oleh
nasehat bhiksu suci. Penyadaran ini seperti halnya kisah kehidupan Angulimala
di masa kehidupan Buddha.
Sifat Keteladanan
Guan Yu
Meskipun
pemujaan Guan Yu tersebar di berbagai kalangan, seperti lingkungan ibadah,
kepolisian, bahkan hingga kalangan mafia yang konon dikatakan meneladani sikap
kesetiakawanan Guan Yu, namun tidak berarti aspek negatif dari dunia mafia lalu
dikaitkan dengan sosok Guan Yu. Ini hanyalah cermin kebebasan orang dalam
memilih tokoh pemujaan. Terlepas dari hal ini, ada baiknya kita melihat sifat
mulia yang tercermin dari sosok Guan Yu, yang bisa menjadi teladan bagi kita
semua.
1.
Patriotis
2.
Menjaga norma susila
3.
Tidak tergiur akan kesenangan/kenikmatan
4.
Tidak silau akan nama dan harta
5.
Tidak mengharap yang baru dan membuang yang lama
6.
Tidak melupakan kesetiaan persaudaraan
7.
Berjiwa altruis (mementingkan orang lain)
Guan
Yu bukan saja telah menjadi sosok yang identik dengan pemujaan spiritual, pun
adalah penyatu kultur masyarakat Tiongkok di manapun berada dan menjadi sebuah
maskot tentang semangat pengabdian, kesetiaan dan sikap lurus.
Sebagai
penutup, kita kutip sebuah sajak yang dilantunkan sebagai apresiasi terhadap
Guan Yu dalam Penuntun Kebaktian Sore kalangan Mahayana Tiongkok:
“Pemimpin
Sangharama, yang mempunyai wibawa dan keagungan menata seluruh vihara. Dengan
penuh sujud dan kesetiaan menjalankan Buddha Dharma. Selalu melindungi dan
mengayomi Dharma Raja Graha. Tempat Suci selalu damai tenteram selamanya.
Namo
Dharmapala Garbha Bodhisattva Mahasattva Mahaprajnaparamit
(Hendrick)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar