(普賢菩薩)
Dalam
Buddhisme Tiongkok, Bodhisattva Samantabhadra disebut sebagai Puxian (baca:
Bu-sien), yang mengandung makna “Kemuliaan Universal” atau juga “Kebajikan Universal”.
Sutra Avatamsaka menyebutnya sebagai salah
satu
dari Tiga Makhluk Suci Avatamsaka, yakni: Bodhisattva Manjusri (kiri), Buddha
Sakyamuni (tengah) dan Bodhisattva Samantabhadra (kanan).
Secara
simbolis, Bodhisattva Samantabhadra digambarkan dalam wujud mengendarai gajah
putih bergading enam (gajah putih melambangkan
keluasan
dan kedalaman praktik, sedang enam gading melambangkan 6 Kesempurnaan).
Bodhisattva Samantabhadra telah mempraktikkan Jalan Bodhisattva sejak kalpa lampau yang tak terhitung lamanya.
Ketika
Buddha Amitabha masih terlahir sebagai seorang raja Cakravartin,
Bodhisattva Samantabhadra merupakan putra mahkota ke-8 yang bernama Amiga.
Ketika itu, Pangeran Amiga membangkitkan ikrar anuttara-samyaksambodhi di
hadapan Buddha Ratna-garbha. Pangeran Amiga mengutarakan tekad untuk menguasai
berbagai jenis samadhi guna membimbing semua makhluk hidup di sepuluh penjuru
semesta.
Buddha Ratna-garbha
kemudian memberi nama Samantabhadra bagi
Pangeran
Amiga dan menyatakan bahwa sang pangeran akan menjadi Buddha di masa mendatang
dengan nama Tathagata Jnanavajravijrmbhitesvaraketu (Karuna Pundarika Sutra,
Bab 4). Keagungan praktik Jalan Bodhisattva yang dicanangkan Samantabhadra
tercermin dari Sepuluh Ikrar Agung (Sutra
Avatamsaka
Bagian Samantabhadra Carya-pranidhana varga)
sehingga
menempatkannya dalam posisi yang sejajar dengan para Bodhisattva Agung seperti
Manjusri, Avalokitesvara, dan Ksitigarbha. Keagungan praktik dan perilaku ini
jugalah yang membuat Samantabhadra dijuluki sebagai Arya Bhadra
Carya
Pranidhanam Raja (Yang Suci Raja Ikrar dan Praktik Kebajikan
Agung).
10 Ikrar
Agung Samantabhadra adalah sebagai berikut:
1.
Menghormati para Buddha
2.
Memuji Tathagata
3.
Memberi persembahan yang luas
4.
Menyesal dan bertobat atas perbuatan yang buruk
5.
Bersuka cita atas pahala kebajikan
6.
Memohon pemutaran roda Dharma
7.
Memohon Buddha menetap di dunia
8.
Selalu menyertai dan belajar dari Buddha
9.
Selalu selaras dengan semua makhluk hidup
10.
Melimpahkan semua pahala kebajikan secara universal.
Keistimewaan
dari Sepuluh Ikrar Samantabhadra ini terletak pada kemuliaannya yang meliputi
dimensi ruang
(luas,
universal, menyebar ke sepuluh penjuru semesta), dimensi waktu (menembus tiga masa
- lampau, kini dan akan datang), serta
mengutamakan
kebahagiaan semua makhluk.
Samantabhadra
menjelaskan bahwa sejauh alam semesta masih berlangsung, sejauh para makhluk
hidup masih muncul, maka sepuluh ikrar dan perilaku ini tidak akan pernah
berakhir.
Dengan
demikian maka sifat universal dari praktik dan perilaku Samantabhadra sungguh mencengangkan,
tak terbayangkan, dan di luar jangkauan makhluk awam.
Karena
itu, Samantabhadra dikenal sebagai Bodhisattva Manifestasi Keagungan
Tekad,Praktik dan Perilaku. Keagungan perilaku yang dicanangkan dalam 10 Ikrar
Agung melahirkan suatu terminologi Dharma yang disebut Praktik Samantabhadra.
Praktik
Samantabhadra kemudian menjadi suatu praktik yang mutlak bagi setiap orang yang
menapaki Jalan Bodhisattva. Dalam berbagai Sutra Mahayana,para
Bodhisattva Agung disebutkan telah berdiam di dalam Praktik Samantabhadra.
Samantabhadra
merupakan salah satu siswa mulia yang selalu hadir dalam berbagai pesamuan agung
pembabaran Dharma oleh Buddha Sakyamuni. Dalam Sutra Saddharmapundarika dinyatakan
bahwa Samantabhadra menjadi
pelindung
bagi mereka yang mendalami Sutra ini. Sedang dalam Sutra Avatamsaka, Putra
Sudhana - pemuda yang menapak Jalan Bodhisattva dan berguru kepada 53
Bodhisattva Agung – saat menghadap Bodhisattva ke-
53 yakni
Samantabhadra, ia diajarkan untuk menempuh Praktik Samantabhadra.
Melaksanakan
praktik Samantabhadra sama dengan telah mengaplikasikan seluruh rangkaian
praktik Dharma. Oleh karena itu, Praktik Samantabhadra adalah metode yang secara
umum telah dilaksanakan oleh para Bodhisattva tingkat tinggi. Meski makhluk biasa
sulit untuk menjalankan praktik ini dengan sempurna, namun membangkitkan ikrar
seperti ini adalah suatu tapak yang sangat dianjurkan karena merupakan bagian
dari Jalan Bodhisattva.
Untuk
itu, bagi praktisi yang ingin menapak Jalan Bodhisattva dan menjalin ikatan jodoh
karma dengan Samantabhadra, Buddha Sakyamuni dalam Sutra Guan Puxian Pusa
Xingfa Jing (Sutra Mengamati Bodhisattva Samantabhadra Mempraktikkan
Dharma) telah memaparkan lebih jauh tentang metode Praktik Samantabhadra,
penyesalan dan pertobatan akan kekotoran enam landasan indera, dan pahala
kebajikan akan penyesalan dan pertobatan.
Kemudian
keagungan lain dari praktik Samantabhadra juga terlihat dalam Sutra Da Fang
Guang Puxian Suoshuo Jing (Sutra Besar Lurus Luas yang Dibabarkan
Samantabhadra).
Pada
suatu ketika, para Bodhisattva berkumpul dalam satu pesamuan Buddha
Sakyamuni,
tiba-tiba muncul beratus ribu koti Bodhisattva Agung lain yang jumlahnya tak
terbatas, yang mana mereka telah merealisasikan Praktik Samantabhadra.
Pada
saat itu, Samantabhadra meminta Bodhisattva yang hadir untuk menyelidiki dari
mana para Bodhisattva yang baru muncul itu berasal, namun tidak ada satupun Bodhisattva
yang sanggup walaupun telah menggunakan
beratus ribu koti jenis samadhi.
Akhirnya
Bodhisattva Samantabhadra dengan kekuatan batin berhasil mengetahui dan memperlihatkan
tempat para Bodhisattva Agung itu berasal, serta menjelaskan bahwa kemampuan
mengagumkan ini merupakan hasil
dari Praktik Samantabhadra.
Pusat
pembabaran Dharma Samantabhadra konon diyakini terletak di Gunung Emei, Propinsi
Sichuan, bagian barat daya Tiongkok. Selain berpedoman pada catatan dalam Sutra,
keyakinan ini juga tidak terlepas dari kisah nyata mengenai penampakan Samantabhadra
di gunung tersebut. Kisah pertama muncul pada masa dinasti Jin.
Saat itu
hiduplah seorang praktisi penyepian bernama Puwen. Ketika mencari obat-obatan
di gunung Emei, beliau melihat seekor rusa dan kemudian berusaha mengejarnya.
Saat rusa tersebut lari hingga ke atas puncak gunung yang tidak memiliki jalan
keluar, sang rusa tiba-tiba menghilang dan muncul berkas cahaya
yang aneh. Melihat kejadian ini, Puwen merasa heran.
Beliau
lalu bertanya pada Baozhang, seorang bhiksu asal India yang kebetulan sedang
berkunjung ke Tiongkok. Bhiksu Baozhang lalu menjelaskan bahwa apa yang dilihat
Puwen itu merupakan makhluk jelmaan Bodhisattva Samantabhadra.
Menurut
Bhiksu Baozhang, Samantabhadra berdiam di gunung tersebut untuk mengajarkan
Dharma. Selain itu, pemandangan yang unik di gunung Emei terletak pada
kemunculan cahaya aneh di malam hari. Ciri-ciri inilah yang menjadi pedoman
atas keyakinan bahwa gunung ini sesuai dengan gambaran catatan Sutra.
Bagi
pemeluk agama Buddha di Tiongkok, Gunung Emei disebut juga sebagai Guangming
Shan (Gunung Cahaya Gemilang). Menurut Sutra Avatamsaka bagian Kediaman
Para Bodhisattva disebutkan, “Di wilayah barat daya terdapat
wilayah
yang bernama Gunung Cahaya Gemilang. Semenjak lama gunung ini menjadi tempat
kediaman para Bodhisattva, dan sekarang ini Bodhisattva Samantabhadra bersama
sekelompok Bodhisattva lain sejumlah 3.000 orang menetap di gunung ini untuk
membabarkan Dharma.”
Apakah
benar Gunung Cahaya Gemillang yang digambarkan dalam Sutra menunjuk pada
gunung Emei? Yang jelas Gunung Emei telah menjadi gunung
yang
memiliki jodoh karma yang tak terpisahkan dengan nama Bodhisattva
Samantabhadra. Semenjak dikenal sebagai pusat pembabaran Dharma Bodhisattva
Samantabhadra, berdirilah puluhan vihara di seantero Gunung Emei yang merupakan
salah satu Empat Gunung Buddha di Tiongkok.
Pada
prinsipnya, semua Bodhisattva menapak jalan yang setara serta melalui berbagai upaya
kausalya (metode praktis - bijaksana), salah satunya dalam bentuk wujud
jelmaan untuk membimbing makhluk hidup agar berkenan memasuki pemahaman Dharma.
Demikian juga dengan Samantabhadra
yang
menekankan upaya kausalya segi praktik dan perilaku dalam menempuh Jalan
Bodhisattva untuk membahagiakan semua makhluk.
Tidak
hanya berada di Gunung Emei saja, Samantabhadra sesungguhnya menjelma dalam
wujud yang tak terhitung di seluruh alam semesta ini sebagai manifestasi
pelaksanaan Praktik Samantabhadra. Lebih jelasnya, saat praktik Dharma muncul
dalam pikiran, ucapan dan tindakan jasmani setiap makhluk hidup,
maka di situlah tempat persemayaman yang sebenarnya dari Bodhisattva Samantabhadra
Oleh : Ching Ik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar