Namo Tassa Bhagavato Arahatto Sammasambuddhassa
Uttamo Metteyyo Ramo Pasenadi Kosalo ca
Abhibhu Dighasoni ca Candani ca Subo Todeyyabrahmano
Nalagiri Palaleyyo bodhisatta anukkamena
Sambodhim labhanti anagate.
(Buddha Gotama meramalkan sebagai berikut:)
Di masa depan (sepuluh) Bodhisatta akan mencapai pencerahan sempurna dengan urutan sebagai berikut: Yang Termulia (Ariya) Metteya, (Raja) Rama, (Raja) Pasenadi dari Kosala, (Deva) Abhibhu, (Dewa Asura) Dighasoni, (Brahmana) Candani, (Pemuda) Subha, Brahmana Todeyya, (Gajah) Nalagiri, dan (Gajah) Palaleya. [11]
Aspirasi yang paling penting bagi individu mana pun juga adalah diarahkan pada pembebasan sejati mencapai Nibbana. Jika seseorang dapat melakukan tekad ini di hadapan seorang Buddha yang sedang mengajar (Sammasambuddha) dan memperoleh ramalan pasti dariNya, maka ia menjadi seorang yang bertekad mencapai Penerangan Sempurna, seorang Bodhisatta. [12] Ada tiga jenis Bodhisatta:
1. Mereka yang bercita-cita untuk mencapai pencerahan sebagai seorang siswa dari seorang Buddha:
1. Para siswa biasa (savaka),
2. Delapan puluh para siswa besar (maha-savaka), dan
3. Dua siswa utama (agga-savaka);
2. Mereka yang bercita-cita untuk mencapai Pencerahan melalui usaha sendiri tetapi tidak mengajarkan jalan menuju pencerahan kepada orang lain (pacceka-bodhisatta), dan
3. Mereka yang bercita-cita untuk mencapai Pencerahan melalui usaha sendiri dan akan mengajarkan jalan menuju pencerahan kepada orang lain (maha-bodhisatta). [13]
Dalam tulisan ini, kita akan membahas tentang Bodhisatta jenis terakhir, dengan merujuk khusus pada Buddha berikutnya, Metteya. [14]
Adalah wajar bahwa ketertarikan pada Buddha mendatang tumbuh pesat tahun demi tahun. Ketika Buddha Gotama masih ada, banyak orang berusaha mempraktikkan Ajarannya dan mencapai pencerahan. Segera setelah kematianNya, Ajarannya dikumpulkan, dan sejak saat itu, banyak usaha telah dilakukan untuk mempertahankan kemurniannya agar tetap efektif.
Jumlah mereka yang mencapai Nibbana semakin berkurang seiring berlalunya waktu, dan oleh karena itu orang-orang mulai lebih memikirkan tentang pertemuan dengan Buddha berikutnya dan mencapai Pencerahan di bawahNya. [15] Adalah penting bahwa Ajaran Buddha tidak boleh diabaikan, akan tetapi. Bukanlah harapan yang memungkinkan kita dapat bertemu dengan seorang Buddha, melainkan pengembangan sepuluh Kesempurnaan dan maju sejauh mungkin dalam praktik Ajaran Buddha kapan saja waktu memungkinkan. Hal ini adalah penting khususnya pada masa kini ketika Ajaran Buddha sedang dalam masa kemunduran dan menjadi lebih mudah jatuh ke dalam empat alam rendah. Jika hal ini terjadi, maka adalah sulit bagi orang itu untuk bertemu dengan Buddha mendatang.
Seorang Buddha yang mengajar adalah yang teragung di antara semua makhluk, dan persiapan untuk mencapai kondisi Yang Tercerahkan Tertinggi (Sammasambuddha) memerlukan waktu yang lebih lama daripada persiapan untuk mencapai pencerahan sebagai seorang siswa atau seorang Pacceka-Buddha.
Dalam komentar pada Kanon Pali, persiapan seorang Maha-bodhisatta dijelaskan secara lengkap. Makhluk Agung ini (Mahasatta) akan mengembangkan sepuluh kesempurnaan (parami) yang lebih lama dan pada tingkat yang lebih tinggi daripada jenis-jenis Bodhisatta lainnya. Seorang yang ingin mencapai pencerahan sebagai seorang siswa biasa dari seorang Buddha yang mengajar harus melakukan sepuluh kesempurnaan selama sepuluh hingga seratus ribu kappa. [16] Para siswa besar harus mempersiapkan selama seratus ribu kappa. Siswa utama harus bekerja selama satu assankhyeyya dan seratus ribu kappa. Untuk menjadi seorang Pacceka Buddha memerlukan dua assankhyeyya kappa. Tetapi seseorang yang ingin menjadi seorang Buddha yang mengajar mengembangkan kesempurnaan pada tiga tingkat, menjadikan tiga puluh secara keseluruhan. [17] ketiga tingkat kesempurnaan ini bermakna mengorbankan kepemilikan eksternal pada tingkat biasa, mengorbankan organ-organ tubuh pada tingkat menengah, dan mengorbankan kehidupannya pada tingkat yang tertinggi. [18]
Beberapa interpretasi lain tentang ketiga tingkat ini dijelaskan, [19] dan beberapa dari hal ini menjadi minat para meditator masa kini. Ketiga tingkat ini dapat dipahami sebagai bermakna: (1) bergembira di dalam jasa baik orang lain, (2) mendorong orang lain untuk mempraktikkan Ajaran, (3) berlatih sendiri. Atau, dapat juga diartikan sebagai memperoleh jasa baik dan pengetahuan pada tingkat pertama yang mengarah pada kehidupan di alam bahagia, pada tingkat ke dua mengarah menuju pencapaian Nibbana, dan pada tingkat ke tiga mengarah pada memberikan bantuan kepada orang lain untuk mencapai kedua jenis kebahagiaan ini.
Bodhisatta Agung mencapai ketiga tingkat kesempurnaan memberi (dana) dengan memberikan (1) harta, anak-anak, dan istrinya; (2) organ-organ tubuhnya; dan (3) nyawanya. Ia tidak akan melanggar moralitas (sila) sehubungan dengan ketiga ini. Ia memenuhi pelepasan keduniawian (nekkhamma) dengan melepaskan ketiga ini setelah memotong keterikatan terhadapnya. Dengan mencabut segala keinginan terhadap ketiga ini, ia mampu membedakan antara apa yang bermanfaat atau membahayakan bagi makhluk-makhluk – dengan demikian menyempurnakan kebijaksanaan (panna). Ketiga tingkat kegigihan (viriya) dicapai dengan berusaha melepaskan ketiga ini. Melalui kesabaran (khanti) ia menahankan rintangan-rintangan pada harta, organ-organ tubuh, dan nyawanya. Ia tidak akan melepaskan kejujuran (sacca) sehubungan dengan ketiga ini. Tekadnya (adhitthana) tidak tergoyahkan bahkan jika ketiga ini dihancurkan. Ia mempertahankan cinta kasih (metta) terhadap makhluk lain bahkan jika mereka menghancurkan ketiga ini. Ia menyempurnakan keseimbangan (upekkha) dengan tetap netral apakah makhluk-makhluk lain membantu atau membahayakan salah satu dari ketiga ini. [20]
Bodhisatta Agung ada tiga jenis: [21] (1) mereka yang kebijaksanaannya (panna) menonjol, (2) mereka yang keyakinannya (saddha) menonjol, dan (3) mereka yang kegigihannya (viriya) menonjol. Untuk jenis pertama, persiapan yang dibutuhkan addalah selama empat assankhyeyya dan seratus ribu kappa. Jenis ke dua bekerja selama delapan assankhyeyya dan seratus ribu kappa. Bodhisatta Metteya adalah jenis ke tiga, mereka yang bekerja selama enam belas assankhyeyya dan seratus ribu kappa. [22]
Ketiga jenis ini juga dijelaskan sebagai berhubungan dengan tingkat kualitas kegigihan yang dikerahkan, atau sekali lagi, ditentukan oleh tingkat dalam menegmbangkan factor-faktor batin yang membawa menuju matangnya pencerahan (vimuttiparipacaniya dhamma).
Ketiga jenis Bodhisatta Agung ini ditentukan oleh seberapa banyak mereka mengembangkan kesempurnaan ketika mereka bercita-cita untuk menjadi Buddha yang mengajar. Pada saat mereka bercita-cita untuk menjadi Buddha yang mengajar, meraka telah siap untuk mencapai Nibbana akhir, Kearahatan. [23] Mereka akan berada pada titik di mana mereka dapat menjadi Arahat (1) melalui ajaran singkat kurang dari tiga baris (ugghatitannu), (2) melalui ajaran lengkap kurang dari empat baris (vipancitannu), atau (3) melalui latihan selanjutnya setelah mendengarkan empat baris (neyya). Menurut komentar Anagatavamsa, [24] mereka yang kebijaksanaannya menonjol, seperti Bodhisatta yang kelak menjadi Buddha Gotama, akan dapat memahami ajaran singkat kurang dari tiga baris. Mereka yang keyakinannya menonjol akan memahami ajaran yang kurang dari empat baris. Meraka yang kegigihannya menonjol, seperti pada Bodhisatta Metteya, akan memahami setelah mendengarkan empat baris. Hal ini menyiratkan bahwa Calon Buddha Gotama adalah lebih maju daripada Calon Buddha Metteya ketika ia bertekad untuk menjadi seorang Buddha. Tetapi perbedaannya mungkin berhubungan dengan fakta bahwa seorang Bodhisatta yang kegigihannya menonjol mengembangkan kesempurnaan empat kali lebih lama daripada seorang Bodhisatta yang kebijaksanaannya menonjol.
Ada banyak kondisi yang berhubungan dengan tekad untuk menjadi seorang Buddha yang mengajar. [25] Aspirasinya (abhinihara) adalah: “Setelah menyeberang, aku akan membantu (orang lain) menyeberang, setelah terbebas Aku akan membantu (orang lain) untuk terbebas, setelah menjadi jinak aku akan membantu (orang lain) untuk menjadi jinak, setelah tenang Aku akan membantu (orang lain) untuk menjadi tenang, setelah merasa nyaman aku akan membantu (orang lain) untuk menjadi nyaman, setelah sepenuhnya padam aku akan membantu (orang lain) agar sepenuhnya padam, setelah tercerahkan aku akan membantu (orang lain) untuk mencapai pencerahan, setelah menjadi murni aku akan membantu (orang lain) untuk menjadi murni.”
Ada delapan syarat bagi seseorang yang akan menjadi Bodhisatta Agung: [26]
1. Ia harus manusia (manusatta), karena ini adalah alam di mana para Buddha muncul. Ini adalah alam di mana makhluk-makhluk dapat memiliki ketiga akar yang menyebabkan terbebas dari keserakahan, kebencian, dan kebodohan.
2. Ia harus laki-laki (lingasampatti), Karena hanya laki-laki yang dapat menjadi seorang Buddha.
3. Ia harus memiliki kondisi-kondisi yang diperlukan yang mendukung Kebuddhaan, dengan kata lain, penyebab (hetu), yang berarti bahwa ketika ia bercita-cita ia telah siap untuk mencapai Kearahatan.
4. Ia harus bertemu dengan Sang Guru (sattharadassana), karena cita-citanya hanya dapat berhasil jika dilakukan di hadapan seorang Buddha hidup. Hanya seorang Buddha yang mengajar yang dapat melihat kemampuan dari seseorang yang bercita-cita dan apa yang akan terjadi di masa depan.
5. Ia harus telah meninggalkan keduniawian (pabbajja) apakah sebagai seorang bhikkhu atau sebagai seorang petapa yang meyakini doktrin perbuatan kehendak dan efektifitas perbuatan moral.
6. Ia harus memiliki kualitas-kualitas mulia (gunasampatti) yang muncul dengan pengembangan pengendalian yang tinggi atas pikiran. Hanya dengan demikian maka ia mampu menyelidiki kesepuluh kesempurnaan yang harus ia kembangkan.
7. Ia harus memiliki persembahan besar (adhikara). Ia akan begitu berbakti sehingga ia rela mengorbankan nyawanya demi seorang Buddha.
8. Dan ia harus memiliki keinginan kuat (chandata), keinginan luhur, jika ia ingin mengembangkan faktor-faktor batin yang diperlukan untuk mencapai Kebuddhaan.
Aspirasi ini memiliki salah satu dari empat kondisi (paccaya): orang itu terinspirasi karena (1) ia melihat seorang Buddha yang mengajar, atau (2) ia mendengarkan kekuatan agung dari seorang Buddha yang mengajar, atau (3) ia mendengarkan Ajaran dari seorang Buddha yang mengajar, atau (4) ia adalah seorang yang bertemperamen luhur dan berwatak mulia. Bodhisatta Metteya termasuk dalam kondisi ke dua, seperti yang akan kita lihat.
Aspirasi ini memiliki empat penyebab (hetu):
1. Bodhisatta Agung telah memenuhi tugas-tugasnya di bawah Para Buddha sebelumnya dan memiliki kondisi-kondisi pendukung (upanissaya) untuk memenuhi tugas-tugasnya. Kondisi-kondisi pendukung ini menciptakan perbedaan nyata antara Bodhisatta Agung dan para makhluk yang berkeinginan untuk mencapai pencerahan sebagai siswa atau para Pacceka Buddha. Para Bodhisatta Agung memiliki kemampuan-kemampuan yang nyata dan pengetahuan yang nyata, sementara makhluk lain tidak demikian. Ia berlatih demi kesejahteraan dan kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasihan pada dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para deva dan manusia. Makhluk lain berlatih terutama demi kesejahteraan diri sendiri. Ia menerapkan keterampilannya pada praktik melalui kemampuannya menciptakan kesempatan untuk memberikan manfaat kepada makhluk-makhluk lain dan melalui keterampilannya dalam membedakan apa yang mungkin dan apa yang tidak.
2. Ia berbelas kasih secara alami, siap memberikan tubuh dan nyawanya untuk meringankan penderitaan makhluk lain.
3. Ia sudi berusaha dan berjuang dalam waktu yang lama, terlepas dari kesulitan-kesulitan besar yang akan ia hadapi.
4. Ia mengandalkan teman-teman baik yang mencegahnya dari kejahatan dan mendukungnya dalam apa yang baik.
Akhirnya, aspirasi ini berdasarkan pada empat kekuatan (Bala): (1) kekuatan internal (ajjhattika-bala), (2) kekuatan eksternal (bahira-bala), (3) kekuatan kondisi-kondisi pendukung (upanissaya-bala), dan (4) kekuatan usaha (payoga-bala). Kekuatan internal adalah keinginan atau kecenderungan yang tidak menyimpang pada pencerahan tertinggi berdasarkan pada idealisme pribadi dan penghormatan pada Dhamma. Kekuatan eksternal adalah keinginan yang sama ini yang berdasarkan pada perhatian terhadap makhluk lain. Melalui pengembangan kondisi-kondisi pendukung, ia memiliki kekuatan keinginan ini. Dan kekuatan usaha berarti bahwa ia memiliki usaha yang tepat untuk mencapai pencerahan tertinggi. Usaha-usahanya akan menyeluruh dan ia akan tekun dalam pekerjaannya.
Bodhisatta Agung telah dikonfirmasi dalam aspirasinya oleh banyak Buddha. Sebuah teks Pali dari Thailand dari abad ke enam belas [27] mengatakan bahwa Bodhisatta Metteya menerima ramalannya mencapai Kebuddhaan di masa depan dari Buddha Mahutta. Ini diduga adalah ramalan pertama baginya. Teks ini juga memberikan penjelasan atas masa di mana Bodhisatta yang kelak menjadi Buddha Gotama melakukan tekad pikiran untuk menjadi seorang Buddha yang mengajar. Hal ini ditunjukkan sebagai persiapannya pada kehidupan di mana ia menerima ramalan pastinya yang pertama. Bodhisatta Metteya disebutkan sebagai bertemu dengannya dalam dua di antara kehidupan-kehidupan ini: sebagai siswa utamanya ketika ia menjadi seorang guru religius [28] dan sebagai brahmana kerajaan (bernama Sirigutta) ketika ia menjadi Raja Atideva. [29]
Kisah dari salah satu peristiwa ketika Bodhisatta metteya beriita-cita dan ketika kesempurnaan yang tertinggi darinya digambarkan terdapat dalam Teks Pali yang dituliskan setelah penyusunan Kanon. [30] Kisah cita-cita Bodhisatta Metteya diceritakan kepada siswa utama Yang Mulia Sariputta ketika ia sedang berdiam di dekat Savatthi di Pubbarama, vihara yang dipersembahkan oleh seorang umat awam perempuan bernama Visakha.
Dulu sekali, Bodhisatta Metteya adalah seorang Raja Pemutar Roda bernama Sankha di kota Indapatta di negeri Kuru. Kota besar ini menyerupai kota para Deva. Para Raja Pemutar Roda memerintah seluruh dunia dan memiliki tujuh pusaka: sebuah roda agung, seekor gajah, kuda, permata, istri, perumah tangga, dan penasihat. Sankha menetap di sebuah istana bertingkat tujuh yang terbuat dari tujuh jenis permata. Istana ini muncul dari tanah berkat kekuatan jasanya. Sankha memimpin orang-orang lain untuk mengikuti Sang Jalan yang menuju kelahiran kembali di alam kehidupan yang lebih tinggi, dan ia memberikan keadilan yang tidak memihak.
Setelah Sankha menjadi seorang Raja Pemutar Roda, muncullah Sang Buddha Sirimata. Ada suatu pengumuman kemunculan Buddha seribu tahun sebelum kelahiran seorang Bodhisatta dalam kehidupan terakhirnya, [31] para Brahma dari Alam Murni (Suddhavasa) berkeliling dunia manusia dan mengumumkan: “Seribu tahun sejak sekarang, seorang Buddha akan muncul di dunia ini.” Raja Sankha pasti telah mendengar pengumuman ini, karena suatu hari, ketika ia duduk di singgasana emasnya di bawah payung putih, ia berkata, “Dulu ada pengumuman bahwa seorang Buddha akan dilahirkan. Aku akan menyerahkan istana Raja Pemutar Roda ini kepada siapa pun yang mengetahui tentang Tiga Permata, kepada siapa pun yang menunjukkan kepadaku permata Buddha, Dhamma, dan Sangha, serta pengajaranNya. Aku akan pergi menemui Buddha Yang Tertinggi.”
Pada waktu itu Buddha Sirimata sedang menetap hanya enam belas liga dari ibu kota Sankha. Di antara para samanera dalam Sangha, terdapat seorang anak yang berasal dari keluarga miskin. Ibunya adalah seorang budak, maka si samanera pergi ke kota untuk mencari uang untuk membebaskan ibunya. Ketika orang-orang melihatnya, mereka menganggap bahwa ia adalah Yakkha, atau raksasa, jadi mereka melemparnya dengan tongkat kayu. Karena ketakutan, ia mendatangi istana dan berdiri di hadapan sang raja. “Siapakah engkau, anak muda?” Raja bertanya. “Aku disebut samanera, O Baginda,” samanera itu menjawab.
“Mengapa engkau menyebut dirimu samanera?”
“Karena, O Baginda, aku tidak melakukan kejahatan, aku memiliki perilaku bermoral, dan demikianlah aku menjalani kehidupan suci. Oleh karena itu aku disebut sebagai samanera.”
“Siapakah yang memberikan nama itu kepadamu?”
“Guruku, O Baginda.”
“Disebut apakah gurumu itu, anak muda?”
“Guruku disebut seorang bhikkhu, O Baginda.”
“Siapakah yang memberikan nama ‘bhikkhu’ kepada gurumu, anak muda?”
“O Baginda, nama guruku diberikan oleh permata tak ternilai Sangha.”
Dengan penuh kegembiraan, Raja Sankha bangkit dari singgasananya dan bersujud di kaki si samanera. Dan ia bertanya, “Siapakah yang memberikan nama pada Sangha?” “O Baginda, Buddha Sirimata mulia yang tertinggi yang memberikan nama kepada Sangha.”
Mendengar kata “Buddha,” yang sangat sulit didengar dalam kurun waktu ratusan ribu kappa, Raja Sankha pingsan karena gembira. Ketika ia tersadar kembali, ia bertanya, “Yang Mulia, di manakah Buddha Sirimata mulia yang tertinggi menetap saat ini?”
Dan si samanera memberitahukan kepadanya bahwa Sang Buddha sedang menetap di sebuah vihara bernaam Pubbarama, enam belas liga jauhnya. Raja Sankha menyerahkan kekuasaan Raja Pemutar Roda kepada si samanera. Ia melepaskan kerajaannya dan sejumlah besar sanak saudaranya. Penuh kegembiraan dengan pikiran akan bertemu dengan Sang Buddha, ia berjalan kea rah utara menuju Pubbarama. Pada hari pertama, telapak kakinya yang sangat halus pecah karena terbiasa dalam kemewahan. Pada hari ke dua, kakinya mulai berdarah. Ia tidak mampu berjalan pada hari ke tiga, jadi ia melanjutkan dengan merangkak. Pada hari ke empat, tangan dan kakinya berdarah, jadi ia bertekad untuk melanjutkan perjalanan dengan merayap. Kegembiraan yang muncul dari kemungkinan bertemu dengan Sang Buddha mampu membuatnya mengatasi penderitaan dan kesakitan hebat itu.
Buddha Sirimata memeriksa dunia ini dengan pengetahuan kemahatahuannya dan melihat kekuatan usaha (viriya-bala) dari Sang Raja, Sang Buddha berpikir, “Raja Pemutar Roda Sankha ini pasti adalah benih, sebuah tunas Buddha (Buddankura-bijo). Ia mengalami kesakitan hebat demi Aku. Sungguh, Aku harus menemuinya.” Dengan kekuatan batinNya, Sang Buddha menyembunyikan kemegahannya dan menyamar sebagai seorang pemuda yang mengendarai kereta. Beliau mendatangi Sankha dan menghalangi jalannya untuk menguji kekuatan usahanya.
“Engkau yang di sana!” Buddha Sirimata berkata kepada Raja Sankha, “kembalilah dengan merayap! Aku akan melewati jalan ini dengan keretaku.” Tetapi Raja Sankha menolak, dan berkata bahwa ia sedang dalam perjalanannya menemui Sang Buddha. Sang Buddha yang sedang menyamar itu mengundang raja untuk menaiki keretanya, dan berkata bahwa ia juga menuju ke sana. Dalam perjalanan itu, seorang gadis deva bernama Sujata turun dari alam surga Tavatimsa, dan menyamar sebagai seorang gadis, ia mempersembahkan makanan. Sang Buddha memberikannya kepada Sankha. Kemudian Sakka, menyamar menjadi seorang pemuda, turun dari alam surga Tavatimsa dan memberikan air. Sebagai akibat dari makanan dan minuman surgawi ini, semua luka Raja Sankha lenyap.
Ketika mereka tiba di Pubbarama, Sang Buddha duduk di atas tempat duduknya di dalam vihara, kembali pada wujud aslinya dengan cahaya enam warna yang bersinar. Ketika sang raja masuk dan melihat Sang Buddha, sekali lagi ia pingsan. Tidak lama kemudian, ia sadar kembali, mendatangi Sang Buddha, dan memberi hormat.
“Yang Mulia,” ia memohon, “penjaga dunia, pelindung dunia, ajarkanlah kepadaku (inti) ajaran yang dapat menenangkanku ketika aku mendengarnya.” “Baiklah,” Sang Buddha berkata, “dengarkanlah.” Sang Buddha menjelaskan Doktrin Nibbana dan mengajarkan kepada sang raja khotbah yang berhubungan dengan Nibbana. Hal ini membangkitkan penghormatan pada Ajaran dalam diri raja, tetapi setelah mendengarkan hanya sedikit dari khotbah itu, ia memohon kepada Sang Buddha, “Mohon hentikan, Sang Bhagava. Jangan mengajarkan aku lagi.” Ia mengatakan hal ini karena ia berpikir bahwa ia tidak memiliki pemberian yang layak bagi apa yang diajarkan oleh Sang Buddha jika ia mendengarkan lebih banyak lagi.
“Sesungguhnya, Yang Mulia,” raja berkata, “dari semua doktrin yang diajarkan, Sang Bhagava telah menunjukkan Nibbana, yang merupakan ajaran tertinggi. Jadi, dari semua bagian tubuhku ini, aku akan memberi hormat pada ajaranMu ini dengan kepalaku.” Ia mulai memotong lehernya dengan kukunya dan berkata, “Yang Mulia Buddha Sirimata, Engkau pergi [32] ke Nibbana terlebih dulu; dengan pemberian kepalaku ini, aku akan pergi ke Nibbana kelak. Setelah mengatakan beberapa kata ini, Aku bersujud kepada doktrin Nibbana. Sekarang, semoga ini menjadi alat untuk (mencapai) Kemahatahuan.” Dan setelah mengatakan ini, ia selesai memotong kepalanya dengan kukunya.
Karakteristik yang menonjol dari Raja Sankha adalah kegigihannya yang besar (viriya). Hal ini ditunjukkan dengan cara bagaimana ia mengatasi kesulitan dalam usahanya menemui Buddha Sirimata. Usahanya begitu besar, Sang Buddha menaydari bahwa ia adalah seorang Bodhisatta besar. Kesempurnaan lainnya juga digambarkan dalam kisah ini. Ia melepaskan posisinya sebagai Raja Pemutar Roda. Bahkan sebelum mendengarkan ajaran Sang Buddha, ia telah menjadi teladan dalam menjalani kehidupan bermoral yang mengarah menuju kelahiran kembali yang lebih tinggi. Sebagai seorang raja, ia menunjukkan kebijaksanaan, kesabaran, kejujuran, cinta kasih, dan keseimbangan. Begitu ia mendengar dari Sang Buddha, ia meninggalkan kerajaan dan keluarganya, melepaskan posisi tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia. Dan tekad kuat yang bekerja bersama-sama dengan kegigihannya.
Perbuatan terakhir dari Raja Sankha adalah memberikan kepalanya kepada Sang Buddha. Hal ini sepertinya aneh, tetapi dijelaskan dalam Teks dengan fakta bahwa Sang Buddha telah mengajarkan kepadanya suatu aspek Ajaran tentang Nibbana, tujuan tertinggi. Raja Sankha tidak memiliki pemberian lain yang layak untuk Nibbana, maka ia bertekad untuk mempersembahkan kepalanya. Dalam Komentar Pali, [33] dikatakan bahwa hanya dengan memberikan organ tubuh atau nyawa mereka akan membuat para Bodhisatta besar menjadi mulia ketika mereka memberi. Kegembiraan yang muncul ketika mereka memberikan pemberian demikian dan mereka tidak mengalami pertentangan batin. Jadi kita dapat melihat bahwa pemberian demikian adalah di luar jangkauan orang-orang biasa, dan kita tidak perlu merasa bahwa kita harus melakukan pengorbanan demikian.
Pada masa Buddha Gotama, Bodhisatta Agung yang akan menjadi Buddha berikutnya adalah seorang bhikkhu bernama Ajita. [34] Menurut komentar Anagatavamsa, Ajita adalah putera Raja Ajatasattu dan Ratu Kancanadevi. [35] Pangeran Ajita memiliki lima ratus orang pelayan, dan ketika ia berusia enam belas tahun, raja memintanya untuk mewariskan warisan Buddha. Sang Pangeran setuju, maka sang raja membawanya ke vihara Veluvana dalam kemegahan dan keagungan besar bersama dengan kelima ratus pelayannya. Pangeran Ajita ditahbiskan menjadi seorang samanera, dank arena ketenangan, dan kebijaksanaannya ia sangat dihormati. Kelak ia ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu. Sang Buddha membawanya ketika ia pergi dari Rajagaha menuju Kapilavatthu untuk menetap di vihara Nigrodharama.
Ketika mereka menetap di vihara itu, Maha-Pajapati-Gotami berkunjung pada suatu hari dengan membawa dua helai kain yang dipersembahkan kepada Sang Buddha untuk digunakan sebagai jubah. Ia menanam benih kapas itu sendiri dan melakukan segala pekerjaan yang diperlukan hingga sampai pada waktu jubah itu siap. Kisah persembahan kain ini terdapat dalam Majjhima Nikaya. [26] Di sana, Sang Buddha menolak menerima jubah yang dipersembahkan oleh Maha=Pajapati-Gotami itu sebanyak tiga kali dan menyarankan agar mempersembahkannya kepada Sangha dengan Sang Buddha sebagai pemimpinnya. Yang Mulia Ananda mendekati Sang Buddha, menyarankan agar Beliau menerima kain itu. Sang Buddha kemudian membabarkan khotbah tentang analisis persembahan.
Tidak ada penjelasan lain yang diberikan dalam Kanon pali atau komentar oleh Ashin Buddhaghosa. Dalam komentar Anagatavamsa, dikatakan bahwa Sang Buddha menerima satu jubah untuk diriNya sendiri dan menginstruksikan ibu tirinya agar mempersembahkan yang ke dua kepada Sangha. Tetapi tidak ada satu pun di antara delapan puluh siswa besar yang maju untuk menerima jubah itu. Akhirnya, Yang Mulia Ajita berpikir bahwa Sang Buddha telah memberitahukan kepada ibu tirinya untuk memberikan jubah kepada Sangha demi manfaat baginya, maka ia dengan berani bangkit bagaikan seekor raja singa di tengah-tengah Sangha dan menerima jubah itu. Terdapat kekecewaan dan banyak pembicaraan tentang bagaimana seorang bhikkhu yang tidak terkenal dapat menerima jubah sementara tidak ada satu pun dari para siswa besar yang menerimanya. Menyadari situasi tersebut dan untuk melenyapkan keragu-raguan, Sang Buddha berkata, “Jangan katakana bahwa bhikkhu ini adalah seorang bhikkhu biasa. Ia adalah seorang Bodhisatta yang akan menjadi Buddha Metteya di masa depan.” Kemudian Sang Buddha mengambil mangkuk yang dipersembahkan kepada Beliau tidak lama setelah beliau mencapai penerangan sempurna oleh empat raja deva dan melemparkannya ke angkasa. Tidak satu pun dari delapan puluh siswa besar yang mampu mengambilnya. Yang Mulia Ajita memahami bahwa Sang Buddha bermaksud agar ia menunjukkan kekuatan batinnya, maka ia mengambil kembali mangkuk itu. Kemudian Yang Mulia Ajita mengambil kain yang telah ia terima dan memasangkannya di Kamar Harum Sang Buddha sebagai kanopi di bawah atap, bercita-cita bahwa perbuatan kedermawanan ini dapat menghasilkan baginya kanopi yang terbuat dari tujuh permata dan tirai terbuat dari emas, perak, koral, dan mutiara berukuran dua belas liga saat ia menjadi Buddha. [37] Sang Buddha tersenyum melihat hal ini dan Yang Mulia Ananda bertanya mengapa Beliau tersenyum. Sang Buddha menjawab, “Ananda, Bhikkhu Ajita ini akan menjadi Buddha Ari Metteya pada kappa yang penuh keberuntungan ini.” Kemudian Beliau berdiam diri, menikmati buah Kearahatan. Siswa Utama pertama, Yang Mulia Sariputta, yang mengetahui bahwa para bhikkhu yang berkumpul ingin mendengar lebih banyak informasi, memohon agar Sang Bulsxddha membabarkan khotbah tentang Buddha mendatang. Dan Sang Buddha membabarkan kisah ini dalam Anagatavamsa.
Ramalan sehubungan dengan Metteya terdapat dalam Kanon Pali, [38] tetapi penjelasan sehubungan dengan Buddha mendatang diberikan dalam khotbah terpisah. Dasavatthu melanjutkan dengan mengatakan bahwa sejak saat ramalan pasti, Sang Bodhisatta mengajarkan sejumlah besar bhikkhu, menjelaskan keseluruhan Kanon dan membantu mereka meningkatkan pandangan terang dan mencapai pengetahuan penyesuaian kesabaran. Di akhir kehidupan itu, ia terlahir kembali di alam Deva. Tetapi terdapat rujukan pada paling sedikit satu kehidupan di alam manusia lainnya karena ia harus menjalani kehidupan di mana ia bermurah hati seperti halnya Bodhisatta Vessantara. [39] Setelah kehidupan itu, ia akan terlahir kembali di alam Deva Tusita, di mana semua Bodhisatta Agung berdiam sebelum kelahiran terakhir mereka. Menurut Culavamsa, Sang Bodhisatta akan menjalani kehidupan lainnya sebagai manusia. [40]
Dulu sekali, Bodhisatta Metteya adalah seorang Raja Pemutar Roda bernama Sankha di kota Indapatta di negeri Kuru. Kota besar ini menyerupai kota para Deva. Para Raja Pemutar Roda memerintah seluruh dunia dan memiliki tujuh pusaka: sebuah roda agung, seekor gajah, kuda, permata, istri, perumah tangga, dan penasihat. Sankha menetap di sebuah istana bertingkat tujuh yang terbuat dari tujuh jenis permata. Istana ini muncul dari tanah berkat kekuatan jasanya. Sankha memimpin orang-orang lain untuk mengikuti Sang Jalan yang menuju kelahiran kembali di alam kehidupan yang lebih tinggi, dan ia memberikan keadilan yang tidak memihak.
Setelah Sankha menjadi seorang Raja Pemutar Roda, muncullah Sang Buddha Sirimata. Ada suatu pengumuman kemunculan Buddha seribu tahun sebelum kelahiran seorang Bodhisatta dalam kehidupan terakhirnya, [31] para Brahma dari Alam Murni (Suddhavasa) berkeliling dunia manusia dan mengumumkan: “Seribu tahun sejak sekarang, seorang Buddha akan muncul di dunia ini.” Raja Sankha pasti telah mendengar pengumuman ini, karena suatu hari, ketika ia duduk di singgasana emasnya di bawah payung putih, ia berkata, “Dulu ada pengumuman bahwa seorang Buddha akan dilahirkan. Aku akan menyerahkan istana Raja Pemutar Roda ini kepada siapa pun yang mengetahui tentang Tiga Permata, kepada siapa pun yang menunjukkan kepadaku permata Buddha, Dhamma, dan Sangha, serta pengajaranNya. Aku akan pergi menemui Buddha Yang Tertinggi.”
Pada waktu itu Buddha Sirimata sedang menetap hanya enam belas liga dari ibu kota Sankha. Di antara para samanera dalam Sangha, terdapat seorang anak yang berasal dari keluarga miskin. Ibunya adalah seorang budak, maka si samanera pergi ke kota untuk mencari uang untuk membebaskan ibunya. Ketika orang-orang melihatnya, mereka menganggap bahwa ia adalah Yakkha, atau raksasa, jadi mereka melemparnya dengan tongkat kayu. Karena ketakutan, ia mendatangi istana dan berdiri di hadapan sang raja. “Siapakah engkau, anak muda?” Raja bertanya. “Aku disebut samanera, O Baginda,” samanera itu menjawab.
“Mengapa engkau menyebut dirimu samanera?”
“Karena, O Baginda, aku tidak melakukan kejahatan, aku memiliki perilaku bermoral, dan demikianlah aku menjalani kehidupan suci. Oleh karena itu aku disebut sebagai samanera.”
“Siapakah yang memberikan nama itu kepadamu?”
“Guruku, O Baginda.”
“Disebut apakah gurumu itu, anak muda?”
“Guruku disebut seorang bhikkhu, O Baginda.”
“Siapakah yang memberikan nama ‘bhikkhu’ kepada gurumu, anak muda?”
“O Baginda, nama guruku diberikan oleh permata tak ternilai Sangha.”
Dengan penuh kegembiraan, Raja Sankha bangkit dari singgasananya dan bersujud di kaki si samanera. Dan ia bertanya, “Siapakah yang memberikan nama pada Sangha?” “O Baginda, Buddha Sirimata mulia yang tertinggi yang memberikan nama kepada Sangha.”
Mendengar kata “Buddha,” yang sangat sulit didengar dalam kurun waktu ratusan ribu kappa, Raja Sankha pingsan karena gembira. Ketika ia tersadar kembali, ia bertanya, “Yang Mulia, di manakah Buddha Sirimata mulia yang tertinggi menetap saat ini?”
Dan si samanera memberitahukan kepadanya bahwa Sang Buddha sedang menetap di sebuah vihara bernaam Pubbarama, enam belas liga jauhnya. Raja Sankha menyerahkan kekuasaan Raja Pemutar Roda kepada si samanera. Ia melepaskan kerajaannya dan sejumlah besar sanak saudaranya. Penuh kegembiraan dengan pikiran akan bertemu dengan Sang Buddha, ia berjalan kea rah utara menuju Pubbarama. Pada hari pertama, telapak kakinya yang sangat halus pecah karena terbiasa dalam kemewahan. Pada hari ke dua, kakinya mulai berdarah. Ia tidak mampu berjalan pada hari ke tiga, jadi ia melanjutkan dengan merangkak. Pada hari ke empat, tangan dan kakinya berdarah, jadi ia bertekad untuk melanjutkan perjalanan dengan merayap. Kegembiraan yang muncul dari kemungkinan bertemu dengan Sang Buddha mampu membuatnya mengatasi penderitaan dan kesakitan hebat itu.
Buddha Sirimata memeriksa dunia ini dengan pengetahuan kemahatahuannya dan melihat kekuatan usaha (viriya-bala) dari Sang Raja, Sang Buddha berpikir, “Raja Pemutar Roda Sankha ini pasti adalah benih, sebuah tunas Buddha (Buddankura-bijo). Ia mengalami kesakitan hebat demi Aku. Sungguh, Aku harus menemuinya.” Dengan kekuatan batinNya, Sang Buddha menyembunyikan kemegahannya dan menyamar sebagai seorang pemuda yang mengendarai kereta. Beliau mendatangi Sankha dan menghalangi jalannya untuk menguji kekuatan usahanya.
“Engkau yang di sana!” Buddha Sirimata berkata kepada Raja Sankha, “kembalilah dengan merayap! Aku akan melewati jalan ini dengan keretaku.” Tetapi Raja Sankha menolak, dan berkata bahwa ia sedang dalam perjalanannya menemui Sang Buddha. Sang Buddha yang sedang menyamar itu mengundang raja untuk menaiki keretanya, dan berkata bahwa ia juga menuju ke sana. Dalam perjalanan itu, seorang gadis deva bernama Sujata turun dari alam surga Tavatimsa, dan menyamar sebagai seorang gadis, ia mempersembahkan makanan. Sang Buddha memberikannya kepada Sankha. Kemudian Sakka, menyamar menjadi seorang pemuda, turun dari alam surga Tavatimsa dan memberikan air. Sebagai akibat dari makanan dan minuman surgawi ini, semua luka Raja Sankha lenyap.
Ketika mereka tiba di Pubbarama, Sang Buddha duduk di atas tempat duduknya di dalam vihara, kembali pada wujud aslinya dengan cahaya enam warna yang bersinar. Ketika sang raja masuk dan melihat Sang Buddha, sekali lagi ia pingsan. Tidak lama kemudian, ia sadar kembali, mendatangi Sang Buddha, dan memberi hormat.
“Yang Mulia,” ia memohon, “penjaga dunia, pelindung dunia, ajarkanlah kepadaku (inti) ajaran yang dapat menenangkanku ketika aku mendengarnya.” “Baiklah,” Sang Buddha berkata, “dengarkanlah.” Sang Buddha menjelaskan Doktrin Nibbana dan mengajarkan kepada sang raja khotbah yang berhubungan dengan Nibbana. Hal ini membangkitkan penghormatan pada Ajaran dalam diri raja, tetapi setelah mendengarkan hanya sedikit dari khotbah itu, ia memohon kepada Sang Buddha, “Mohon hentikan, Sang Bhagava. Jangan mengajarkan aku lagi.” Ia mengatakan hal ini karena ia berpikir bahwa ia tidak memiliki pemberian yang layak bagi apa yang diajarkan oleh Sang Buddha jika ia mendengarkan lebih banyak lagi.
“Sesungguhnya, Yang Mulia,” raja berkata, “dari semua doktrin yang diajarkan, Sang Bhagava telah menunjukkan Nibbana, yang merupakan ajaran tertinggi. Jadi, dari semua bagian tubuhku ini, aku akan memberi hormat pada ajaranMu ini dengan kepalaku.” Ia mulai memotong lehernya dengan kukunya dan berkata, “Yang Mulia Buddha Sirimata, Engkau pergi [32] ke Nibbana terlebih dulu; dengan pemberian kepalaku ini, aku akan pergi ke Nibbana kelak. Setelah mengatakan beberapa kata ini, Aku bersujud kepada doktrin Nibbana. Sekarang, semoga ini menjadi alat untuk (mencapai) Kemahatahuan.” Dan setelah mengatakan ini, ia selesai memotong kepalanya dengan kukunya.
Karakteristik yang menonjol dari Raja Sankha adalah kegigihannya yang besar (viriya). Hal ini ditunjukkan dengan cara bagaimana ia mengatasi kesulitan dalam usahanya menemui Buddha Sirimata. Usahanya begitu besar, Sang Buddha menaydari bahwa ia adalah seorang Bodhisatta besar. Kesempurnaan lainnya juga digambarkan dalam kisah ini. Ia melepaskan posisinya sebagai Raja Pemutar Roda. Bahkan sebelum mendengarkan ajaran Sang Buddha, ia telah menjadi teladan dalam menjalani kehidupan bermoral yang mengarah menuju kelahiran kembali yang lebih tinggi. Sebagai seorang raja, ia menunjukkan kebijaksanaan, kesabaran, kejujuran, cinta kasih, dan keseimbangan. Begitu ia mendengar dari Sang Buddha, ia meninggalkan kerajaan dan keluarganya, melepaskan posisi tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia. Dan tekad kuat yang bekerja bersama-sama dengan kegigihannya.
Perbuatan terakhir dari Raja Sankha adalah memberikan kepalanya kepada Sang Buddha. Hal ini sepertinya aneh, tetapi dijelaskan dalam Teks dengan fakta bahwa Sang Buddha telah mengajarkan kepadanya suatu aspek Ajaran tentang Nibbana, tujuan tertinggi. Raja Sankha tidak memiliki pemberian lain yang layak untuk Nibbana, maka ia bertekad untuk mempersembahkan kepalanya. Dalam Komentar Pali, [33] dikatakan bahwa hanya dengan memberikan organ tubuh atau nyawa mereka akan membuat para Bodhisatta besar menjadi mulia ketika mereka memberi. Kegembiraan yang muncul ketika mereka memberikan pemberian demikian dan mereka tidak mengalami pertentangan batin. Jadi kita dapat melihat bahwa pemberian demikian adalah di luar jangkauan orang-orang biasa, dan kita tidak perlu merasa bahwa kita harus melakukan pengorbanan demikian.
Pada masa Buddha Gotama, Bodhisatta Agung yang akan menjadi Buddha berikutnya adalah seorang bhikkhu bernama Ajita. [34] Menurut komentar Anagatavamsa, Ajita adalah putera Raja Ajatasattu dan Ratu Kancanadevi. [35] Pangeran Ajita memiliki lima ratus orang pelayan, dan ketika ia berusia enam belas tahun, raja memintanya untuk mewariskan warisan Buddha. Sang Pangeran setuju, maka sang raja membawanya ke vihara Veluvana dalam kemegahan dan keagungan besar bersama dengan kelima ratus pelayannya. Pangeran Ajita ditahbiskan menjadi seorang samanera, dank arena ketenangan, dan kebijaksanaannya ia sangat dihormati. Kelak ia ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu. Sang Buddha membawanya ketika ia pergi dari Rajagaha menuju Kapilavatthu untuk menetap di vihara Nigrodharama.
Ketika mereka menetap di vihara itu, Maha-Pajapati-Gotami berkunjung pada suatu hari dengan membawa dua helai kain yang dipersembahkan kepada Sang Buddha untuk digunakan sebagai jubah. Ia menanam benih kapas itu sendiri dan melakukan segala pekerjaan yang diperlukan hingga sampai pada waktu jubah itu siap. Kisah persembahan kain ini terdapat dalam Majjhima Nikaya. [26] Di sana, Sang Buddha menolak menerima jubah yang dipersembahkan oleh Maha=Pajapati-Gotami itu sebanyak tiga kali dan menyarankan agar mempersembahkannya kepada Sangha dengan Sang Buddha sebagai pemimpinnya. Yang Mulia Ananda mendekati Sang Buddha, menyarankan agar Beliau menerima kain itu. Sang Buddha kemudian membabarkan khotbah tentang analisis persembahan.
Tidak ada penjelasan lain yang diberikan dalam Kanon pali atau komentar oleh Ashin Buddhaghosa. Dalam komentar Anagatavamsa, dikatakan bahwa Sang Buddha menerima satu jubah untuk diriNya sendiri dan menginstruksikan ibu tirinya agar mempersembahkan yang ke dua kepada Sangha. Tetapi tidak ada satu pun di antara delapan puluh siswa besar yang maju untuk menerima jubah itu. Akhirnya, Yang Mulia Ajita berpikir bahwa Sang Buddha telah memberitahukan kepada ibu tirinya untuk memberikan jubah kepada Sangha demi manfaat baginya, maka ia dengan berani bangkit bagaikan seekor raja singa di tengah-tengah Sangha dan menerima jubah itu. Terdapat kekecewaan dan banyak pembicaraan tentang bagaimana seorang bhikkhu yang tidak terkenal dapat menerima jubah sementara tidak ada satu pun dari para siswa besar yang menerimanya. Menyadari situasi tersebut dan untuk melenyapkan keragu-raguan, Sang Buddha berkata, “Jangan katakana bahwa bhikkhu ini adalah seorang bhikkhu biasa. Ia adalah seorang Bodhisatta yang akan menjadi Buddha Metteya di masa depan.” Kemudian Sang Buddha mengambil mangkuk yang dipersembahkan kepada Beliau tidak lama setelah beliau mencapai penerangan sempurna oleh empat raja deva dan melemparkannya ke angkasa. Tidak satu pun dari delapan puluh siswa besar yang mampu mengambilnya. Yang Mulia Ajita memahami bahwa Sang Buddha bermaksud agar ia menunjukkan kekuatan batinnya, maka ia mengambil kembali mangkuk itu. Kemudian Yang Mulia Ajita mengambil kain yang telah ia terima dan memasangkannya di Kamar Harum Sang Buddha sebagai kanopi di bawah atap, bercita-cita bahwa perbuatan kedermawanan ini dapat menghasilkan baginya kanopi yang terbuat dari tujuh permata dan tirai terbuat dari emas, perak, koral, dan mutiara berukuran dua belas liga saat ia menjadi Buddha. [37] Sang Buddha tersenyum melihat hal ini dan Yang Mulia Ananda bertanya mengapa Beliau tersenyum. Sang Buddha menjawab, “Ananda, Bhikkhu Ajita ini akan menjadi Buddha Ari Metteya pada kappa yang penuh keberuntungan ini.” Kemudian Beliau berdiam diri, menikmati buah Kearahatan. Siswa Utama pertama, Yang Mulia Sariputta, yang mengetahui bahwa para bhikkhu yang berkumpul ingin mendengar lebih banyak informasi, memohon agar Sang Bulsxddha membabarkan khotbah tentang Buddha mendatang. Dan Sang Buddha membabarkan kisah ini dalam Anagatavamsa.
Ramalan sehubungan dengan Metteya terdapat dalam Kanon Pali, [38] tetapi penjelasan sehubungan dengan Buddha mendatang diberikan dalam khotbah terpisah. Dasavatthu melanjutkan dengan mengatakan bahwa sejak saat ramalan pasti, Sang Bodhisatta mengajarkan sejumlah besar bhikkhu, menjelaskan keseluruhan Kanon dan membantu mereka meningkatkan pandangan terang dan mencapai pengetahuan penyesuaian kesabaran. Di akhir kehidupan itu, ia terlahir kembali di alam Deva. Tetapi terdapat rujukan pada paling sedikit satu kehidupan di alam manusia lainnya karena ia harus menjalani kehidupan di mana ia bermurah hati seperti halnya Bodhisatta Vessantara. [39] Setelah kehidupan itu, ia akan terlahir kembali di alam Deva Tusita, di mana semua Bodhisatta Agung berdiam sebelum kelahiran terakhir mereka. Menurut Culavamsa, Sang Bodhisatta akan menjalani kehidupan lainnya sebagai manusia. [40]
Ketika Ashin Buddhaghosa pergi dari India ke Srilanka untuk mempelajari Komentar Pali Kanon, ia diberikan dua syair untuk dikomentari sebagai ujian. Hasilnya adalah Visudhimagga (Jalan Pemurnian). Para Deva, dengan tujuan untuk meyakinkan orang-orang atas keterampilannya, menyembunyikan teks tersebut dua kali sehingga Ashin Buddhaghosa harus menyalinnya dua kali. Ketika salinan tersebut dibandingkan dengan aslinya, tidak ada perbedaan yang dapat ditemukan. Sangha kemudian menyerukan, “Tidak diragukan bahwa ia adalah Metteya!” Visuddhimagga secara khusus penting untuk mempraktikkan Ajaran Sang Buddha. Sayagyi U Ba Khin menganggap karya ini sebagai karya tunggal yang paling penting yang menjelaskan meditasi Buddhis yang sejati. Dalam Teks Pali lainnya yang bukan merupakan bagian dari Kanon, terdapat penggambaran Metteya di alam Tusita. [41] Ia dikatakan pergi ke Cetiya Culamani di alam Deva Tavatimsa untuk memberikan penghormatan kepada potongan rambut Bodhisatta Siddhattha ketika Beliau pergi meninggalkan keduniawian dan kepada relic yang dibawa ke sana oleh Raja Deva Sakka setelah wafatnya Sang Buddha Gotama. Sang Bodhisatta Metteya digambarkan sebagai dikelilingi oleh sekumpulan Deva dan Devi. Empat gadis Devi secara khusus digambarkan sebagai memiliki kulit, halo, perhiasan, dan pakaian yang indah, satu dengan cahaya bersinar, satu merah, satu gelap keemasan, dan ke empat, keemasan. Poin utama teks ini adalah bahwa makhluk-makhluk yang ingin bertemu dengan Buddha mendatang dan mencapai pencerahan di bawahnya harus berperilaku sesuai ajarannya. Para bhikkhu tidak boleh memecah-belah Sangha. Lima perbuatan jahat yang pasti mengarah menuju kelahiran kembali di alam rendah harus dihindari. Sebagai tambahan atas tidak memecah-belah, hal-hal ini termasuk tidak membunuh ayah kandung, ibu kandung, atau Arahat. Poin ke lima, tidak melukai Sang Buddha hingga berdarah, tentu saja, hal ini tidak mungkin terjadi lagi. Perbuatan lainnya yang harus dihindari adalah merusak pagoda (thupa) atau merusak pohon-pohon Bodhi. Para Bodhisatta tidak boleh dibunuh. Seseorang tidak boleh kikir atau berbohong. Dalam salah satu teks tentang penggambaran sepuluh Buddha masa depan oleh Buddha Gotama, [42] perbuatan-perbuatan positif berikut ini dikatakan harus dilakukan jika mereka yang bertemu dengan pengajaran Buddha ini ingin bertemu dengan Buddha Metteya: mereka harus memberikan pemberian (dana), menjalankan moralitas (sila), dan mengembangkan pengendalian batin – yaitu, meditasi (bhavana).
Masa kini kita yang mempraktikkan Ajaran Buddha harus berusaha untuk maju sejauh mungkin. Beberapa orang mungkin mampu menjadi Ariya di sini dan saat ini. Orang-orang yang belum mengembangkan kesempurnaan yang diperlukan untuk mencapai pencapaian demikian atau yang telah beraspirasi di hadapan Buddha sebelumnya untuk bertemu dengan Buddha Metteya memerlukan usaha maksimum agar tidak melewatkan kesempatan ini atau untuk memperoleh manfaat maksimum. Kita jangan beranggapan bahwa kita harus menunda pencerahan hingga kita bertemu dengan Buddha berikutnya. Ashin Buddhaghosa memberikan teladan Bhikkhu Maha-Sangharakkhita yang memerlukan pegingat agar tidak melewatkan kesempatannya mencapai Kearahatan, karena ia secara keliru berpikir bahwa ia harus menunggu hingga Buddha berikutnya. [43] Para meditator yang menjadi Ariya selain para Arahat pada akhirnya akan terlahir kembali di Alam Murni (Suddhavasa), dan di sana mereka akan berumur cukup panjang untuk bertemu dengan Buddha berikutnya. [44] Jadi kita harus berusaha sebaik mungkin dalam kehidupan ini.
Catatan kaki:
11. Syair-syair ini mengawali teks-teks cetakan dari Burma yang dijadikan rujukan: Dipeyin Sayadaw, Anagatavamsa (Rangoon: Icchasaya Pitaka Printing Press); Maung Ba Pe, Anagatavan kyam: (Rangoon: Tuin:ok Bha:ma:, 1907); dan tanpa nama, Anagatavan kyam (Rangoon: Kawimyakmhan, 1924). Dalam terjemahan ini, kami memasukkan dalam tanda kurung informasi yang diberikan oleh penulis dalam terjemahan kata demi kata dari Pali ke dalam Bahasa Burma. Kata-katanya sangat mirip dengan yang terdapat dalam naskah Burma yang dikutip oleh Minayeff (JPTS, 1883, p.37), dalam Dbu, (p.334), dan dalam nissaya Burma (terjemahan kata demi kata), tertanggal 1842, atas Anagatavamsa di Musium fur Indische Kunst, Berlin (Hs-Birm 3) (baca No. 88 [p.117] dalam Heinz Bechert, Daw Khin Su, Daw Tin Tin Myint, naskah Burma, bagian 1, Verzeichnis der Orientalischen Handschriften in Deutschland, Band XXIII, 1 (Wiesbaden: Franz Steiner, 1979). Dbu mencantumkan variasi berikut ini untuk nama-nama: Dighajanghi untuk Dighasoni dan Sona untuk Candani; baris-baris yang dikutip oleh Minayeff (dan tercantum dalam Dbk, p.17) menuliskan Samkacca untuk Candani; Hs-Birm 3 menuliskan Samcicca untuk Candani, seluruh tiga teks menuliskan Palileyyo untuk Palaleyo.
12. Hanya seorang Buddha yang mengajar yang memiliki kemampuan untuk melihat apakah cita-cita itu akan dapat terpenuhi. Baca naskah, p.263 di bawah judul “(4) Penglihatan Sang Guru.”
13. Baca Naskah, p.303. ini juga disebutkan dalam pendahuluan Th-a.
14. Namanya juga adalah Ari Metteya.
15. Baca pendahuluan Dbk, p.33 oleh Yang Mulia H. Saddhitissa.
16. Baca Dhamma Text oleh Sayagyi U ba Khin, pp.53f.; CSM, p.88; dan Path of Purification (Vism), XIII 16. dalam CSM, siswa biasa tidak disebutkan dan waktu yang diberikan kepada Pacceka Buddha adalah dua assankhyeyya dan seratus ribu kappa. Angka yang kami berikan adalah berdasarkan pada masa lampau sejauh apa yang dapat diingat oleh para Bodhisatta yang dijelaskan dalam Vism.
17. Baca Naskah, pp/ 312-314; CSM, 23, 89, 162. Mereka juga disebutkan pada Dh-a I 84 dan Ja I 25. Kisah-kisah Jataka yang menggambarkan kesempurnaan tertinggi dalam kasus Buddha Gotanma dipaparkan dalam CSM (pp. 89-92).
18. Baca CSM, pp.89, 162, dan Naskah, p.313.
19. Baca Naskah, pp.312f.
20. Baca Naskah, pp.313f.
21. Baca Naskah, pp.325f.
22. Hal ini disebutkan dalam Dvp, p.133.
23. CSM, p.130f. (dalam pembahasan “penyebab”).
24. Dalam bagian yang tidak diterbitkan. Hal ini disebutkan oleh Sayadaw U Vicittasarabhivamsa dalam tulisannya Mahabuddhavan (Yangon: Sasana Council, 1977), pp.6-10 (sebagai sumbernya ia mengutip: Ashin Thilawuntha [Silavamsa], Paramikan-pyo).
25. Baca Naskah, pp.267-270.
26. Baca CSM. Pp.132-134.
27. Jinakalamali (Epochs of the Conqueror).
28. Epochs, pp.5f.
29. Epochs, pp.8f.
30. Dbk (baca juga pp.391-413 dari teks berikutnya), dan Dbu.
31. Sepertinya tidak ada informasi apa pun sehubungan dengan kapan Buddha ini hidup. Ia pasti hidup sebelum masa dua puluh empat Buddha di mana Bodhisatta yang kelak menjadi Buddha Gotama mengungkapkan tekadnya.
32. Baca Illus., p.131.
33. membaca yatha seperti dalam edisi Martini (p. 395 dan berbagai bacaan p.306) untuk yava dalam edisi PTS (p.127).
34. Baca CMS, p.215.
35. Dbk, p.54.
36. Kami mendasarkan kisah berikut ini pada informasi yang terdapat dalam Anagatavamas oleh Dipeyin sayadaw. Baca juga: Dbk, p.54; Sylvain Levi, “Maitreya le consolateur,” Etudes d'orientalisme publiees par le Musee Guimet a la memoire de Raymonde Linossier (1932), Vol. II, p. 366 (informasinya berdasarkan pada Teks Pali dari Thailand, Pathamasambodhi); dan George Coedes, "Une vie indochinoise du Bouddha: la Pathamasambodhi," Melanges d'indianiste a la memoire de Louis Renou (1968), pp. 217-227. menurut Dvp, bab 31 (Pali, pp.125-127, Perancis, pp. 132-134), Ajita berasal dari sebuah keluarga kaya di Sinkassa. Teks ini mengatakan bahwa Bodhisatta Metteya telah memenuhi kesempurnaan selama enam belas assankhyeyya dan seratus ribu kappa ketika ia terlahir sebagai manusia pada masa Buddha Gotama. Keluarganya menetap di gerbang kota Sankassa (Sankhassa dalam edisi Perancis). Di sinilah Sang Buddha turun dari alam Deva Tavatimsa setelah mengajarkan Abhdihamma. Pada kesempatan ini Beliau mengajukan pertanyaan kepada Yang Mulia Sariputta yang tidak dapat dijawab oleh para siswa lainnya untuk menunjukkan bahwa sang siswa utama memahami Ajaran lebih baik daripada siswa lainnya (baca Buddhist Legends, III, 54-56). Ketika Sang Bodhisatta Agung mendengar jawaban Yang Mulia Sariputta, ia menjadi sangat gembira. Melihat penampilan Sang Buddha dan mendengarkan Beliau mengajarkan Ajaran, Ajita tertarik untuk menjadi seorang bhikkhu. (terjemahan Perancis atas bagian ini agak tidak akurat.)
37. Suttanta No. 142 (MLS, III 300-305).
38. Kisah dalam Pathamasambodhi agak berbeda (baca Sylvain Levi, “Maitreya,” p.366). dalam kisah ini, Ajita masih seorang samanera, anggota Sangha yang paling baru. Ia diberikan kedua jubah dan menggunakan yang ke dua dengan merobeknya untuk membuat karangan bunga yang menggantung di tepi kanopi. Setelah melakukan semua ini, Ajita mengucapkan tekad untuk menjadi seorang Buddha yang mengajar dan kemudian Sang Buddha Gotama memberikan ramalan pastiNya. Penjelasan sehubungan dengan jubah dan ramalan pasti ini juga terdapat dalam Dvp (Pali, p.126).
39. D, No. 26 (DB, III, 72-74; TS, pp.364-368).
40. Sayagyi U Ba Khin mengartikan bagian ini sebagai berarti bahwa kedermawanan terutama terdiri dari pemberian Dhamma (baca di atas, p. vii).
41. Baca Vol. I, 22-25 (Ch. XXXVII, syair 215-246). Bagian ini dikutip oleh Yang Mulia Nanamoli dalam pendahuluan terjemahannya, The Path of Purification (pp. xxi-xxii).
42. Sih, Bab III (Pali, pp. 8-12; Perancis, penomoran ke dua, pp.10-14).
43. Dbu, p.344.
44. Baca The Path of Purification, Bab I, 135.
45. Baca DB II, 39-41 (D, No. 14). Mereka yang mencapai tingkat pencerahan ke tiga (Yang-tidak-kembali) dapat hidup di Alam Murni (Suddhavasa) alam Brahma cukup lama untuk bertemu dengan lebih dari satu Buddha. Buddha Gotama menceritakan pertemuannya dengan para Brahma di Alam Murni yang mengatakan kepadanya peristiwa-peristiwa yang meeka ingat dari masa para Buddha sebelumnya (baca D, n.14 [DB, II 4-41, khususnya pp.39-41]).
Masa kini kita yang mempraktikkan Ajaran Buddha harus berusaha untuk maju sejauh mungkin. Beberapa orang mungkin mampu menjadi Ariya di sini dan saat ini. Orang-orang yang belum mengembangkan kesempurnaan yang diperlukan untuk mencapai pencapaian demikian atau yang telah beraspirasi di hadapan Buddha sebelumnya untuk bertemu dengan Buddha Metteya memerlukan usaha maksimum agar tidak melewatkan kesempatan ini atau untuk memperoleh manfaat maksimum. Kita jangan beranggapan bahwa kita harus menunda pencerahan hingga kita bertemu dengan Buddha berikutnya. Ashin Buddhaghosa memberikan teladan Bhikkhu Maha-Sangharakkhita yang memerlukan pegingat agar tidak melewatkan kesempatannya mencapai Kearahatan, karena ia secara keliru berpikir bahwa ia harus menunggu hingga Buddha berikutnya. [43] Para meditator yang menjadi Ariya selain para Arahat pada akhirnya akan terlahir kembali di Alam Murni (Suddhavasa), dan di sana mereka akan berumur cukup panjang untuk bertemu dengan Buddha berikutnya. [44] Jadi kita harus berusaha sebaik mungkin dalam kehidupan ini.
Catatan kaki:
11. Syair-syair ini mengawali teks-teks cetakan dari Burma yang dijadikan rujukan: Dipeyin Sayadaw, Anagatavamsa (Rangoon: Icchasaya Pitaka Printing Press); Maung Ba Pe, Anagatavan kyam: (Rangoon: Tuin:ok Bha:ma:, 1907); dan tanpa nama, Anagatavan kyam (Rangoon: Kawimyakmhan, 1924). Dalam terjemahan ini, kami memasukkan dalam tanda kurung informasi yang diberikan oleh penulis dalam terjemahan kata demi kata dari Pali ke dalam Bahasa Burma. Kata-katanya sangat mirip dengan yang terdapat dalam naskah Burma yang dikutip oleh Minayeff (JPTS, 1883, p.37), dalam Dbu, (p.334), dan dalam nissaya Burma (terjemahan kata demi kata), tertanggal 1842, atas Anagatavamsa di Musium fur Indische Kunst, Berlin (Hs-Birm 3) (baca No. 88 [p.117] dalam Heinz Bechert, Daw Khin Su, Daw Tin Tin Myint, naskah Burma, bagian 1, Verzeichnis der Orientalischen Handschriften in Deutschland, Band XXIII, 1 (Wiesbaden: Franz Steiner, 1979). Dbu mencantumkan variasi berikut ini untuk nama-nama: Dighajanghi untuk Dighasoni dan Sona untuk Candani; baris-baris yang dikutip oleh Minayeff (dan tercantum dalam Dbk, p.17) menuliskan Samkacca untuk Candani; Hs-Birm 3 menuliskan Samcicca untuk Candani, seluruh tiga teks menuliskan Palileyyo untuk Palaleyo.
12. Hanya seorang Buddha yang mengajar yang memiliki kemampuan untuk melihat apakah cita-cita itu akan dapat terpenuhi. Baca naskah, p.263 di bawah judul “(4) Penglihatan Sang Guru.”
13. Baca Naskah, p.303. ini juga disebutkan dalam pendahuluan Th-a.
14. Namanya juga adalah Ari Metteya.
15. Baca pendahuluan Dbk, p.33 oleh Yang Mulia H. Saddhitissa.
16. Baca Dhamma Text oleh Sayagyi U ba Khin, pp.53f.; CSM, p.88; dan Path of Purification (Vism), XIII 16. dalam CSM, siswa biasa tidak disebutkan dan waktu yang diberikan kepada Pacceka Buddha adalah dua assankhyeyya dan seratus ribu kappa. Angka yang kami berikan adalah berdasarkan pada masa lampau sejauh apa yang dapat diingat oleh para Bodhisatta yang dijelaskan dalam Vism.
17. Baca Naskah, pp/ 312-314; CSM, 23, 89, 162. Mereka juga disebutkan pada Dh-a I 84 dan Ja I 25. Kisah-kisah Jataka yang menggambarkan kesempurnaan tertinggi dalam kasus Buddha Gotanma dipaparkan dalam CSM (pp. 89-92).
18. Baca CSM, pp.89, 162, dan Naskah, p.313.
19. Baca Naskah, pp.312f.
20. Baca Naskah, pp.313f.
21. Baca Naskah, pp.325f.
22. Hal ini disebutkan dalam Dvp, p.133.
23. CSM, p.130f. (dalam pembahasan “penyebab”).
24. Dalam bagian yang tidak diterbitkan. Hal ini disebutkan oleh Sayadaw U Vicittasarabhivamsa dalam tulisannya Mahabuddhavan (Yangon: Sasana Council, 1977), pp.6-10 (sebagai sumbernya ia mengutip: Ashin Thilawuntha [Silavamsa], Paramikan-pyo).
25. Baca Naskah, pp.267-270.
26. Baca CSM. Pp.132-134.
27. Jinakalamali (Epochs of the Conqueror).
28. Epochs, pp.5f.
29. Epochs, pp.8f.
30. Dbk (baca juga pp.391-413 dari teks berikutnya), dan Dbu.
31. Sepertinya tidak ada informasi apa pun sehubungan dengan kapan Buddha ini hidup. Ia pasti hidup sebelum masa dua puluh empat Buddha di mana Bodhisatta yang kelak menjadi Buddha Gotama mengungkapkan tekadnya.
32. Baca Illus., p.131.
33. membaca yatha seperti dalam edisi Martini (p. 395 dan berbagai bacaan p.306) untuk yava dalam edisi PTS (p.127).
34. Baca CMS, p.215.
35. Dbk, p.54.
36. Kami mendasarkan kisah berikut ini pada informasi yang terdapat dalam Anagatavamas oleh Dipeyin sayadaw. Baca juga: Dbk, p.54; Sylvain Levi, “Maitreya le consolateur,” Etudes d'orientalisme publiees par le Musee Guimet a la memoire de Raymonde Linossier (1932), Vol. II, p. 366 (informasinya berdasarkan pada Teks Pali dari Thailand, Pathamasambodhi); dan George Coedes, "Une vie indochinoise du Bouddha: la Pathamasambodhi," Melanges d'indianiste a la memoire de Louis Renou (1968), pp. 217-227. menurut Dvp, bab 31 (Pali, pp.125-127, Perancis, pp. 132-134), Ajita berasal dari sebuah keluarga kaya di Sinkassa. Teks ini mengatakan bahwa Bodhisatta Metteya telah memenuhi kesempurnaan selama enam belas assankhyeyya dan seratus ribu kappa ketika ia terlahir sebagai manusia pada masa Buddha Gotama. Keluarganya menetap di gerbang kota Sankassa (Sankhassa dalam edisi Perancis). Di sinilah Sang Buddha turun dari alam Deva Tavatimsa setelah mengajarkan Abhdihamma. Pada kesempatan ini Beliau mengajukan pertanyaan kepada Yang Mulia Sariputta yang tidak dapat dijawab oleh para siswa lainnya untuk menunjukkan bahwa sang siswa utama memahami Ajaran lebih baik daripada siswa lainnya (baca Buddhist Legends, III, 54-56). Ketika Sang Bodhisatta Agung mendengar jawaban Yang Mulia Sariputta, ia menjadi sangat gembira. Melihat penampilan Sang Buddha dan mendengarkan Beliau mengajarkan Ajaran, Ajita tertarik untuk menjadi seorang bhikkhu. (terjemahan Perancis atas bagian ini agak tidak akurat.)
37. Suttanta No. 142 (MLS, III 300-305).
38. Kisah dalam Pathamasambodhi agak berbeda (baca Sylvain Levi, “Maitreya,” p.366). dalam kisah ini, Ajita masih seorang samanera, anggota Sangha yang paling baru. Ia diberikan kedua jubah dan menggunakan yang ke dua dengan merobeknya untuk membuat karangan bunga yang menggantung di tepi kanopi. Setelah melakukan semua ini, Ajita mengucapkan tekad untuk menjadi seorang Buddha yang mengajar dan kemudian Sang Buddha Gotama memberikan ramalan pastiNya. Penjelasan sehubungan dengan jubah dan ramalan pasti ini juga terdapat dalam Dvp (Pali, p.126).
39. D, No. 26 (DB, III, 72-74; TS, pp.364-368).
40. Sayagyi U Ba Khin mengartikan bagian ini sebagai berarti bahwa kedermawanan terutama terdiri dari pemberian Dhamma (baca di atas, p. vii).
41. Baca Vol. I, 22-25 (Ch. XXXVII, syair 215-246). Bagian ini dikutip oleh Yang Mulia Nanamoli dalam pendahuluan terjemahannya, The Path of Purification (pp. xxi-xxii).
42. Sih, Bab III (Pali, pp. 8-12; Perancis, penomoran ke dua, pp.10-14).
43. Dbu, p.344.
44. Baca The Path of Purification, Bab I, 135.
45. Baca DB II, 39-41 (D, No. 14). Mereka yang mencapai tingkat pencerahan ke tiga (Yang-tidak-kembali) dapat hidup di Alam Murni (Suddhavasa) alam Brahma cukup lama untuk bertemu dengan lebih dari satu Buddha. Buddha Gotama menceritakan pertemuannya dengan para Brahma di Alam Murni yang mengatakan kepadanya peristiwa-peristiwa yang meeka ingat dari masa para Buddha sebelumnya (baca D, n.14 [DB, II 4-41, khususnya pp.39-41]).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar