Oleh : Hendrick
Kita sering
mendengar tentang berbagai Bodhisattva yang tampil dalam wujud pria dan bahkan
ada anggapan bahwa hanya prialah yang dapat menjadi Samyaksambuddha. Lantas di manakah
posisi perempuan dalam khazanah Buddhis? Apakah mereka hanya dapat menjadi seorang
Shravaka Arhat, namun tidak sebagai Samyaksambuddha? Semua pertanyaan ini dapat
kita jawab hanya dengan meresapi makna dari tindakan welas asih dari sang bakal
Samyaksambuddha, yang dikenal dengan nama Bodhisattva Arya-Tara.
Arti nama Tara
Arti nama
“Tara” adalah “Gadis Bintang” atau “Ia Yang Menyeberangkan”. Ia adalah penuntun
semua makhluk agar dapat mencapai Pantai Seberang (Nirvana), maka dari itu
disebut sebagai
jagattarini
(juru selamat dunia). Para guru Buddhis seperti Sarvajnamitra, Dalai Lama ke-1
dan Lozang Tenpai Jetsun mengajarkan pentingnya untuk mendevosikan, menyerahkan
dan menyandarkan diri kita pada Bodhisattva Tara, yang sanggup menolong kita
dari berbagai bahaya dan menuntun kita agar mencapai Pencerahan.
“Tara”
adalah nama yang populer bagi wanita di Tibet. Guru Candragomin di India pernah
berkata:
“Jika
kepada seorang perempuan bernama Tara,seseorang membangkitkan respek dan
memberikan penghormatan, kebajikannya ini akan membawanya pada KeBuddhaan.”
Tara, Penolong Semua Makhluk
Tara dalam
tradisi Vajrayana dikenal sebagai pemegang aktivitas welas asih para Buddha
serta Ibu dari para Buddha. Bodhisattva Tara secara historis muncul dalam agama
Buddha sejak abad ke-5 M.
Tara adalah
prajna dari Buddha Amogasiddhi (salah satu Buddha Dhyani) dan memegang elemen
udara.
Berasal
dari keluarga Karma. Mampu mengubah kecemburuan dan iri hati menjadi
kebijaksanaan yang tertinggi. Dalam Adhvayavajrasamgraha, Ia disebutkan berasal
dari simbol Sansekerta ‘Tam’ yang berwarna hijau keemasan. Wujudnya bermacam,
ada
yang dua
tangan, enam ataupun delapan. Ia mampu memberikan berbagai berkah abhijna.
Banyak
keajaiban yang berkenaan dengan rupang dan lukisan Tara. Konon di Kashmir
terdapat rupang Tara yang mempu menyembuhkan lepra, rupang Tara yang lain
secara ajaib memunculkan harta yang
dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan para anggota Sangha, dan di Pharping, Nepal,
terdapat gambar Tara yang muncul dengan sendirinya dan bahkan dapat menjadi
hidup memberikan bantuan
pada
seorang pengemis sebagai biaya pernikahan untuk anak perempuannya. Banyak
sekali rupang Tara yang dengan ajaib seolah-olah “hidup” memberikan bantuan
pada para umat.
Sebagai Ibu
dari para Buddha (sarva-buddhamata), Tara juga memanifestasikan sifat welas
asih seorang ibu. Ia mengasihi semua makhluk seperti seorang ibu mengasihi
anaknya yang tunggal.
Tara juga
dikenal sebagai pembebas dari delapan ketakutan (Astamahabhaya Tara). Delapan
ketakutan tersebut adalah singa (kesombongan), gajah (delusi), api (amarah),
ular (iri hati), tenggelam dalam banjir (kemelekatan), iblis (keraguan), terikat
(keserakahan) dan perampok (pandangan salah). Taramulakalpa yang berasal dari
abad 7 M mengaitkan Tara sebagai aspek dari Avalokitesvara.
Tara dikelompokkan menjadi 21 Tara, namun secara lebih umum digambarkan ada 2 macam Tara yaitu Tara Hijau (Syamatara/Drolma) dan Tara Putih(Sitatara/Drolkar). Syamatara memiliki warna tubuh
hijau
dengan tangan kanannya membentuk mudra kemurahan hati dan tangan kirinya
memegang bunga lotus biru yang mekar dari telinga kirinya. Ia memakai mahkota
lima Buddha dan memakai semua ornamen bodhisattva, duduk di atas teratai
Lalita.
Diceritakan
bahwa karena welas asih-Nya yang sangat besar, Bodhisattva Avalokitesvara
menangis ketika melihat penderitaan di dunia. Secara ajaib air mataNya berubah
menjadi bunga teratai dan
kemudian
dari teratai tersebut muncul Tara Hijau (dari air mata kiri) dan Tara Putih
(dari air mata kanan).
Wujud Tara
Hijau di antaranya adalah Khadiravani Tara, Vasya Tara, Arya Tara, Mahattari
Tara, Varada Tara, Durgottarini Tara, Dhanada Tara, Janguli Tara dan
Parnasavari Tara. Tara Hijau berada pada Tanah Suci Buddha (buddhaksetra) yang
bernama Yulokod (Yuloku) yang terdapat banyak sekali Bodhisattva wanita. Tanah
Suci Tara ini digambarkan sebagai hutan hijau dengan pohon-pohon yang berbunga
dan
berbuah, binatang bernyanyi dan bermain.
Indah
sekali Tanah Suci Tara ini. Praktik Tara Hijau dapat melenyapkan rintangan
karma serta berbagai malapetaka. Banyak dari para Yogi dan Guru Buddhis yang
mengalami kemujizatan Tara Hijau.
Wujud Tara
Putih ada bermacam-macam seperti Astamahabhaya Tara, Mrtyuvancana Tara,
Chaturbhuja-Sita Tara, Sadbhuja-Sita-Tara, Visvamata, Kurukulla, Janguli. Tara
Putih sering diasosiasikan dengan kebijaksanaan. Digambarkan seputih bulan di
musim gugur dalam posisi teratai penuh dan mempunyai tujuh mata, dua mata ditambah
dengan mata ketiga di dahi dan empat mata masing-masing di telapak tangan dan
kaki yang menunjukkan bahwa Ia melihat dan mengetahui
semua penderitaan
di alam semesta. Rambutnya berwarna hitam kebiruan. Di kepalaNya terdapat gambar
Amitabha Buddha dan tangan kanannya membentuk varada-mudra. Tangan kirinya
berada di posisi hati memegang setangkai bunga teratai yang mekar.
Tara Putih
dikatakan memanifestasikan diri menjadi putri dari Tiongkok yang bernama
Wencheng yang menikah dengan Raja Tibet Songtsen Gampo, sedangkan Tara Hijau
menjelma menjadi Bhrkutidevi, istri Songtsen Gampo yang berasal dari Nepal.
Cintamanichakra
Tara adalah wujud Pelindung dari Tara Putih. Tara Putih dikenal sebagai
Bodhisattva yang mampu memberikan berkah penyembuhan pada mereka yang sakit.
Dalam suatu ritual pelukisan Tara Putih, sang artis (pelukis) hanya boleh
memakan makanan yang berwarna putih saja. Di masyarakat Newar, Nepal, terdapat
puja Tara yang berkenaan dengan penyembuhan bernama Satva Vidhana Tara Puja.
Adapun perwujudan Tara Hijau yang lain, yaitu sebagai Bhrkuti Tara yang tercantum dalam teks Hevajra Tantra dan Arya Manjushrimulakalpa bersama dengan Arya Tara dan bodhisattva wanita lainnya. Pada saat berwujud biru, Ia mempunyai tiga kepala dan enam tangan. Pada saat berwujud kuning, Ia mempunyai satu wajah dengan tiga mata dengan alis yang tebal dan empat tangan. Keempat tangannya memegang tasbih, trisula, kalasa dan membentuk varada-mudra. Taranatha dari India menceritakan kunjungan seorang upasaka bernama Santivarman dari Pundravardhana ke bukit Potala,
bodhimandala
dari Avalokitesvara. Dikisahkan bahwa Santivarman berdoa kepada Bhrkuti Tara agar
ia dapat menyeberangi lautan dan seketika itu juga muncul seorang gadis dengan
sebuah rakit yang
kemudian
membawanya menyeberangi lautan. Saat mendaki bukit Potala, ia memohon bantuan
dari Avalokitesvara Bodhisattva untuk dapat mencapai puncaknya dan sesampainya
di sana, Santivarman
melihat
gambar Bhrkuti Tara yang agung.
Dikenal
pula Tara Merah yang dikenal sebagai Kurukulla atau Pithesvari, kemudian Ugra
Tara yaitu Ekajati, Svapna Tara yang muncul dalam mimpi,Tara berwarna emas
yaitu Rajasri Tara dan Vajra
Tara yang
bertubuh kuning. Vasudhara, Bodhisattva penganugerah kekayaan dikenal pula
sebagai Tara Kuning. Rupang-rupang Tara di India dapat ditemukan di Bihar. Di
Nepal juga ada banyak ikonografi Tara.
Figur-figur
tersebut di atas umumnya muncul sebagai seorang gadis muda berumur 16 tahun
yang sangat cantik. Ia diberi gelar sebagai penolong yang tercepat karena
kesigapan dalam menolong orang-orang yang menderita. Bodhisattva Tara juga
dikenal atas ikrarnya yang agung yaitu mencapai tingkatan KeBuddhaan dalam
wujud
seorang
wanita.
Tara adalah Bodhisattva Buddhis
“Karakter
dewi Hindu Tara sepenuhnya adalah Buddhis, maka dari itu sang dewi pastinya
berasal dari agama
Buddha.” (Benoytosh Bhattacharyya).
Prof. P. C.
Jain dan Dr. Daljeet juga mengamini pendapat Benoytosh tersebut. Mr. M.K
Dhavalikar menjelaskan bahwa asal mula Tara adalah Buddhis,menurutnya, Tara
tidak pernah disebutkan dalam
teks-teks
Brahmanikal yang lebih tua. Ada yang mengatakan bahwa sebenarnya Bodhisattva
Tara diadopsi agama Buddha dari seorang dewi Hindu bernama Tara. Namun fakta
sejarah yang ada membuktikan bahwa hipotesa itu tidak berdasar sama sekali.
Sayangnya, hipotesa yang keliru ini sudah menyebar di banyak kalangan,
dikarenakan mereka menganggap agama Hindu lebih tua daripada
agama Buddha, sehingga mereka menganggap umat Buddha yang mengadopsi Tara.
Rupang atau
ikonografi Tara yang tertua justru ditemukan di goa-goa Buddhis di India
Barat(Kanheri, Ellora, Nasik, Aurangabad dan Ajanta)
yang
berasal dari abad 6-7 M, bukan di tempat-tempat suci Hindu. Kitab tertua yang
menyebutkan nama Dewi Tara adalah Guhyasamaja Tantra (abad ke 3 M atau sekitar
200-350 M) dan Arya- Manjusrimulakalpa (abad 2 sampai 4 M) yang menyebutkannya
sebagai prajna dari Pancadhyani Buddha. “Tara adalah angin .... Arya Tara,
pasangan dari Amoghasiddhi.” (Guhyasamaja Tantra)
Subandhu,
seorang penulis yang hidup pada abad ke -5 (400 M) menulis dalam karyanya Vasavadatta:
“Gadis Tara dapat terlihat, berdevosi pada bintang-bintang dan berjubah langit
merah, sebagai seorang bhiksuni Buddhis.” (bhiksuki
‘vataranuragaraktambaradharini bhagavati samdhya samadrsyata).
Bahkan
menurut sejarawan Jestun Taranatha, Tara telah dikenal oleh Arya Hayaghosa
(80-150 M),Arya Nagarjuna (150 – 250 M) dan muridnya Aryadeva (abad 3 M). Bukti
nyatanya adalah syair pujian
Candrakirti
dan Nagarjuna pada Tara yang saat ini beberapa masih ditemukan versi
Sansekertanya.
Nama Dewi
Tara baru ada di kitab-kitab (Hindu) Purana yang muncul belakangan seperti
Brahmanda Purana (400 M) dan Agni Purana dan kitab-kitab Tantra Hindu seperti
Tararahasyavrttika (1630 M),
Tarabhaktisudharnava
(1680 M), Rudrayamala Tantra (1300 M) dan Brahmayamala Tantra (abad 9 M).
Tara dalam
agama Hindu pertama kali muncul pada abad 6 M dengan munculnya pemujaan
terhadap sepuluh dewi yang disebut sebagai Mahavidya.
Kitab-kitab
Hindu yang berkenaan dengan Tara juga menunjukkan pengaruh agama Buddha
seperti: kitab Hindu Tara-tantra (abad 6 – 8 M) yang mengaitkan nama Buddha
Aksobhya dengan Tara dan Buddha
sebagai
Bhairava agung, kitab Hindu Tantra-sara (1580 M) menyebutkan bahwa rupang
Buddha Aksobhya menghiasi mahkota Tara dan dipengaruhi oleh pancamudra yang
dibentuk oleh Buddha
Pancadhyani.
Mahacinacara-sara Tantra (abad 6 M / 500 M) juga menghubungkan Buddha dengan pemujaan
Tara, yang mana sang tokoh dalam kitab Tantra Hindu tersebut mempelajari
pemujaan Tara Devi dari
Sang Buddha.
Kitab Hindu
seperti Mahacinacara-sara Tantra,Tara-tantra, Rudrayamala dan lain-lainnya menyebutkan
seorang bernama Vasistha pergi ke Maha-cina (Himalaya, Tibet, Tiongkok) untuk mendapatkan
pengetahuan tentang Tara dari Buddha, yang menurut Dewi Tara sendiri merupakan orang
yang paling paham akan pemahaman
dan praktik
puja terhadap Tara. Pernyataan ini tampaknya menimbulkan hipotesa bahwa
pemujaan Tara berasal dari Tibet, namun fakta historis tidak mendukungnya
karena tidak adanya bukti-bukti nyata yang ditemukan dan peneliti seperti Rolf
A Stein juga turut menolaknya.
Memang unik
untuk melihat bahwa naskah-naskah Tara yang Hindu malah menunjukkan banyak kaitan
dengan agama Buddha, sehingga dengan mudah dapat disimpulkan bahwa pemujaan
Tara ini asalnya adalah Buddhis. Namun dari kesemuanya itu ada perbedaan
mencolok antara Tara dalam agama Hindu dan Buddha. Tara dalam paham Hindu berwujud
galak dan menyeramkan sedangkan Tara dalam agama Buddha lebih sering
digambarkan dengan wujud yang damai, cantik dan penuh dengan welas asih.
Kisah Putri Jnanacandra
Menurut
Taranatha, dalam catatannya tentang sejarah kitab
Sarva-tathagata-matr-taravisvakarma- bhava Tantra atau singkatnya Tarabhava Tantra,
Bodhisattva Tara dikisahkan pernah terlahir sebagai Putri Jnanacandra pada masa
Buddha Dundubhishvara. Selama berjuta-juta tahun sang putri memberikan
persembahan pada Buddha
tersebut
dan para Sangha yang terdiri atas para Shravaka dan para Bodhisattva. Akhirnya,
ia berhasil memunculkan Batin Pencerahan Bodhicitta.
Setelah
itu, beberapa bhiksu memberitahunya, “Karena akar dari kebajikan ini, jika
engkau berdoa dengan tubuhmu saat ini, berharap untuk menjadi seorang laki-laki
dan mempertunjukkan banyak tindakan yang sesuai dengan Ajaran, maka tubuhmu akan
dapat berubah [menjadi laki-laki]. Itulah yang seharusnya engkau lakukan.”
Terkejut mendengar ucapan para bhiksu, lantas sang putri berdiskusi
dengan
mereka. Akhirnya, dengan nada yang penuh dengan ketegasan dan semangat, Putri
Jnanacandra berkata:
“Di dalam
hidup ini tidak ada pemisahan antara laki-laki dan perempuan, tidak ada aku,
tidak ada diri dan tidak ada kesadaran. Melekat pada label ‘pria’ atau ‘wanita’
tidaklah ada intinya, melainkan
pikiran
duniawi yang jahat dan sesat.” Dan kemudian ia berikrar:
“Banyak
yang ingin untuk mencapai Samyaksambodhi dalam tubuh seorang pria, namun tidak
ada yang berbuat untuk kesejahteraan semua makhluk dalam tubuh seorang wanita.
Maka, hingga samsara kosong, aku akan bertindak demi kesejahteraan semua
makhluk dalam tubuh seorang perempuan.”
Kemudian
selama berjuta-juta tahun, ia terlahir dan terlahir kembali sebagai putri di
lingkungan kerajaan dan akhirnya berhasil mencapai tingkatan Anuttpatika
Dharma-kshanti (tingkat Bodhisattva ke-8) merealisasikan meditasi
“Menyelamatkan Semua Makhluk Hidup”. Dengan kekuatan dari meditasi ini, setiap
pagi sebelum makan pagi, Ia
membebaskan
jutaan makhluk hidup dari samsara.
Dari
tindakannya inilah, Ia mulai dipanggil dengan sebutan ‘Tara’ seperti yang
diramalkan oleh Buddha Dundubishvara: “Selama engkau memanifestasikan Anuttara
Samyaksambodhi, engkau hanya akan
dikenal
dengan nama Dewi Tara.”
Di kalpa
berikutnya yaitu Vibuddha, Tara berikrar di hadapan Buddha Amoghasiddhi untuk
melindungi semua makhluk di sepuluh penjuru alam semesta dari bahaya maupun
Iblis Mara. Setiap harinya selama 95 kalpa lamanya, ia berkonsentrasi dalam Samadhi
“Menaklukkan Semua Mara” dan membimbing beratus-ratus miliar pemimpin makhluk
hidup dalam dhyana dan setiap sorenya menaklukkan satu miliar Mara
Parinimitavasavartin.
Kemudian
pada Kalpa ‘Tak Terhalangi’, seorang bhiksu bernama ‘Cahaya Suci Bersinar’ yang
telah mencapai tingkat-tingkat kesucian menerima abhiseka dari para Buddha di
sepuluh penjuru dan menjadi Bodhisattva Avalokitesvara. Cahaya dari semua
Buddha menyatu menjadi cahaya welas asih dan cahaya kebijaksanaan, yang
kemudian
bersatu dan
membentuk Tara. Ia muncul dari hati Avalokitesvara, memenuhi kehendak semua
Buddha dan kemudian melindungi dan menyelamatkan para makhluk dari delapan
sampai sepuluh macam
ketakutan
dan mara bahaya.
Pada kalpa
Mahabhadra, Tara telah mencapai tingkatan ‘Tak Tergoyahkan’. Tara kemudian terus
melatih diri dan pada kalpa Asanka, Ia mendapatkan abhiseka dari para Buddha
dari 10 penjuru, yaitu mencapai keBuddhaan Sempurna (Samyaksambuddha). Sejak
saat itu Tara menjadi Ibu dari para Buddha (Sarva-buddha-mata). Tara memiliki
32 tanda major dan 60 tanda minor seorang Samyaksambuddha, yang tentu tidak hanya
dimiliki oleh seorang Samyaksambuddha pria.
Akhirnya,
pada masa Bhadrakalpa ini, Avalokitesvara terlahir di bumi ini di Gunung Potalaka.
Avalokitesvara mengajarkan sepuluh juta Tantra dari Bodhisattva Tara.
Tantra-tantra tersebut kemudian diajarkan kembali oleh Guru Agung kita Buddha
Sakyamuni, seperti yang disebutkan dalam komentara Tara Tantra, Dakiniguhya-
bindu:
“Ajaran-ajaran Tantra diajarkan oleh Sakyasimha (Sakyamuni) di puncak Gunung
Potala (Putuo Shan).”
Buddha
Sakyamuni pergi menuju Gunung Potala memberikan inisiasi Tara dan ajaran
Vajrayana pada para makhluk hidup yang jumlahnya tak terbatas.
Tara Tantra
kemudian diteruskan pada Bodhisattva Vajrapani. Praktik Tara Tantra dilakukan
di Alakavati dan alam para Vidyadhara (salah satu makhluk alam dewa). Di dunia
manusia, Vajrapani kemudian beremanasi menjadi Raja Indrabhuti dan menuliskan
semua Tara Tantra dalam bentuk kitab-kitab. Setelah itu, praktik Tara tersebar
luas di kalangan yogi dan yogini di Jambudvipa (India).
Buddha
membabarkan Sarva-tathagata-matrtara-visvakarma-bhava Tantra di Surga Tusita pada
para dewa dan Bodhisattva, beliau juga
membabarkan
Sutra Aryatara-astaghora-tarani (Sutra Tara yang Menyelamatkan dari 8
Ketakutan) di Gunung Meru.
Guanyin Wanita Berjubah Putih adalah
Tara
Di
Tiongkok, tampaknya beberapa orang berpikir bahwa Tara adalah satu bentuk
Avalokitesvara /Guanyin, salah satu dari beberapa perwujudan(emanasinya).
Identifi kasi Tara dengan Avalokitesvara/ Guanyin ini sangat jelas (terlihat)
dalam satu perwujudan Guanyin yang paling terkenal, yaitu Guanyin Berjubah
Putih (Baiyi Dashi). Nama Tionghoa dari perwujudan Guanyin ini tampaknya adalah
terjemahan langsung dari Sansekerta Pandaravasini (ia yang berjubah putih),
salah satu sebutan bagi Tara Putih. Wujud wanita Guanyin ini diperkenalkan di Tiongkok
kira-kira pada abad ke-8 M dan menjadi sangat populer di abad 10 M. (The
Goddesses Mirror oleh David R.Kinsley)
Belakangan
ini timbul hipotesa bahwa Guanyin di Tiongkok sebenarnya adalah Dewi Tiongkok
kuno yang kemudian diadopsi oleh agama Buddha. Namun ini sesungguhnya tidak
benar sama sekali. Penting untuk diketahui bahwa di India dan Nepal, di tanah kelahiran
Sang Buddha sendiri, telah dikenal sosok perempuan dari Avalokitesvara.
Siapakah sosok perempuan Avalokitesvara itu? Beliau adalah Tara Bodhisattva dan
Pandaravasini. Setelah masuk ke Tiongkok, sosok perempuan Avalokitesvara itu
mengalami adaptasi dan kemudian
diadopsi
oleh berbagai agama di Tiongkok.
Banyak
sekali sejarawan ternama yang mengatakan bahwa Pandaravasini dan Tara di India
adalah pelopor adanya Baiyi Guanyin
(Guanyin
Wanita Berjubah Putih) di Tiongkok, di antaranya adalah
H.Maspero,
Kenneth Chen dan Profesor Lokesh Chandra.
Henri
Maspero dan Kenneth Chen mengatakan bahwa Baiyi Guanyin
adalah
Pandaravasini - 白衣女神 (berjubah putih) dan juga wujud
Tionghoa
dari Tara Putih - 白多罗 (Sitatara), consort dari Avalokitesvara
dan merupakan Bodhisattva yang sangat penting dalam tradisi Tibetan.
Ketika
Pandaravasini pertama kali diperkenalkan ke Tiongkok pada
masa
Dinasti Tang, menurut pandangan ini, Ia berubah menjadi
Dewi
Kesuburan karena Pandaravasini termasuk dalam Garbhadhatu
(Mandala
Rahim). Kata-kata rahim tersebut membuat Pandaravasini
juga
dijadikan sebagai Dewi Pemberi Anak oleh masyarakat Tiongkok,
yang
dikenal dengan nama Songzi Guanyin.
Baiyi
Guanyin pertama kali diperkenalkan ke Tiongkok melalui
teks
Dharani Tantrik yaitu Tuoluoni Zaji (Dharani Lain-lain) yang
diterjemahkan
pada abad ke-6 M (masuk dalam daftar terjemahan
Dinasti
Liang, tahun 502-557 M). Seperti dalam teks-teks Tantra yang
membutuhkan
visualisasi, perwujudan Baiyi Guanyin digambarkan
dengan
jelas dalam teks yang berasal dari abad ke-6 M tersebut. Wujud Baiyi Guanyin
dalam teks Tuoluoni Zaji tersebut, tanpa menyebutkan gender, adalah memakai
jubah putih dan duduk di atas teratai dengan memegang teratai (bukan dahan
willow) dan tangan lainnya memegang vas (botol/kundalika). RambutNya disanggul
ke atas. Teks Tantrik ini diduga yang menjadi basis dari perwujudan Baiyi
Guanyin.
Pandaravasini
memiliki arti “Yang Berjubah Putih”. Dalam konsep
Mahayana
dan Tantra, Beliau adalah prajna dari Buddha Amitabha,
salah satu
dari 5 Prajna dari Buddha Dhyani. Bersama-sama dengan
Amitabha
dan Avalokitesvara, mereka adalah Sambhogakaya dari
Buddha
Sakyamuni. Lantas bagaimanakah Pandaravasini ini dihubungkan dengan
Avalokitesvara dan Tara?
Dalam
Mahavairocana Sutra/Tantra disebutkan bahwa Pandaravasini
berada
dalam Garbhadhatu Mandala (Mandala Rahim). Beliau duduk
berdekatan
dengan Tara Bodhisattva. Yang menarik adalah, bahwa
Pandaravasini
dan Tara terletak dalam barisan kelompok Avalokitesvara dalam Mandala tersebut.
Pandaravasini adalah Ibu dari keluarga Teratai (salah satu keluarga Buddha) dan
pemimpin dari keluarga Teratai tersebut adalah Avalokitesvara. Ia diberi nama
“Kediaman Putih” (Baizhu) karena Ia tinggal di teratai yang putih suci. Tara
juga mendapat panggilan ‘Avalokitesvara Sang Ibu’. Dengan demikian antara
Avalokitesvara, Tara dan Pandaravasini terdapat keterkaitan yang amat erat.
“Dalam
Garbhadhatu Mandala, Bodhisattva ‘Kediaman Putih’, ‘Tubuh
Putih’ dan
‘Tubuh Putih Maha Terang’ (Daming Baishen) yang berada di barisan Guanyin,
semuanya berjubah putih dan dapat disebut Baiyi. Putih adalah simbol dari
pikiran yang tercerahkan, yang ‘melahirkan’ semua Buddha dan Bodhisattva. Oleh
karena itu para Bodhisattva perempuan yang berada dalam barisan Guanyin
kebanyakan berjubah putih, karena mereka adalah Ibu dari Buddha dan
Bodhisattva.”
Dalam
Mahavairocana Sutra yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Tionghoa
dan Tibet pada abad ke-7-8 M dikatakan bahwa Bodhisattva
Tara adalah
emanasi Avalokitesvara (Guanyin) yang juga memakai jubah putih: “Di kananNya
(Avalokitesvara) duduklah Sang Dewi, yang dikenal dengan nama Tara agung. Ia
sangat berkebajikan dan mampu melenyapkan ketakutan. Warna tubuhnya hijau muda
dengan wujud yang beraneka ragam.
Ia
mengambil wujud sebagai seorang remaja perempuan. Di tanganNya yang saling
menutup, dibawanyalah sebatang teratai biru. Ia dikelilingi oleh cahaya dan
memakai jubah putih.”
Buddhaguhya
(sekitar 700 M), seorang Bhiksu Vajrayanis yang berdiam di India dan menerima
ajaran Mahavairocana dari Lilavajra, memberikan komentarnya mengenai Tara dalam
Mahavairocana Sutra: “Memakai jubah putih: Ini menyimbolkan keagunganNya.
Seperti tubuh seseorang yang ditutupi dan menjadi tampak sederhana oleh
pakaian, maka dari itu keagungan adalah simbol kesederhanaan, karena itu Ia
teragungkan. Putih menyimbolkan kesucian dari keagungan. Mengapa Ia
teragungkan? Karena keagungan adalah kualitas dari para Bodhisattva.”
Dalam Sutra
Mahavairocana tersebut juga disebutkan tentang
Pandaravasini
yang berpakaian putih: “Dekat dengan Tara, yang bijak
seharusnya
menggambar Pandaravasini. Ia memiliki rambut ikal yang dijalin dan memakai
pakaian berwarna putih. Di tanganNya Ia memegang setangkai bunga teratai.”
Buddhaguhya
memberikan komentarnya: “Pandaravasini: Namanya
memiliki
arti ‘Ia yang berdiam dalam putih’ atau ‘Ia yang memakai jubah putih’ karena Ia
berada di kesucian dharmadhatu. Ia digambarkan dekat dengan Tara dengan tujuan
untuk menunjukkan bahwa Dewi Tara tidak hanya
melakukan
tindakan penyelamatan bagi semua makhluk hidup, tetapi Ia juga berlindung pada
kesucian dharmadhatu.” Dalam kitab Manjushri mulakalpa (abad 2 – 4 M) juga
disebutkan berbagai dewi emanasi yang menemani Avalokitesvara, di antaranya
Pandaravasini dan Bhrkuti Tara yang kemudian dilanjutkan dengan deskripsi
terhadap Tara: “Dewi yang merupakan Welas asih dari Aryavalokitesvara, [yaitu]
Arya-Tara, dihiasi oleh berbagai ornamen.”
Seperti
kita tahu, Bodhisattva Tara merupakan fi gur perempuan yang
paling
terkenal di kalangan Buddhis Vajrayana. Pemujaan-Nya sangat popular baik di
India, Nepal, Tibet ataupun di tanah air kita sendiri yaitu Indonesia.
Ia berikrar
untuk mencapai Ke-Buddhaan dalam wujud seorang perempuan dan merupakan simbol
dari aktivitas semua Buddha. Ia terlahir dari air mata Avalokitesvara.
Tara Putih
terlahir dari air mata yang terjatuh dari mata kiri, sedangkan Tara Hijau dari
mata kanan Avalokitesvara. Tara sendiri adalah consort dan prajna dari
Avalokitesvara, menandakan bahwa pada hakekatnya Tara dan Avalokitesvara adalah
sama, demikian juga dengan Pandaravasini.
Sekte
Shingon di Jepang mengenal delapan manifestasi Guanyin, dua di antaranya adalah
Pandaravasini dan Tara. Ini berasal dari Sutra
Mahavairocana,
di mana telah disebutkan di atas bahwa Pandaravasini dan Tara berada dalam
barisan kelompok Avalokitesvara.
Bahkan
dalam adalah Baiyi Dashi [Guanyin] Wu Yinxin Tuoluoni Jing (Pancamudra Dharani
Pandaravasini Mahasattva [Avalokitesvara] Sutra), yang merupakan sebuah Sutra
mengenai Guanyin perempuan yang berbaju putih, terdapat mantra dari Bodhisattva
Tara yaitu: Om Tare Tuttare Ture Svaha.
Gunung
Putuo (Potala) di Tiongkok adalah tempat suci bagi Guanyin,
yang
berwujud wanita berpakaian putih dan ini bukanlah tanpa dasar
sama
sekali. Sejarawan Taranatha mengisahkan bahwa di India ada
dua yogi
bernama Buddhasanti dan Buddhaguhya yang pergi ke gunung Potala. Di sana
Arya-Tara Bodhisattva membabarkan Dharma pada para naga dan Bodhisattva
Bhrkuti, saudara perempuan Tara mengajar para asura dan yaksa, sedangkan di
puncak gunung Bodhisattva Avalokitesvara sedang berdiskusi dengan Vajrapani yang
akhirnya menyimpulkan bahwa kebajikan Tara adalah yang paling baik untuk
melenyapkan penderitaan para makhluk. Kemudian Avalokitesvara membabarkan 108
nama Tara atau Arya-tarabhattarika-namastottarasataka Stotra, yang menyebutkan
bahwa Arya Tara berada di Gunung Potalaka (Putuo Shan).
Tara dan Nyai Rara Kidul
Di pulau
Jawa pada zaman dahulu, Bodhisattva Tara dipuja dengan hebat dan agung di Candi
Kalasan,Jawa Tengah. Konon dulu Guru Dharmakirti di Svarnadvipa (Sumatra) dapat
terus menerus melihat
wajah Dewi
Agung Tara. Bodhisattva Tara pertama-tama dikenali sebagai pelindung navigasi
dan salah satu aspek dari Aryasthamahabhaya Tara adalah pelindung dari bahaya
air. Warna hijau juga sering dikaitkan dengan Tara, yang bermakna “kesegaran
atau
aktivitas”. Wujud tersebut dinamakan sebagai Vasya-Tara, yang dulu rupangnya
berada di Candi Kalasan. Dari ciri-ciri di atas, kita tahu bahwa Kanjeng Ratu
Kidul juga memiliki kedua aspek tersebut yaitu samudra (navigasi/air) dan warna
hijau. Secara mengejutkan pula, Ratu Kidul tampak memiliki teratai biru
wijayakusuma, mirip seperti
Bodhisattva
Tara yang memegang teratai biru (utpala) juga.
Berbagai
kemiripan memang dapat kita temukan dalam diri Arya Tara dan Ratu Kidul.
Bodhisattva Tara juga dikenal dalam wujud nagini yang bernama Janguli,
sedangkan di kalangan masyarakat Jawa, Ratu Kidul dikenal sebagai dewi ular naga
(nagini). Kemungkinan Kanjeng Nyai Rara Kidul ini berasal dari dua penggabungan
aspek dari Durga dan Dewi Sri. Dan menarik pula, bahwa Tara Bodhisattva
memanifestasikan dirinya sebagai Parnashavari yang memiliki aspek mirip Durga sekaligus
sebagai Vasudhara yang tak lain adalah Dewi Sri. Maka dari itu Tara dapat
dikaitkan dengan aspek damai dan keras
dari Nyai
Rara Kidul. Menurut Koentjaraningrat, sebutan “Nyai” sendiri merujuk pada
jajaran kedewataan pada masa Hindu-Buddha.
Nyai Rara
Kidul diberi sebutan Ratu Kidul karena ia adalah pemimpin para dewa-dewi,
peri-peri dan setan-setan. Istananya berada di dasar Samudra tepat di pantai
selatan Jawa Tengah. Ia adalah penguasa arah mata angin bagian selatan,
sedangkan penguasa bagian utara yang bertahta di hutan Krendawahana adalah dewi
Sanghyang Pramoni(Durga). Bodhisattva Tara sendiri dikenal sebagai Bodhisattva
yang dapat menaklukkan semua ghana(kurcaci, pengikut Siva), vetala
(vampir/mayat hidup) dan yaksha, bahkan iblis Mara (kematian);
pun juga
dipuja oleh para gandharva dan makhluk-makhluk di atas.
Simbolisasi
Tara menaklukkan iblis Mara ini mungkin kemudian berpengaruh terhadap Nyai Rara
Kidul yang terus-menerus menjadi muda kembali.
Rara Kidul
dapat menjadi tua ataupun muda,demikian juga Tara dapat bermanifestasi menjadi perempuan
tua ataupun muda. Lara atau Rara berarti seorang gadis, sehingga dapat
disimpulkan bahwa ikonografi Ratu Kidul seharusnya berperawakan perempuan muda,
mengingatkan pada wujud fisik Tara sebagai gadis berumur 16 tahun.
Kesimpulan
Peran
wanita dalam perkembangan suatu agama tidak dapat diremehkan. Kemuliaan
perbuatan bajik dan pencapaian pencerahan tidak memandang jenis kelamin. Bahkan
inti ajaran para Buddha (maître karuna) dilambangkan sebagai cinta kasih
seorang ibu pada anaknya yang tunggal yang kemudian diwujudkan dalam diri
Bodhisattva Tara yang selalu dengan sigap menolong para makhluk dan memeluk mereka
dalam pelukan welas asih dari seorang Ibu.
Welas asih
Ibu Tara tak mengenal batas dan terbukti telah banyak para makhluk yang telah ditolongnya
di bumi Jambudvipa ini. Dengan
memakai
jubah putih yang anggun, Beliau mengayomi serta menjawab doa-doa segenap umat
Buddhis Tiongkok dan Timur Jauh selama berabad-abad lamanya. Dengan welas
asihnya yang besar, beliau bertindak sebagai seorang Ibu bagi bangsa Tibet.
Bertahta di candi yang terletak di Jawadvipa, Beliau melindungi seluruh
Nusantara.
Bersemayam
di dalam pencerahan agung, Ibu Tara melindungi semua makhluk di manapun mereka berada,
bagaikan “bintang” yang memberikan cahaya, menuntun kita untuk keluar dari
samudra kegelapan.
Pustaka
Utama:
Willson,
Martin. In Praise of Tara: Songs to the Saviouress
Bhattacharyya,
Benoytosh. An Introduction to Buddhist Esoterism
Praharaj,
Gitani. Tara
Bhattacharya,
Bikas Kumar. Tara in Hinduism: Study with Textual and Iconographical
Documentation
Kinsley,
David. Tantric visions of the divine feminine:
the ten
Mahāvidyās
Donaldson,
Thomas E. Iconography of the Buddhist
Sculpture
of Orissa: Text
Regmi,
Jagdish Chandra. Goddess Tara: A Short Study
Weidner,
Marsha Smith. Latter Days of the Law:
Images of
Chinese Buddhism
Teoh Eng
Soon. Guan Yin
Chunfang,
Yu. Miracle Tales and the Domestication of Kuanyin
Hodge,
Stephen. Maha-vairocana-abhisambodhi