Banyak orang sering mendengar maupun membaca nama Bodhisattva
Akasagarbha, namun riwayat Bodhisattva ini sendiri, tidak banyak diketahui umat. Beliau adalah salah satu dari delapan Maha Bodhisattva
(Ashtamahabodhisattva) yang terdiri dari Avalokitesvara, Manjushri,
Samantabhadra, Maitreya, Ksitigarbha, Akasagarbha, Mahasthamaprapta
(Vajrapani) dan Sarvanivarana-viskambhin. Akasagarbha (Xukongzang -
Mandarin, Kokuzo - Jepang) dikenal pula dengan sebutan yang lebih pendek,
Khagarbha. Sebutan “akasa” berarti angkasa yang tidak terbatas dan “garbha”
adalah “kandungan/harta”. Jadi arti nama Akasagarbha adalah “harta angkasa yang
tidak terbatas”, yang menyimbolkan kebijaksanaan para Buddha yang sangat luas.
Dalam Da-fang-deng-da-ji Jing tercantum:
“Misalkan ada seorang sesepuh yang kaya raya dan rakyat awam. Harta
simpanan sesepuh itu tak terhingga banyaknya, penuh dengan uang dan
permata. [Sesepuh itu] berdana tanpa rasa kikir.
Saat berdana, para fakir miskin datang kepadanya dan meminta sebanyak
yang mereka butuhkan, [sesepuh] itu membuka gudang hartanya dan
memberikan sebanyak yang dibutuhkan. Para fakir miskin itu menjadi
terpuaskan. Setelah berdana, sesepuh itu bergembira dan tidak menyesal.
Para putra bajik, demikianlah pula Bodhisattva Akasagarbha
[mempraktikkan kebajikanNya].”
Subhakarasimha (637-735), Master Tantra dari India yang juga merupakan
salah satu pengembang aliran Tantrayana di Tiongkok – di samping Vajrabodhi
(670-741) dan Amoghavajra (705-775), mengatakan bahwa Akasagarbha adalah
“kandungan” yang mencakup “semua makhluk dan semua hal serta
selalu memberikan harta Dharma yang tidak terbatas namun tidak pernah
kosong. Ini seperti kandungan yang di dalamnya terdapat harta yang
sangat banyak di mana pemiliknya dapat secara bebas memberikan dana pada
yang membutuhkan tanpa pernah dirinya menjadi miskin.”
Menurut Suyao IKuei, seseorang yang menginginkan kebahagiaan dan
kebijaksanaan, seharusnya mendevosikan dirinya pada Bodhisattva
Akasagarbha. Alasannya adalah matahari, bulan dan bintang-bintang adalah
emanasi Akasagarbha(Taisho, XXI, 422b).
Lagi, Sutra Bodhisattva Akasagarbha (Xukongzang Pusa Jing) menyebutkan
bahwa Buddha Sakyamuni sangat memuji beliau, “Dhyana [meditasi]-Nya
sedalam samudra, sila-sila suciNya tinggi seperti pegunungan,
kebijaksanaanNya sangat berharga sehingga pantas menerima
persembahan-persembahan terbaik dari semua makhluk hidup. Jasa dan kebajikanNya
tidaklah terbatas.”
Dikatakan bahwa Akasagarbha memiliki tinggi 20 yojana, memakai mahkota
yang memanifestasikan 35 rupa para Buddha pertobatan. Kekuatan welas
asihNya bagaikan Avalokitesvara. Beliau memberikan kesejahteraan pada
para makhluk hidup terus menerus. Ditulis bahwa ketika seorang bodhisattva
pemula melakukan pelanggaran dan mengaku salah di hadapan Bodhisattva
Akasagarbha, maka karma buruk mereka akan terhapuskan dan mereka akan
menjadi segera termurnikan kembali. Akasagarbha dapat meningkatkan
ingatan seseorang, seperti yang dijelaskan dalam Gumonjihou.
Melenyapkan halangan-halangan dan memberikan semangat pada
para praktisi untuk menyempurnakan Enam Paramita sehingga mereka dapat
mencapai keBuddhaan.
Akasagarbha bahkan dianggap sebagai “saudara kembar” dari Ksitigarbha
Bodhisattva. Dalam masa masa yang lebih awal, mereka sering digambarkan
bersama-sama, menyimbolkan berkah dari langit (akasa) dan bumi (ksiti).
Selain itu, kedua Bodhisattva ini berhubungan dengan “garbha” yaitu Tathagatagarbha,
benih keBuddhaan dalam diri tiap makhluk. Keterkaitan mereka berdua juga
ditunjukkan dengan munculnya Bodhisattva Akasagarbha dalam Sutra Ksitigarbha Purva-pranidhana.
Bodhisattva Akasagarbha sudah diperkenalkan di Jepang sejak periode Nara
(710- 784). Pemujaan Akasagarbha di Jepang sangat popular di lingkungan aliran
Shingon. Kobo Daishi (Kukai), pendiri Buddhisme Shingon (Tantra
Timur) melafalkan mantra Akasagarbha berjuta-juta kali dan
praktik-praktik Akasagarbha lainnya ketika masih sebagai bhiksu muda di Gunung
Tairyu
dan di Cape Muroto. Ritual Akasagarbha dipelajarinya dari gurunya,
Master Genzo. Seiring dengan pembacaan mantra, ia mengalami penglihatan di mana
Akasagarbha memintanya pergi ke Tiongkok untuk mempelajari dan memahami
Sutra Mahavairocana. Mantra Akasagarbha sangat popular di kalangan umat Buddha
Shingon, karena diyakini mampu memberikan kebijaksanaan untuk mencapai pencerahan
serta berbagai talenta seni lainnya.
Di dalam aliran Buddha Shingon, dikenal pula lima wujud Akasagarbha
(Panca-Mahakasagarbha) yaitu: Dharmadhatu Akasagarbha, Vajra Akasagarbha,
Ratnaprabha Akasagarbha, Padma Akasagarbha, dan Karma Akasagarbha.
Di pulau Honshu, Jepang, sampai sekarang masih dijalankan tradisi di
mana anak-anak yang berumur 13 tahun memberikan penghormatan pada Akasagarbha
dengan harapan dapat tumbuh menjadi orang yang pandai.
Di Asia Timur, Akasagarbha digambarkan memegang Cintamani yang
menyimbolkan kegembiraan, kebajikan dan berkah duniawi bagi semua makhluk. Di
tangan kananNya terdapat pedang tajam yang menyimbolkan kebijaksanaan yang memotong kebodohan batin. Terkadang Beliau juga tampak tampil
dengan posisi tangan abhaya mudra (menolak bahaya atau tanpa rasa takut) sambil
memegang tombak teratai atau nilotpala yang di puncaknya terdapat permata pengabul harapan (Cintamani).
Cintamani yang dipegang Akasagarbha berbentuk seperti stupa. Stupa ini
sebenarnya adalah stupa besi di India Selatan tempat teks Sutra Mahavairocana
dan Sarvatathagata-samgraha disimpan oleh Vajrasattva. Stupa beserta teks ini akhirnya ditemukan oleh Nagarjuna, yang kemudian mentransmisikan
ajarannya pada Nagabodhi, yang dilanjutkan pada Vajrabodhi dan Amoghavajra.
Sedangkan di Nepal, Bodhisattva Akasagarbha ditampilkan dalam posisi
berdiri dengan membentuk mudra vitarka (pembahasan kebenaran) dan
varada mudra (memberi anugerah).
Simbolnya adalah matahari di atas buku. Kain yang sangat anggun
melilit di pinggang dan selendang tipis ditempatkan mengelilingi tubuh
mulai dari pundak kiri hingga pinggul kanan. Rambut disanggul seperti stupa
(ushnisa).
Di Tibet, Khentrul Rinpoche dikenali sebagai emanasi ketujuh dari Akasagarbha
Bodhisattva.
Kelahiran masa lampaunya adalah Lhazu Lama, Trulku Ngawang and Getse
Khentrul. Selain itu dari 25 murid Guru Padmasambhava, ada yang bernama
Akasagarbha (Namkhai Nyingpo). Kesamaan nama ini bukan merupakan suatu
kebetulan saja, namun sebenarnya Beliau adalah juga emanasi Bodhisattva
Akasagarbha itu sendiri.
Menurut legenda Svayambhu, ketika Acharya Odiayana bermeditasi di
pegunungan dekat bukit Svayambhu, ia berharap dapat melihat Bodhisattva
Akasagarbha. Ia kemudian meniup kulit kerang. Dalam waktu singkat,
Akasagarbha muncul di depan Acharya Odiyana untuk memberikan berkah padanya. Ia
memanifestasikan suatu arus cahaya yang sangat menakjubkan
dan sinar tersebut kemudian berubah sebuah batu bundar besar dan
menghilang.
Akasagarbha memprediksikan bahwa Acharya Odiyana akan menjadi Acarya
Bandhudatta yang terkenal, yang membawa Arya Avalokitesvara dari Assam dan
mengadakan festival kereta di lembah Kathmandu serta mencapai pembebasan di
bawah kaki Arya Avalokitesvara. Maka tempat di mana Akasagarbha Bodhisattva
memancarkan cahaya disebut sebagai Adishvara dekat bukit Svayambhu.
Oleh : Hendrick & Ching Ik
Sinar Dharma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar