“Semua makhluk
terbebaskan, Baru meraih Pencerahan,
Alam neraka belum
kosong, Bersumpah tidak menjadi Buddha”
Pada
tahun 719 M, seorang pangeran muda bermarga Jin asal kerajaan Xin Luo (Silla,
salah satu kerajaan di semenanjung Korea), Jin Qiaojue (696-
794),
meninggalkan kehidupan istana yang gemerlap untuk ditahbis menjadi bhiksu
sederhana dengan nama Dharma – Dizang (Simpanan/Permata Bumi -Ksitigarbha).
Dizang berperawakan tinggi dan perkasa, kekuatan ototnya sanggup mengalahkan
puluhan orang, namun wataknya lembut dan berperilaku bajik.
Pada
masa-masa tersebut, agama Buddha berkembang pesat di kerajaan Tang (Tiongkok).
Para bhiksu terpelajar dari kerajaan Silla, Goguryeo, Baekje (tiga kerajaan di
Korea), dan Jepang sering mengunjungi kerajaan Tang untuk mendalami Buddha
Dharma.
Bhiksu
Jin Dizang yang juga haus akan Dharma,bersama anjing kesayangannya - Shanting,
pada tahun 742 mengarungi lautan dan mendarat di kerajaan Tang (Tiongkok).
Dizang mengembara hingga ke Jiuzi Shan (Gunung Sembilan Anak) yang terletak di
Chizhou, Anhui.
Di
belakang hari Jiuzi Shan yang memiliki 9 puncak ini populer dengan nama Jiuhua
Shan (Gunung Sembilan Bunga). Nama Jiuhua Shan ini diberikan oleh
pujangga
legendaris, Li Bai, pada tahun 754.
Jin
Dizang berdiam dan berlatih keras di sebuah goa selama bertahun-tahun. Hingga
pada tahun 756, ketika seorang pemuka masyarakat setempat bernama Zhuge Jie
bersama beberapa sahabat mendaki Jiuhua Shan, mereka dikejutkan adanya sesosok
manusia yang sedang bermeditasi di dalam goa. Melihat kondisi pelatihan yang
keras dan keteguhan Jin Dizang, Zhuge Jie tergugah untuk berupaya membangun
vihara bagi Jin Dizang.
Saat
itu orang terkaya dan penguasa tanah di seantero Jiuhua Shan adalah Min Ranghe,
seorang umat Buddha yang taat dan dermawan. Min Ranghe
menanyakan
luas tanah yang dibutuhkan, Jin Dizang berkata, “Cukup satu ukuran kasaya
(jubah bhiksu).”
Di
sela-sela kebingungan orang-orang yang mendengar jawaban tidak masuk akal ini,
Jin Dizang melepaskan jubah dan melemparkannya ke udara. Peristiwa ajaib pun
muncul, jubah itu berangsur-angsur membesar
hingga
menutupi Jiuhua Shan. Semua orang yang melihatnya pun merasa takjub, ternyata
bhiksu di hadapan mereka ini bukan bhiksu biasa.
Setelah
pembangunan vihara selesai, Jin Dizang mulai membabarkan Dharma. Dari hari ke
hari jumlah bhiksu yang datang untuk belajar semakin banyak. Juga tak sedikit
bhiksu dari kerajaan Shilla yang datang ke Jiuhua Shan mengikuti jejak Jin
Dizang.
Min
Ranghe akhirnya juga menjadi murid Jin Dizang, pun putranya yang bernama Dao
Ming menjadi bhiksu di bawah bimbingan Jin Dizang. Demikianlah Jin Dizang
membabarkan Dharma di Jiuhuashan hingga
akhir
hayatnya dalam usia 99 tahun. Kisah kehidupan Bhiksu Jin Dizang ini tercatat
dalam kitab Song Gao Seng Zhuan (Kisah Bhiksu Mulia Dinasti Song) dan Jiu Hua
Shan Zhi (Catatan Gunung Jiuhua). Jin Dizang
kemudian
diyakini sebagai jelmaan dari Bodhisattva Ksitigarbha. Seperti halnya Putuo
Shan dipandang sebagai gunung suci Bodhisattva Avalokitesvara, Wutai Shan
sebagai gunung suci Bodhisattva Manjusri
dan
Emei Shan sebagai gunung suci Bodhisattva Samantabhadra, maka Jiuhua Shan
dianggap sebagai gunung suci Bodhisattva Ksitigarbha.
Sebenarnya
kisah Bhiksu Jin Dizang yang berdiam di Jiuhua Shan ini hanyalah satu dari
sekian banyak lakon jelmaan Bodhisattva Ksitigarbha di seluruh penjuru semesta.
Dalam Ksitigarbha Bodhisattva Purva Pranidhana Sutra disebutkan ketika Buddha Sakyamuni
membabarkan Dharma bagi ibunda di Surga Trayastrimsa, makhluk yang hadir dalam pesamuan
itu
tidak
hanya berasal dari lokadhatu (alam bumi) ini saja, bahkan dari lokadhatu lain
juga turut hadir dengan jumlah yang tak terhitung banyaknya. Saat Buddha Sakyamuni
bertanya kepada Bodhisattva Manjusri
tentang
jumlah makhluk yang hadir dalam pesamuan itu, Manjusri dengan rendah hati
berkata bahwa walaupun mengerahkan kekuatan batin selama seribu kalpa, Manjusri
tetap tak dapat mengkalkulasikannya. Namun satu hal yang menakjubkan adalah
bahwa semua makhluk yang jumlahnya tak terkirakan ini adalah makhluk yang
telah, sedang, dan akan dibimbing oleh Bodhisattva Ksitigarbha.
Ksitigarbha
adalah Bodhisattva agung yang telah membangkitkan bodhicitta dan mempraktikkan
paramita sejak lebih dari milyaran kalpa yang lalu. Sebagai ilustrasi, Buddha
Sakyamuni memberikan pemaparan seperti berikut, “Seandainya semua rumput,
pohon, hutan, padi, rami, bambu, alang-alang, batu, gunung, debu halus yang
berada di alam Trisahasra-Mahasahasra, masing-masing benda itu dijadikan
sebagai satu bilangan dan setiap bilangan dijadikan sebagai Sungai Gangga.
Butiran pasir yang berada di setiap Sungai Gangga itu, tiap butirnya dijadikan
sebagai satu alam dunia, butiran debu yang berada di tiap alam itu, tiap
butirnya dipandang sebagai satu kalpa. Kumpulan debu selama satu kalpa itu
dipandang sebagai satu kalpa. Bodhisattva Ksitigarbha sejak mencapai tahapan
Bodhisattva tingkat Bhumi ke-10 hingga sekarang, lamanya telah mencapai ribuan
kali lipat perumpamaan di atas… Kewibawaan dan kekuatan ikrar Bodhisattva ini
sungguh tidak terbayangkan.”
Adapun
asal nama Ksitigarbha dapat ditelusuri dalam kitab San Bao Gan Ying Yao Lue Lu
(Catatan Intisari Kontak Batin dengan Triratna) (Tripitaka Taisho 2084)
tertulis: “Saat itu Bodhisattva Ksitigarbha berkata kepada Buddha, … Saya
teringat pada masa kalpa lalu yang tak terhitung, terdapat seorang Buddha
bernama Shao Guang Wang Fo (Buddha Raja Cahaya Membara). Setelah Buddha itu
Parinirvana, di masa Dharma Identik, saya tinggal di alam manusia awam. Ada
seorang pertapa di Gunung Juteluo yang mahir dalam kekuatan gaib. Saya melihat
orang-orang mendapat gangguan makhluk halus, seakan tiada bedanya bagaikan
orang tua mereka sendiri. Saat itu saya berikrar sebagai berikut: mencari guru
yang bajik untuk belajar cara menaklukkan makhluk halus. Lalu saya menuju
Gunung Juteluo dan menyampaikan maksud pada pertapa tersebut. Sang pertapa
sangat gembira dan dalam waktu tiga hari mengajarkan saya cara untuk mengetahui
segala ajaran dan mengikis perbuatan jahat. Kemudian saya mengumpulkan para
makhluk halus jahat itu di tempat saya. Berdasarkan ajaran guru, saya taklukkan
dan bimbing mereka agar mengembangkan hati yang bajik. Sesudah itu, dalam
sekejab semua makhluk yang menderita di alam neraka, masing-masing menaiki daun
teratai dan segala
penderitaan mereka berhenti. Saat itu, ketika pertapa itu menyaksikan saya
mendapatkan kekuatan yang betapa luar biasanya, memberikan peneguhan bagi saya
dengan berucap: dalam masa kehidupan yang tak terhitung dan tak terbatas,
Buddha memberikan peneguhan dengan nama Ksitigarbha. Di dalam dunia yang penuh
dengan lima kekeruhan, sering menjelma di alam manusia, dewa dan neraka,
membimbing para makhluk hidup agar terhindar dari bencana …”
Demikianlah
Ksitigarbha terus menjalankan praktik Bodhisattva tanpa jeda waktu. Meski tak
terhitung jumlah siswa bimbinganNya yang telah mencapai keBuddhaan, namun
Ksitigarbha tetap masih berstatus sebagai Bodhisattva. Dalam Ksitigarbha
Bodhisattva Purva Pranidhana Sutra disebutkan adanya dua raja yang berikrar.
Salah seorang raja berikrar: semoga saya secepatnya mencapai keBuddhaan,
kemudian menyelamatkan makhluk hidup. Raja yang lain berikrar: bila tidak
menolong habis semua makhluk hidup yang menderita agar mereka memperoleh
kebahagiaan hingga mencapai keBuddhaan, maka saya selamanya tidak ingin menjadi
Budha. Raja yang pertama kini telah mencapai Penerangan Sempurna dengan sebutan
Sarvajnasiddha Tathagata, sedang raja kedua adalah Bodhisattva Mahasattva
Ksitigarbha. Karena itulah Ksitigarbha dikenal pula sebagai Bodhisattva dengan
Ikrar Teragung.
Namun
jangan salah dimengerti dengan beranggapan bahwa Ksitigarbha benar-benar belum
mencapai keBuddhaan. Dalam kalpa masa lalu yang tak terhingga lamanya, menurut
Zhan Cha Shan E Ye Bao Jing (Sutra Penyelidikan Buah Karma Baik dan Buruk),
Ksitigarbha sesungguhnya telah mencapai Kebuddhaan karena buah praktik
paramitaNya telah matang, namun sehubungan dengan ikrar agungNya, Ksitigarbha
tetap terus menjelma di sepuluh penjuru semesta ini dengan kekuatan
kebijaksanaanNya bagi kebahagiaan semua makhluk.
Satu
pandangan yang tersebar luas di kalangan masyarakat awam selama ini adalah
adanya anggapan bahwa Ksitigarbha adalah penjaga atau raja neraka. Banyak
vihara Mahayana yang menempatkan rupang Ksitigarbha dalam ruang abu kremasi
umat di vihara bersangkutan. Para umat yakin bahwa sanak keluarga yang telah
meninggal itu akan dapat terbebas dari penderitaan di bawah bimbingan
Ksitigarbha.
Pada
satu sisi, kesan ini tidak dapat sepenuhnya disalahkan. Ksitigarbha menyatakan
ikrar luhur untuk menyelamatkan makhluk hidup yang terjatuh di alam paling menderita.
Di mana lagi alam yang paling menderita jika bukan di neraka? Hal ini dapat
terlihat dalam ikrar luhur Ksitigarbha: “Semua makhluk terbebaskan, baru meraih
Pencerahan. Alam neraka belum kosong, bersumpah tidak menjadi Buddha.”
Namun
pada sisi lain, pemahaman manifestasi Ksitigarbha semestinya tidak dimaknai
sebatas persepsi sebagai penjaga neraka saja. Manifestasi penyelamatan makhluk
alam neraka hanya merupakan salah satu dari misi mulia yang diembanNya karena
Ksitigarbha sering pula menampakkan diri dalam wujud raja dewa, Pratyeka
Buddha, dan lain sebagainya. Ksitigarbha menggunakan berbagai upaya kausalya
(metode tepat guna) untuk membantu makhluk yang berjodoh, tak peduli di manapun
makhluk itu berada. Tapi kita harus tahu bahwa pada masa Dharma Akhir ini,
nilai-nilai moralitas semakin tidak dihargai, sifat individualistis dan egoisme
semakin kental, serta manusia semakin rentan terhadap berbagai konflik
kepentingan. Menilik kondisi seperti ini, jelaslah sudah bahwa tingkat resiko
untuk terjatuh ke alam neraka jauh lebih memungkinkan, maka tepatlah bila
Ksitigarbha menjadikan pintu neraka sebagai basis utama dalam menolong dan
menyadarkan kita semua. Ini adalah semangat Bodhisattva yang sesuai dengan yang
diajarkan oleh Buddha: “Jika bukan saya yang masuk ke alam neraka [untuk
memberi pertolongan], siapa lagi yang [mau] masuk ke neraka?”
Itulah
sosok Ksitigarbha, Maha Bodhisattva yang memiliki ikrar paling agung. Ikrar
agung itu bagaikan bumi yang luas yang tak membeda-bedakan semua benda yang
bertumpu padanya, pun bagaikan bumi yang di dalamnya terkandung tambang permata
dan enerji yang dahsyat. Demikianlah kebijaksanaan maha sempurna yang dimiliki Ksitigarbha
yang terkandung dalam ikrar yang paling agung demi terwujudnya kebahagiaan
semua makhluk.
Oleh: Ching Ik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar