Senin, 06 Februari 2012

Master Kuang Chin (1892-1986)




廣欽老和尚


“Tidak datang juga tidak pergi, tidak ada masalah.”
Jejak agung ini dipersembahkan oleh: Tjahyono Wijaya

Dari Taipei, Chang (70) dengan didampingi cucu perempuannya menuju Vihara Miao Tung, Kaohsiung, Taiwan. Setiba di sana ternyata relik telah habis ‘diserbu’ para umat. Ia menangis di depan tungku pembakaran kremasi, lalu meraup abu kremasi dan membungkusnya dengan sapu tangan. Selama perjalanan kembali ke Taipei, ia tak hentinya Nianfo (melafalkan Amituofo). Sesampai di rumah, terjadilah keajaiban, di dalam abu kremasi itu ditemukan 30 butir relik berukuran besar dan kecil. Ada pula seorang umat yang bersujud di depan tungku pembakaran kremasi selama satu malam, saat fajar merekah ia menemukan sebutir relik yang cukup besar di dekat lututnya.
Dua hal di atas adalah sebagian dari keajaiban yang terjadi seputar relik Master Kuang Chin (baca: Kuang Jin).
Master Kuang Chin, atau lebih akrab disebut Kuang Lao, salah satu sesepuh Buddhisme Tiongkok kontemporer dengan kisah hidup yang sangat patut dijadikan tauladan. Kuang Lao hidup dalam kesederhanaan, praktisi pelatihan diri yang keras dan disiplin,13 tahun sebagai “Manusia Goa”, menjinakkan harimau buas, monyet mempersembahkan buah bagi beliau, dhyana (meditasi khusuk) selama beberapa bulan sehingga hampir saja dianggap meninggal, tahu akan datangnya angin taifun, membebaskan makhluk alam preta dari penderitaan (Chao Du), dikenal sebagai “Bhiksu Buah” (hanya makan buah selama usia 55-84 tahun), tidak tidur berbaring serta sebelumnya mengetahui hari wafat beliau.
Kuang Lao lahir tahun 1892 (Imlek tanggal 26 bulan 10) di Hui An, Fujian. Usia 4 tahun dijual pada keluarga marga Li demi menutup biaya pernikahan kakaknya. Si kecil Kuang Lao bertubuh lemah dan sakit-sakitan, namun memiliki akar kebijaksanaan, sejak usia 7 tahun mengikuti sang ibu memeluk Buddhisme dan vegetarian. Tahun 1900, ibu angkat meninggal. Dua tahun kemudian, ayah angkat juga meninggal. Sanak famili menganjurkannya ke Nanyang untuk belajar mandiri. Di sana ia bekerja sebagai tukang sapu, penanak nasi dan pekerjaan kasar lainnya. Kuang Lao menyadari betapa tidak kekalnya kehidupan ini, oleh sebab itu ia kemudian menghibahkan sawah ladang yang diwariskan orang tua angkatnya kepada para sanak famili dan menuju Vihara Cheng Tian, Quanzhou, Fujian untuk menjadi bhiksu.
Tahun 1911, menerima Trisarana dan menjadi bhiksu di bawah bimbingan Master Rui Fang, seorang praktisi pelatihan diri yang ketat. Kuang Lao berlatih diri dengan ketat, memakan makanan yang tidak dimakan oleh manusia awam, tidak tidur berbaring dan tekun dalam Nianfo. Tahun 1933 setelah menerima penahbisan penuh dari Master Miao Yi, Kuang Lao menetap di sebuah goa di lereng Gunung Qingyuan, Quanzhou, Fujian. Beliau berlatih meditasi Chan dan Nianfo. Setelah bekal beras habis, maka ubi dan buah-buahan hutan menjadi alternatif pengganjal perut. Selama kurun waktu inilah terjalin tali persahabatan dengan monyet dan harimau gunung.
Suatu kali penduduk desa menemukan Kuang Lao sudah berbulan-bulan tidak makan ataupun beraktivitas. Mereka menemukannya duduk bermeditasi, tidak bergerak dan tanpa nafas. Master Hong Yi yang sedang membabarkan Dharma di sekitar wilayah itu beserta Master Zhuan Chen, pimpinan Vihara Cheng Tian, segera naik gunung. Ternyata Kuang Lao dalam keadaan samadhi (Ru Ding). Dengan tiga kali ketukan jari, Master Hong Yi memanggil Kuang Lao agar keluar dari kondisi samadhi.
1945, Kuang Lao kembali menetap di Vihara Cheng Tian. 1947, tiba di Taiwan. Akhir tahun yang sama sering menetap di Vihara Fa Hua di Taipei. Beliau melakukan Chao Du bagi beberapa makhluk alam preta (hantu) warga Jepang yang berada di dalam vihara itu. 1948, mendirikan Vihara Kuang Ming. 1950, mendirikan Vihara Kuang Cao. 1952-1955, menetap di Ri Yue Tong (Goa Mentari Rembulan), seekor ular raksasa menerima Trisarana dari Kuang Lao. 1960-1965, merampungkan pembangunan Vihara Cheng Tian (Chan). 1969, mendirikan Vihara Kuang Cheng Yan. 1982, mengutus murid pendamping beliau, Master Chuan Wen, membangun Vihara Miao Tung di Liu Kui, Kaohsiung.

9 Feb (1 Imlek) 1986 dini hari, menyampaikan amanat terakhir di depan seluruh siswa dan penghuni Vihara Cheng Tian, berpesan agar pada nantinya abu kremasi ditempatkan terpisah di tiga tempat, yakni Vihara Cheng Tian, Kuang Yan dan Miao Tung. Pagi hari itu juga beliau menuju Vihara Miao Tung.
Setiba di Vihara Miao Tung, Kuang Lao Nianfo siang dan malam. 13 Feb 1986 sekitar pukul 2 sore, tiba-tiba berucap: “Tidak datang juga tidak pergi, tidak ada masalah.” Kuang Lao menganggukkan kepala pada para siswa, lalu duduk bermeditasi dengan memejamkan mata. Beberapa waktu kemudian para siswa baru menyadari bahwa beliau telah ‘pergi’ dalam iringan alunan suara Nianfo.
Kuang Lao adalah tokoh Buddhis yang low profile, hal ini terlihat dari metode pelatihan diri yang beliau lakukan. Pun meski dikenal dekat dengan pemerintah Taipei, khususnya almarhum Presiden Chiang Ching Kuo (putra Chiang Kai Shek), namun Kuang Lao tidak pernah memanfaatkan hubungan ini demi kepentingan diri sendiri. Salah satu nasehat beliau bagi Chiang adalah: “Segala kekuatan muncul dari ‘konsentrasi’, namun hanya dalam kondisi ‘tenang’ baru dapat ‘berkonsentrasi’. Seseorang yang dapat menenangkan diri di lingkungan yang tenang, ini tidak dapat dikatakan sebagai ‘konsentrasi’. Di waktu dalam belitan masalah namun mampu menenangkan diri, inilah yang disebut konsentrasi.”
Membaca riwayat hidup Kuang Lao membuat kita teringat akan satu kemiripan dengan Master Hui Neng (Sesepuh Chan Tiongkok ke-6). Persamaan kedua tokoh besar ini adalah: buta huruf, jarang mempelajari ataupun membabarkan Sutra. Kuang Lao mengatakan, “Tidak perlu membaca Sutra, makin banyak membaca makin bingung. Dalam menghadapi setiap hal hanya satu ucapan: Amituofo, baik dalam keadaan gembira ataupun sedang dibelit masalah. Jauhkan diri dari pertengkaran, juga satu ucapan Amituofo. Lakukan Nianfo dengan hati yang tenang. Nianfo hingga tertidur juga baik. Satu pelafalan (satu pikiran tidak muncul) dapat terbebas dari tiga alam (Nafsu, Rupa, Arupa); satu pelafalan (melafalkan namun tanpa pelafalan) akan tiba di Sukhavati. Berlatih diri adalah mata seakan-akan tidak melihat, telinga tidak mendengar (tidak melihat dan mendengar hal-hal yang memunculkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin, red), Nianfo dengan tulus. Sekarang mata kalian semua terbuka lebar-lebar dan perhatikan dengan seksama. Berlatih diri adalah makin tidak dikenal orang makin baik.”
Tetapi hendaknya jangan salah paham akan maksud ucapan Kuang Lao. Seorang bhiksu bertanya, “Pembabaran Buddha Dharma di zaman kini harus menggunakan metode apa sebagai jalan tengah?” Kuang Lao, “Ai! Tadi baru saja diucapkan. Kalian membabarkan Dharma dengan metode pendidikan dan penelitian, sedang saya dengan metode Nianfo. Keduanya sama pentingnya.”
Kuang Lao juga mengatakan, “Sutra itu di mana? Sutra berada dalam hati kita. Tetapi ini bisa kalau kebijaksanaan telah terbuka, bila tidak, membaca Sutra bisa membuat kita bingung. Bila kebijaksanaan terbuka maka Sutra yang kita baca terasa seakan sangat kita kenali, bahkan dapat (membawa kita) mengalami pencerahan akan hal yang lain.” Dalam kesempatan lain Kuang Lao menjelaskan: “Bila ada waktu gunakan untuk membaca Sutra. Sutra adalah untuk dimengerti, tahu bagaimana mempraktikkannya, bukan sekedar diucapkan kembali. Ada orang yang membaca Sutra seperti layaknya masyarakat awam, tidak ada tambatan perlindungan, akibatnya banyak membaca tambah bingung.” Kuang Lao sendiri menyarankan kita banyak membaca Sutra Intan agar terbebas dari kemelekatan.
Yang menjadi pertanyaan kita selanjutnya adalah: Kuang Lao adalah praktisi Chan atau Sukhavati? Beliau adalah praktisi keduanya. Jelasnya, setelah mengalami Nianfo Sanmei (Samadhi Nianfo) barulah Kuang Lao melakukan praktik Chan. Tahun 1933 Kuang Lao mengikuti retret Foqi (Nianfo tujuh hari) di Gushan, Fuzhou. Saat tenggelam dalam alunan suara Nianfo, tiba-tiba tubuh dan pikiran terasa damai, serasa berada di tempat lain, yang terlihat adalah suara burung, harumnya bunga, tiupan angin, dan rumput yang bergoyang, yang kesemuanya sedang melafalkan Buddha, Dharma dan Sangha. Penglihatan ini berlangsung terus menerus tanpa henti selama 3 bulan. Kuang Lao, yang sering menganjurkan para siswa untuk Nianfo, menuturkan pengalaman Nianfo Sanmei ini pada Doctor King dari USA, “Itu benar-benar nyaman. Hanya saja ini adalah pengalaman dalam pikiran saya, apa benar Nianfo Sanmei, ini adalah referensi dari saya untuk Anda. Saya rasa ini adalah Nianfo Sanmei, bagaimana anggapan Anda, itu adalah urusan Anda.”

Seorang praktisi luhur telah meninggalkan kita secara jasmaniah, namun wejangan-wejangan praktis beliau tetap akan hadir dalam hati kita semua. Kini bagaimana kita harus bertingkah laku agar wejangan Guru Buddha dan para Sesepuh itu tidaklah menjadi sia-sia? Mungkin kita bisa mengikuti petunjuk Kuang Lao yang diberikan bagi para siswa non-perumah tangga: “Bangun tidur pertama-tama usaplah kepala, mengapa meninggalkan kehidupan rumah tangga? Demi terbebas dari proses kelahiran dan kematian. Oleh sebab itu tingkatkanlah semangat menempuh Jalan Suci.”
Setelah mengenal jejak agung Kuang Lao, sebagai seorang siswa perumah tangga yang baik, sudah sewajarnya bila setiap bangun tidur kita juga belajar mengusap dada dan bertanya pada diri sendiri: “Mengapa menjadi siswa Buddha?” Dan sebelum membicarakan (keburukan) orang lain, rundingkan lebih dulu dengan ini (menunjuk ke hati), seperti yang diajarkan Kuang Lao.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar