鸠摩罗什大师
Guru Besar Penerjemah Kitab Suci dari Tujuh Buddha Masa
Lalu.
Jejak Agung ini di persembahkan oleh : Tjahyono Wijaya.
Sekilas Master
Kumarajiva
Jauh
sebelum abad ke 5 Masehi, ratusan kitab suci agama Buddha telah di alihbahasakan
ke dalam bahasa Tionghoa. Namun pada masa-masa itu makna sejati Buddha Dharma
masih belum benar-benar terserap secara signifikan bagi perkembangan Buddhisme
di Tiongkok. Hasil setiap terjemahan belum merefleksikan makna ajaran Buddha secara
tepat karena sistem transliterasinya masih banyak mengadopsi dari terminologi
Taoisme dan Konfusianisme. Dengan kata lain, pemaknaan Dharma yang
diinterpretasikan melalui sudut pandang Taoisme/Konfusianisme masih sangat
kental. Namun sistem itu kemudian mengalami perubahan drastis
setelah
kedatangan seorang tokoh besar yang dengan kepiawaiannya merestrukturisasi dan
mereformasi sistem penerjemahan hingga menjadikan agama Buddha mengalami titik
balik bagi kemajuannya di Tiongkok. Bagi orang yang telah sering membaca kitab
suci Mahayana, nama tokoh ini tidak asing lagi, dialah, Kumarajiva.
Kumarajiva,
lahir pada tahun 343 Masehi (ada juga yang menyebut tahun 344 M), adalah Master
Tripitaka terkemuka pada era antara Dinasti Jin-
Timur
di Tiongkok Selatan hingga Qin-Belakangan di Tiongkok Utara.
Beliau
merupakan salah satu tokoh besar penerjemah kitab suci Buddha bahasa Tionghoa
yang sejajar dengan Paramartha (499- 569), Xuanzang (sekitar 600-664),
Amoghasiddhi (705-774) dan Yijing (635-713).
Ditilik
dari proses pembelajaran Dharma, pada awalnya Kumarajiva adalah seorang
praktisi tradisi Sarvastivada, kemudian beralih ke tradisi Mahayana
mendalami
filosofi Madhyamika dari Nagarjuna.
Lahirnya
tradisi Sanlun (Tiga Shastra), Tiantai, Jingtu (Tanah Murni), bahkan Chan (Zen)
di Tiongkok, tak terlepas dari kontribusi Kumarajiva yang mana Sutra dan
Shastra (Sastra) acuan beberapa tradisi itu merupakan hasil terjemahan beliau.
Lidah Tetap Utuh
Setelah Kremasi
Sebagai
seorang guru dan penerjemah kitab suci, kemampuan Kumarajiva menempati reputasi
yang tinggi. Di samping karena fakta dunia cendekiawan Buddhis lebih banyak
menggunakan acuan terjemahan beliau, terdapat satu kejadian unik yang mencerminkan
kejeniusan Kumarajiva bukan tanpa alasan. Saat menjelang kemangkatannya (413),
di
hadapan
para siswa, beliau berkata, “Dengan segala ketulusan, saya berikrar: bila Sutra
dan Sastra yang saya terjemahkan benar-benar sesuai dengan makna sejati Buddha,
maka setelah tubuh saya diperabukan, lidah saya tidak akan hancur!” Alhasil,
ternyata setelah dikremasikan, lidah Kumarajiva tetap utuh bahkan tampak merah
berkilau.
Lebih-lebih
lagi, Kumarajiva juga diyakini sebagai penerjemah Kitab Suci dari tujuh Buddha
masa lalu. Dikisahkan pada masa Dinasti Tang, Master
Daoxuan,
seorang praktisi Vinaya (tradisi Lu) di Gunung Zhongnan, menerima persembahan
makanan setiap hari dari para dewa karena keteguhannya mempraktikkan Vinaya.
Suatu ketika Daoxuan yang telah berusia lanjut tiba-tiba terjatuh. Putra Dewa Vaisravana
(satu dari Empat Maha Raja Dewa di konstelasi utara) segera memapahnya.
Pada
kesempatan itu Daoxuan bertanya, “Mengapa para umat senang membaca Sutra hasil terjemahan
Master Kumarajiva?”
Sang
dewa menjawab, “Master Kumarajiva adalah penerjemah kitab suci dari tujuh Buddha
masa lalu – Sutra yang diwejangkan oleh tujuh Buddha diterjemahkan oleh beliau–
karena dalam setiap kehidupan beliau selalu
berikrar:
‘Bila ada Buddha muncul di dunia, saya akan datang menerjemahkan Kitab Suci!’
Selama
munculnya tujuh Buddha dari masa lalu hingga saat ini, Kumarajiva selalu
menjadi guru penerjemah Kitab Suci. Karena itu, Kitab Suci yang diterjemahkan
beliau tidak memiliki sedikit kesalahan pun.”
[Tujuh
Buddha yang dimaksud adalah Buddha Vipasyin, Sikhin, Visvabhu, Krakucchanda,Kanahamuni,
Kasyapa dan Sakyamuni.]
Begitu
tinggi reputasi Kumarajiva, bahkan dikisahkan juga bahwa para penguasa pun rela
menggerakkan ribuan pasukan untuk mendapatkan beliau.
Ramalan Tentang
Tokoh Bijaksana dari India
Mengapa
para penguasa begitu haus mendapatkan Kumarajiva? Sebelumnya kita perlu memahami
secara singkat gambaran sejarah agama Buddha dan peta politik Tiongkok pada akhir
abad ke-3 Masehi hingga abad ke-5.
Pada
masa-masa ini, Tiongkok menghadapi periode yang penuh gejolak. Setelah kematian
Kaisar Jin Wudi (290 M), Dinasti Jin-Barat memasuki masa gelap. Berbagai
pemberontakan muncul di mana-mana. Wilayah utara Tiongkok pun terpecah menjadi
16 kerajaan. Lantas, di antara 16 kerajaan ini, terdapat kerajaan yang wilayah kekuasaan
dan pengaruhnya cukup besar, seperti Zhao-Belakangan, Qin-Awal, Qin-Belakangan dan
Liang-Utara. Di kerajaan-kerajaan inilah, agama Buddha mendapat sokongan yang
cukup
besar
dari para penguasanya. Penguasa Qin-Belakangan, yakni Raja Fujian adalah salah
satu contoh dari raja yang sangat menghargai para bhiksu dan cendekiawan bijak
bagaikan pusaka kerajaan. Tahun 378 M, Fujian mengerahkan pasukan menaklukkan
kota Xiangyang demi
memboyong
pusaka Buddhis, Master Dao-an –pencetus marga Shi (Sakya) bagi bhiksu Tiongkok,
ke ibukota Chang’an.
Suatu
ketika, seorang ahli perbintangan berkata kepada Raja Fujian: “Di India
sekarang ini terdapat seorang maha bijaksana yang kelak akan datang ke Zhendan
(Tiongkok) untuk melindungi Zhendan. Orang maha bijaksana
ini
adalah Kumarajiva. Di India, orang-orang sangat menghormatinya karena ia
memiliki kebijaksanaan...” Demikianlah ramalan ini diucapkan hingga membuat
Raja Fujian menjadi sangat ambisius untuk mendapatkan pusaka berikutnya,
Kumarajiva.
Cuma
saja, Fujian mati terbunuh sebelum sempat bertemu dengan Kumarajiva.
Keluarga yang Luar
Biasa
Kumarajiva
berasal dari keluarga aristokrat. Ayah beliau, Kumarayana, adalah putra seorang
perdana menteri sebuah kerajaan di India.
Kumarayana
yang seharusnya mewarisi jabatan perdana menteri menurut adat waktu itu, justru
memilih kehidupan monastik untuk menjadi bhiksu. Demi tugas menyebarkan Buddha
Dharma, Kumarayana meninggalkan India menuju Kerajaan Kucha (sekarang wilayah
Xinjiang, Tiongkok).
Setelah
tiba di kerajaan yang terletak di Asia Tengah ini, adik perempuan Raja Kucha,
yakni Putri Jiva, langsung jatuh hati pada Kumarayana
pada
pandangan pertama. Raja Kucha lalu memaksa Kumarayana menanggalkan jubah untuk
menikahi adiknya.
Anak Bijaksana
dalam Kandungan
Saat
mengandung Kumarajiva, sang ibu mengalami hal yang ajaib. Berubah menjadi lebih
cerdas, dengan cepat memahami Buddha Dharma, mampu berbahasa Sansekerta, pun
tangkas berdebat dalam Buddha Dharma.
Seorang
Arhat (Arahat) di masa itu mengatakan bahwa anak dalam kandungan Jiva pasti
adalah seorang yang sangat bijaksana seperti halnya Sariputra yang saat masih
dalam kandungan membantu meningkatkan kebijaksanaan sang ibu.
Mati atau Menjadi
Bhiksuni
Tak
lama setelah kelahiran Kumarajiva,Sang ibu, Jiva, malah ingin menjadi bhiksuni.Namun
keinginan ini ditentang oleh Kumarayana.
Tiga
tahun kemudian Jiva melahirkan putra ke-2. Suatu saat ketika meninggalkan
istana, Jiva melihat setumpukan tengkorak di lokasi makam
tak
terurus, ini semakin menguatkan tekadnya untuk menjadi bhiksuni. Tetapi
Kumarayana mati-matian menentangnya. Sangat ironis! Pada awalnya Kumarayana
seorang bhiksu yang dipaksa menikahi
Jiva,
kini justru Kumarayana yang menentang Jiva menjadi bhiksuni.
Tekad
yang teguh mendorong Jiva melakukan aksi mogok makan dan minum demi tercapainya
tujuan mulia. Menginjak hari ke- 6, hati Kumarayana akhirnya luluh. Tak lama setelah
menjadi bhiksuni, Jiva mencapai kesucian Srotapanna.
Mengikuti Jejak
Sang Ibu
Tahun
350, Kumarajiva yang baru berusia 7 tahun mengikuti jejak sang ibu, ia menjadi
sramanera. Dua tahun kemudian ibunya membawanya ke Kashmir dan belajar di bawah
bimbingan Bhiksu Bhandhudatta, guru ternama dari tradisi Sarvastivada.
Kumarajiva mempelajari Sutra Agama (Dirghagama, Madhyamagama, Samyuktagama). Di
Kashmir ini Kumarajiva
memenangkan
perdebatan dengan para tokoh agama non-Buddhis.
Mempelajari Tradisi
Mahayana
Tahun
355, dalam perjalanan pulang kembali ke Kucha, Kumarajiva dan
ibunya
berjumpa dengan seorang Arhat di wilayah Kerajaan Kushan
(Asia
Tengah). Arhat itu mengatakan bahwa Kumarajiva akan berjasa
mengembangkan
Buddha Dharma bila hingga usia 35 tahun tidak
melanggar
Sila.
Setiba
di Kashgar, Kumarajiva mempelajari Abhidharmapitaka dari tradisi Sarvastivada
dari seorang guru berkebangsaan Kashmir bernama Buddhayasa. Bukan itu saja,
Kumarajiva juga belajar pengetahuan yang berasal dari India seperti: Kitab
Veda, sastra, ilmu pengobatan, kesenian, perbintangan dan ilmu meramal.
Suatu
ketika dalam kegiatan membabarkan Dharma, Kumarajiva bertukar pandangan dengan Suryasoma,
bhiksu dari Shache (Yarkand). Kumarajiva kemudian menjadi murid Suryasoma
mendalami Sunyavada dari Nagarjuna yang merupakan tradisi Mahayana.
Guru adalah Murid,
Murid adalah Guru
Ketika
Kumarajiva dan ibunya melanjutkan perjalanan hingga ke Turfan, Raja Kucha
mengirim utusan menjemput mereka kembali ke Kucha.
Tahun
363, datanglah seorang bhiksu dari Kashmir bernama Vimalaksa, praktisi
Vinayapitaka tradisi Sarvastivada. Kumarajiva ditahbiskan menjadi bhiksu penuh dan
menjalankan Vinaya di bawah bimbingan Vimalaksa. Kelak setelah menetap di
Chang-an, Tiongkok, Kumarajiva mengundang Vimalaksa
untuk
bersama-sama mengajar dan menerjemahkan Vinayapitaka Sarvastivada.
Tidak
lama setelah itu, sang ibu meninggalkan Kumarajiva
menuju
India dan pada akhirnya mencapai kesucian Anagami. Bila sang ibu berjodoh
dengan India, maka Kumarajiva berjodoh dengan Tiongkok.
Suatu
hari datanglah Bhandhudatta, guru Kumarajiva semasa di Kashmir. Akhirnya
hubungan guru dan murid itu berbalik menjadi hubungan murid dan guru. Bila sebelumnya
Bhandhudatta menjadi guru Kumarajiva mengajarkan tradisi Sarvastivada, kini
Kumarajiva menjadi guru Bhandhudatta mengajarkan tradisi Mahayana.
Inilah
kebesaran jiwa penerapan anatta yang diteladankan oleh dua guru mulia bagi kita
semua.
Penghinaan dalam
Bentuk Kehidupan Perumahtangga
Kabar
popularitas dan reputasi Kumarajiva akhirnya berhembus hingga ke Tiongkok. Raja
Fujian, yang kala itu menguasai wilayah utara Tiongkok, tahun 382 mengirim
seratus ribu pasukan di bawah pimpinan Jendral Luguang menuju Kucha. Bukan
untuk invasi, melainkan bermaksud mendapatkan Kumarajiva yang dianggap sebagai pusaka
kerajaan.
Kumarajiva
menasehati Raja Kucha untuk tidak melawan, namun tak digubris. Perlawanan dari
Raja Kucha dan koalisi kerajaan disekitarnya berhasil dipatahkan Luguang.
Luguang yang tidak mempercayai Buddha Dharma sangat tidak menghormati
Kumarajiva.
Ia
bahkan memaksa Kumarajiva menikahi putri raja Kucha. Demi merealisasikan tujuan
mulia menuju Tiongkok, Kumarajiva bersabar
diri
mengikuti kehendak Luguang.
Saat
peristiwa pelanggaran Sila ini terjadi, Kumarajiva telah melampaui
usia
35 tahun.
Tahun
385, Kerajaan Qin- Awal runtuh setelah Sang Raja- Fujian - terbunuh dalam
kudeta yang dilancarkan oleh Yaochang, lalu berdirilah Kerajaan Qin-Belakangan.
Di
pihak Jenderal Luguang sendiri, karena mengetahui kabar jatuhnya kekuasaan
Fujian, maka dia sendiri kemudian memproklamirkan diri sebagai raja di
Liangzhou. Saat itu Luguang mengangkat Kumarajiva sebagai penasehat. Di pihak
Raja Yaochang, beliau juga mengirim utusan untuk mengundang Kumarajiva, namun
permintaan ini ditolak oleh Luguang.
Tahun
394 M, Yaochang meninggal dan digantikan putranya, Yaoxing. Sedangkan tahun 399
M Luguang juga meninggal, dan terjadilah perebutan kekuasaan hingga akhirnya Lulong
menjadi raja. Di tahun 401 M, pasukan Yaoxing berhasil menaklukkan Raja Lulong,
dan Kumarajiva akhirnya
diboyong
ke Chang-an yang mana pada saat itu usianya telah menginjak
58
tahun. Berakhirlah sudah aral rintangan yang menghambat Kumarajiva menginjakkan
kaki ke tanah Tiongkok.
Kegiatan
Penerjemahan yang Mulia dan Akbar
Setelah
menetap di ibukota Chang’an, Raja Yaoxing memperlakukan
Kumarajiva
dengan penuh hormat dan mengangkatnya sebagai Guru
Kerajaan
(Guoshi). Kumarajiva segera mengorganisir kegiatan penerjemahan Kitab Suci
Buddhis yang melibatkan 800 personil. Antara tahun 401-413, Beliau berhasil
menyelesaikan terjemahan kitab sebanyak 74 judul dengan total 384 jilid.
Beberapa
Sutra terjemahan beliau yang tidak asing bagi kita adalah
Sutra
Intan, Sutra Saddharmapundarika,Sutra Amitabha, Sutra Vimalakirti,
Sutra
Brahmajala (Sila Bodhisattva),Sutra Maitreyavyakarana, Sutra
Shurangama-samadhi,
Sutra Prajnaparamita, Shastra Madhyamaka,
Shastra
Shatika, Mahaprajnaparamita Upadesha, Riwayat Nagarjuna,
Riwayat
Asvaghosa, Vinayapitaka Sarvastivada (Ten Category Vinaya)
dan
Sutra Agama.
Selain
menggores tinta intan dalam Sutra bahasa Tionghoa,
Kumarajiva
juga mencetak beberapa murid kenamaan, antara lain:
Daosheng,
Sengzhao, Daorong dan Sengrui. Master Huiyan - patriak
pertama
mazhab Jingtu – yang menetap di Gunung Lu juga sering
mengutus
siswanya untuk belajar pada Kumarajiva, dan Huiyan sendiri juga
sering
berdiskusi dengan Kumarajiva melalui surat.
Penghormatan dalam
Bentuk Kehidupan Perumahtangga
Raja
Yaoxing merasa saying jika Kumarajiva yang sangat bijaksana
tidak
memiliki keturunan, sebab itu ia menginginkan Kumarajiva menikahi 10 orang
dayang istana. Bila pernikahan semasa Luguang adalah penghinaan, maka
pernikahan kali ini adalah bentuk penghormatan. Menghadapi kenyataan ini,
Kumarajiva berucap,
“Saya
sering merasa ada dua orang anak berdiri di atas pundak saya
menghambat
pelatihan diri.” Dua anak yang dimaksud adalah Luguang
dan
Yaoxing.
Beberapa
bhiksu lain juga berkeiginan meninggalkan hidup selibat mengikuti jejak
Kumarajiva.
Suatu
ketika saat makan bersama,Kumarajiva mengatakan, “Jika kalian
sanggup
makan semangkok paku seperti saya, maka saya mengizinkan
kalian
beristri.” Kumarajiva lalu memakan habis semangkok paku itu.
Melihat
kejadian ini, para bhiksu itu mau tidak mau membatalkan keinginan
rendah
mereka.
Petik Teratai,
Jangan Ambil Lumpur Bau
Sesungguhnya
batin Kumarajiva juga sangat menderita atas berlangsungnya dua kali pernikahan paksaan
yang dilakukan beliau. Oleh karena itu beliau menasihati para murid agar dalam
dunia yang keruh ini “memetik teratai, tapi jangan mengambil lumpur yang bau”.
Kisah
hidup Kumarajiva sangat mengiris hati. Demi menggenapi ikrar sebagai penerjemah
beliau harus melampaui banyak aral rintangan. Karena beliaulah maka jatuh
korban di negeri Kucha; demi misi mulia penerjemahan Sutra dan perkembangan
Buddha Dharma, beliau dipaksa oleh situasi untuk menodai Vinaya kebhiksuan.
Namun semua pengorbanan itu akhirnya melahirkan terjemahan yang membangkitkan Buddha
Dharma pasca era kemusnahan di India.
Bagaimana
kita harus membalas budi dan meneladani jejak agung Kumarajiva ini? Seperti
yang dianjurkan alm. Master Hsuan Hua
(City
of Ten Thousand Buddhas):
Kita
harus berikrar untuk mengembangkan Buddha Dharma, juga menerjemahkan Kitab
Suci, sebagai bentuk pelestarian semangat Master Tripitaka Kumarajiva!
Kumarajiva Pagoda
(SINAR
DHARMA )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar