Merangkai
Segitiga Dharma: Tiongkok – Sriwijaya - India
Sergapan
Bandit
Ia adalah orang Shandong yang perkasa, namun serangan
demam dan jalanan gunung yang mendaki membuatnya semakin tertinggal jauh di
belakang rombongan. Tiba-tiba muncul 7-8 orang lelaki kekar bersenjatakan pisau
dan panah. Ia terperanjat. “Amituofo! Tak terduga harus meninggal di tempat
ini!” Benar, ia tak menyangka bakal mengalami hal ini di tanah suci yang
diimpikannya semenjak kecil.
Tak menemukan harta benda yang bisa diambil, para
bandit itu mengalihkan sasaran ke pakaian yang dikenakannya. Ia ditinggalkan
dalam keadaan telanjang bulat. Ia lalu melumuri tubuhnya dengan lumpur dan
menutupnya dengan dedaunan. Dengan bertumpu pada tongkatnya, ia memaksakan
tubuhnya yang lemah dan sakit itu untuk meneruskan perjalanan mengejar
rombongannya. Malam pun jatuh. Dalam keadaan gelap gulita tanpa penerangan,
tiba-tiba terdengar teriakan: “Yijing…!” Dashengdeng beserta beberapa bhiksu
Nalanda muncul dengan obor di tangan.
Demikianlah salah satu pengalaman mendebarkan yang
dialami Maha Bhiksu Yijing dalam perjalanan menggali permata Vinaya Pitaka di
India.
Bagi kita yang hidup di zaman modern, perjalanan ke
India kedengarannya sangat sepele, namun tidak bagi para praktisi di zaman
dahulu. Tak sedikit aral rintangan dan bahaya yang dihadapi para bhiksu yang
menuju India, sehingga tak heran bila hanya beberapa saja dari ratusan bhiksu
‘petualang’ yang berhasil kembali dan mengembangkan Buddha Dharma di Tiongkok.
Dalam 2.000 tahun perjalanan sejarah agama Buddha di
Tiongkok, tercatat tiga orang bhiksu yang berhasil menembus India dan kembali
ke Tiongkok yang berlangsung dalam periode abad 4-8 M. Mereka adalah Faxian (Fa
Hsian, Fa Hien), Xuanzang (Hsuan Tsang) dan Yijing (I Tsing). Xuanzang dan
Yijing dikenal pula sebagai 2 di antara 5 tokoh penerjemah Sutra Buddhis
terbesar di Tiongkok.
Sergapan bandit yang dialami Yijing adalah salah satu
bentuk bahaya yang dapat mengakhiri hidupnya. Faxian dan Xuanzang juga
mengalami bahaya yang serupa. Hanya mereka yang berani dan pantang menyerah
demi kebahagiaan semua makhluk yang dapat mengalahkan semua rintangan itu.
Merekalah para Bodhisattva sejati.
Sepasang
Mutiara Memasuki Gerbang Dharma
Yijing (Zhang Wenming) lahir tahun 635 di keluarga
petani Buddhis sederhana di Licheng (sekarang kota Jinan, Shandong). Sejak usia
4 tahun Yijing telah dilatih untuk menghafal Sutra Intan (Jin-gang Jing) oleh
ayahnya.
Saat Yijing berusia 5 tahun penanggalan Imlek, terjadi
bencana kemarau. Para bhiksu dari Vihara Tuku membagikan bahan makanan bagi
penduduk sekitar. Bahan makanan itu ada yang didatangkan dari Vihara Shentong,
Tai Shan (Gunung Tai). Si kecil Yijing diajak sang ayah menuju Vihara Tuku. Di
sana Yijing mendapat pujian dari dua Master Vihara Shentong, Shanyu dan Huizhi.
Bencana kemarau tahun itu adalah bencana terbesar yang
pernah terjadi dalam seratus tahun terakhir. Jadi selain bantuan makanan dari
vihara, tetap diperlukan dukungan dana dari umat. Ayah Yijing mendanakan
sebutir mutiara sebesar ibu jari yang merupakan warisan leluhur keluarga
mereka. Saat itu pula ayah Yijing berpikir, bagaimana kalau beliau juga
mempersembahkan Yijing bagi Buddha Dharma? Demikianlah, akhirnya sepasang
mutiara itu (harta pusaka dan Yijing) memulai babak baru mereka menapak
memasuki Gerbang Dharma.Dua tahun kemudian setelah genap berusia 7 tahun,
Yijing menetap di Vihara Shentong menjadi murid Master Shanyu dan Master
Huizhi. Yijing dididik langsung oleh Shanyu, yang menekankan pada pendidikan
literatur Buddhis. Tahun 646, ketika Yijing berusia 12 tahun, Shanyu berpesan
agar Yijing tidak terpaku secara harafiah dalam memahami Sutra Buddhis, serta
mengatakan tiga hari lagi akan mangkat. Tiga hari kemudian Shanyu wafat. Sejak
itu Yijing dididik oleh Huizhi yang menitikberatkan pada meditasi, Sila dan
pelantunan Sutra.
Kala itu, untuk menjadi bhiksu harus lulus ujian
negara. Namun kekaisaran Tang waktu itu sudah sekian lamanya tidak
menyelenggarakan ujian kebhiksuan. Sebab itu, meski menetap bertahun-tahun di
vihara, Yijing tetap bukan sramanera. Akhirnya kesempatan itu tiba juga. Tahun
645, Xuanzang kembali ke Tiongkok dari perjalanan panjangnya ke India. Beliau
mengusulkan pada kaisar untuk merekrut generasi muda Sangha yang berkualitas
dari seluruh negeri. Tahun 648, Yijing berhasil lulus ujian kebhiksuan dan
resmi menjadi sramanera.
Berikrar
Mengikuti Jejak Faxian dan Xuanzang
Tak perlu waktu lama bagi Yijing untuk membaca habis Fo
Guo Ji (Catatan Negara Buddha) yang merupakan catatan perjalanan Faxian ke
India. Dengan gembira ia memberitahukan hal ini pada Huizhi, namun ia hanya
menerima sebuah senyuman dari Huizhi. Yijing yang cerdas paham makna senyuman
itu, dalam kebisuan sang guru menyatakan tidaklah cukup bila hanya membaca satu
kali saja.
Setahun kemudian, entah untuk ke berapa kalinya membaca
Fo Guo Ji, barulah Yijing paham akan maksud Huizhi yang sebenarnya. Sebagai
seorang anggota Sangha yang relatif sangat muda, ia harus mulai mencanangkan
cita-cita luhur yakni mengembangkan Buddha Dharma. Namun dengan cara apa ia
merealisasikan cita-cita itu? Pahamlah Yijing. Ia harus mengikuti jejak Faxian
dan Xuanzang belajar Dharma hingga ke negeri India.
Menekuni
Vinaya Pitaka
Tahun 655, Yijing menerima penahbisan penuh sebagai
bhiksu muda.Huizhi memberi nasehat tentang pentingnya pelaksanaan Sila. Huizhi
sendiri merupakan praktisi Vinaya Pitaka. Meski Faxian telah berjasa besar
dengan membawa Vinaya Pitaka dari tiga aliran besar Buddhis waktu itu di India,
namun tak banyak tokoh yang mampu memahami dan menerapkannya dengan baik.
Inilah yang mendorong Yijing untuk tekun mempelajari Vinaya Pitaka yang
kemudian membawanya menuju kota Luoyang dan Chang-an.
Belajar
di Dua Ibu Kota, Dekrit Bhiksu Bersujud pada Kaisar
Luoyang adalah ibu kota baru yang terletak di bagian
timur, sedang Chang-an adalah ibu kota lama di sebelah barat. Tahun 660 Yijing
tiba di Luoyang. Menjelang akhir tahun ia menuju Chang-an. Di Chang-an ia
belajar Vinaya dari Master Daoxuan. Yijing juga sempat mengikuti arak-arakan
relik Buddha yang akan dikembalikan ke Vihara Famen setelah 7 hari ditempatkan
di istana.
Di saat itu pula muncul dekrit dari kaisar yang
mengharuskan bhiksu untuk bersujud pada kaisar. Dekrit ini mendapat penolakan
dari anggota Sangha. Akhirnya diselenggarakanlah forum dengar pendapat yang
dihadiri oleh petinggi kerajaan dan perwakilan anggota Sangha. Tiga hari
kemudian diperoleh hasil pemungutan suara: 539 suara menolak, 354 suara
mendukung dan beberapa suara abstain. Akhirnya kaisar pun mencabut dekrit itu.
Perjalanan
ke Sumatra
Tahun 664, Master Tripitaka Xuanzang wafat. Yijing
mengikuti upacara pemakaman yang berlangsung di luar kota Chang-an. Kepergian
Xuanzang mendorong Yijing untuk merealisasikan cita-cita yang sudah terpendam
sekian lama. Ia menyampaikan keputusannya ini pada beberapa rekan bhiksu yang
lain. Semuanya mendukung dan menyatakan kesediaan untuk mengiringinya pergi ke
India.
Setelah berpamitan dengan gurunya, Huizhi, Yijing
kembali ke Chang-an dan berkenalan dengan seorang bhiksu muda bernama Shanxing
yang kemudian menjadi muridnya. Tak terduga, justru Shanxing inilah yang
kemudian benar-benar mendampinginya memulai perjalanan ke India, sedang
beberapa rekan yang sebelumnya menyatakan bersedia ikut, satu demi satu
berhalangan.Lalu rute mana yang harus ditempuh? Saat itu terjadi peperangan
dengan beberapa suku di perbatasan, oleh sebab itu mustahil menempuh jalan
darat. Satu-satunya adalah melalui jalur laut. Tahun 671 berangkatlah Yijing
dan Shanxing menuju Yangzhou. Dengan bantuan seorang pejabat bernama Feng
Xiaoquan, dari Yangzhou mereka berangkat menuju Jiangning (sekarang Nanjing).
Di Jiangning Yijing berkenalan dengan Xuankui, seorang bhiksu yang juga ingin
ke India. Disepakati untuk bertemu di Vihara Zhizhi, Guangzhou, dan kemudian
bersama-sama bertolak ke India. Tak dinyana Xuankui akhirnya juga berhalangan
karena terserang penyakit.
Menjelang akhir tahun 671, berlayarlah Yijing dan
Shanxing dengan sebuah kapal Persia. 12 hari kemudian kapal mereka merapat di
Sriwijaya. Yijing memutuskan untuk menetap sementara waktu di Sriwijaya, di
samping mempelajari bahasa Sansekerta sebagai persiapan ke India, pun karena
Shanxing dalam kondisi sakit. Namun karena kondisi Shanxing semakin parah,
akhirnya diputuskan untuk memulangkannya ke Tiongkok. Berpisahlah guru dan
murid itu, sebuah perpisahan yang tak mempertemukan mereka lagi.
Mencapai
India
6 bulan kemudian Yijing berangkat dengan sebuah kapal
kerajaan Sriwijaya. Awal tahun 673 tibalah di Tamralipti (sekarang wilayah
Bangladesh). Di sini berjumpa dengan Dashengdeng (Pelita Mahayana), seorang
bhiksu aliran Chan yang berasal dari Buzhou (sekarang Vietnam). Dashengdeng
adalah murid Xuanzang. Yijing kemudian memperdalam kemampuan bahasa
Sansekertanya di bawah bimbingan Dashengdeng.
Satu setengah tahun berlalu, Yijing menyatakan
keinginan untuk berkunjung ke tempat-tempat suci Buddhis di India Tengah. Demi
keamanan, mereka bergabung dengan sebuah rombongan berjumlah 500-600 orang.
Dalam perjalanan inilah Yijing sakit dan dirampok oleh sekelompok bandit.
Akhirnya mereka tiba di Vihara Nalanda. Berbeda dengan
vihara di Tiongkok, Nalanda mirip kota benteng bertembok tinggi dengan sebuah
pintu gerbang yang di dalamnya terdapat 8 bangunan utama dan lebih dari 100
stupa. Di Nalanda ini mereka berjumpa dengan Xuanzhao, seorang bhiksu yang
diutus kaisar Tiongkok untuk mencari obat panjang usia. Meski
berhasil mendapatkan ramuan obat panjang usia, namun
Xuanzhao dan dua bhiksu pengiringnya tak dapat kembali ke Tiongkok karena
peperangan yang memutuskan jalan penghubung India - Tiongkok. Xuanzhao
mengantar Yijing berdua mengunjungi Gunung Grdhrakuta (Kepala Burung Nazar).
Dari Nalanda, Yijing dan Dashengdeng kemudian
melanjutkan perjalanan mengunjungi vihara dan tempat-tempat suci Buddhis
lainnya. Namun setiba di Kusinagara, Dashengdeng yang telah mendekati usia 60
tahun memutuskan untuk menetap di lokasi suci tempat Buddha ber-Parinirvana
itu. Akhirnya Yijing seorang diri kembali ke Nalanda.
Belajar
di Nalanda
10 tahun lamanya Yijing belajar di Nalanda, khususnya
mengenai penerapan Vinaya yang ketat. Dalam kurun waktu itu, Xuanzhao wafat di
Nalanda, sedang Dashengdeng wafat di Kusinagara. Sebelum wafat, Dashengdeng
sempat mengirimkan pesan terakhir bagi Yijing agar bagaimanapun juga harus
pulang dan mengembangkan Buddha Dharma di Tiongkok.
Akhirnya Yijing memutuskan untuk kembali ke Tiongkok.
Dengan membawa beberapa peti berisi Sutra, Vinaya Pitaka, patung, dan relik
suci, Yijing menuju Tamralipti. Entah kebetulan atau matangnya buah karma,
Yijing kembali bertemu dengan para bandit di tempat yang sama. Untungnya para
bandit itu hanya mengambil bekal makanan, uang, dan beberapa benda berharga lainnya.
Mereka tidak mengusik Yijing dan benda-benda suci Buddhis dalam peti.
Kembali
ke Sriwijaya
Tahun 687, kapal yang dinaiki Yijing bersandar di
pelabuhan Sriwijaya. 15 tahun sudah Yijing meninggalkan Sriwijaya. Berita kepulangan
Yijing tersebar dengan cepat. Yijing disambut oleh Bhiksu Ketua Vihara
Kerajaan, Sakyajilidhi, dan dikunjungi oleh Raja Sriwijaya.
Keinginan Yijing untuk secepatnya berlayar kembali ke
Tiongkok menjadi tertunda setidaknya 3 bulan karena harus menunggu datangnya
angin selatan. Setelah angin selatan datang bertiup, Raja baru mengungkapkan
keinginan agar Yijing menetap selamanya di Sriwijaya. Berselang beberapa hari
kemudian, Sakyajilidhi memberitakan bahwa di Tiongkok terjadi ketegangan
politik perebutan kekuasaan antara Ratu Wuzetian dengan keturunan kaisar.
Yijing disarankan untuk tidak pulang lebih dahulu.
Dua minggu kemudian, seorang pedagang dari Guangzhou
berhasil ”menculik” Yijing dan membawanya kembali berlayar ke Tiongkok.
Sesampai di Guangzhou, Yijing mempersiapkan alat-alat tulis dan mencari asisten
untuk membantu proyek penerjemahan Sutra. Menjelang akhir tahun, Yijing untuk
ketiga kalinya kembali ke Sriwijaya dengan membawa beberapa asisten yakni
Master Vinaya Zhen-gu, dua bhiksu muda (Daohong dan Falang), serta Sramanera Huaiye.
Tahun 690, Wuzetian memproklamirkan dirinya sebagai
Kaisar dinasti yang baru, Zhou, menggantikan dinasti Tang. Tahun 691, rombongan
duta persahabatan yang diutus Wuzetian tiba di Sriwijaya. Salah satu anggota
rombongan adalah Master Dajin. Saat kembali ke Tiongkok, Dajin membawa surat
Yijing yang ditujukan pada kaisar.
Pulang
ke Tiongkok
Dua tahun kemudian, tahun 694, Yijing beserta Zhen-gu
dan Daohong kembali ke Tiongkok meninggalkan Sriwijaya selamanya. Falang
meninggal di Sriwijaya, sedang Huaiye menetap di
Sriwijaya mengikuti Master Sakyajilidhi. Berakhirlah sudah perjalanan akbar
yang memakan waktu lebih dari 20 tahun itu. Mendengar berita kepulangan Yijing,
penerus jejak Xuanzang, Kaisar Wuzetian mengirim utusan ke Guangzhou untuk
menjemput Yijing. Tahun 695, tibalah Yijing di Luoyang, ibu kota Timur yang
ditinggalkannya lebih dari 30 tahun yang lalu.
Yijing dielu-elukan oleh penduduk dan pejabat kota
Luoyang, serta disambut langsung di pintu gerbang timur istana oleh Kaisar
Wanita Wuzetian. Kaisar Wu menganugerahkan gelar ”Master Tripitaka” pada
Yijing. Saat itu gelar ini hanya dimiliki empat orang bhiksu. Hanya Yijing yang
merupakan satu-satunya bhiksu asal Tiongkok.
Bersama dengan Sikshananda, Yijing menerjemahkan Sutra
Avatamsaka (Huayan Jing). Selain itu juga banyak menerjemahkan Sutra, Vinaya,
dan Sastra, antara lain: Vinaya Saravanabhava, Sutra Avadana, dan Sutra
Suvarnaprabhasa.
Tahun 705, Kaisar Wu tumbang, putra mahkota naik tahta
dengan nama Kaisar Zhongzong, dengan demikian pulihlah kembali nama dinasti
Tang.
Tahun 704, Yijing diundang ke Vihara Shaolin untuk
melakukan prosesi Vinaya sesuai aturan yang ditetapkan oleh Buddha Sakyamuni.
Tugas mulia penerjemahan selama tahun 713 yang
dilakukan Yijing berlangsung di beberapa vihara, yakni Vihara Dafuxian di
Luoyang, Vihara Ximing di Chang-an, istana kaisar di Luoyang, Vihara Dajianfu
di Chang-an, dan di istana kaisar di Chang-an selama masa varsa di tahun 707.
Selama masa varsa itu, Kaisar Zhongzong meminta Yijing untuk menerjemahkan Sutra
Bhaishajyaguru, sedang kaisar sendiri menjadi asisten Yijing.
Tahun 713, Master Tripitaka Yijing wafat di Vihara
Dajianfu di Chang-an. Seperti halnya Faxian dan Xuanzang, selain menerjemahkan
Tripitaka, Yijing juga meninggalkan karya tulis, yakni: Warisan Dharma Dalam
yang Dikirim Kembali dari Lautan Selatan (Nanhai Jigui Neifachuan) dan Riwayat
Bhiksu Mulia Dinasti Tang Pencari Dharma di India (Datang Xiyu Qiufa Gaosengzhuan)
yang di dalamnya mengisahkan perjalanan lebih dari 60 bhiksu dinasti Tang yang
menuju India, salah satunya adalah Huining yang sempat menetap selama 3 tahun
di Jawa (664-667). Perlu diketahui, Huining ini bukanlah Huineng, Sesepuh ke-6
Chan.
Karya tulis Yijing sangat berjasa bagi penelitian jalur
transportasi dan kebudayaan antara Tiongkok dan India. Selain itu, Yijing juga
berjasa dalam lahirnya kamus Sansekerta-Mandarin yang pertama di Tiongkok.
Sebagai penutup Jejak Agung ini, penulis kutipkan
petuah terakhir Yijing yang antara lain berbunyi: “Mereka yang mempelajari
Vinaya, harus memulainya dari bagian yang paling kecil; mereka yang mempelajari
Sutra dan Sastra, terlebih dulu harus membedakan antara yang lurus dan sesat.
Sila, konsentrasi, dan kebijaksanaan, ketiganya harus dipelajari dan dilatih
dengan sebaik-baiknya, bila hanya menguasai satu di antaranya, tak dapat
dikatakan sebagai hal yang sempurna...”
Dapat mengikuti jejak agung Yijing adalah kontribusi
yang sangat besar bagi pengembangan Buddha Dharma dan kebahagiaan semua
makhluk. Dan untuk dapat merealisasikan ikrar mulia ini, sudah tentu kita harus
mampu melaksanakan petuah terakhir Yijing.***
Jejak Agung ini dipersembahkan oleh: Tjahyono Wijaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar